Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Tiga kalimat diatas langsung tersaji saat kita melakukan pencarian pada dunia internet terkait pengertian dari Kode Etik.
Saya sangat tertarik menulis soal kode etik ini sehubungan dengan munculnya pengumuman nama-nama calon anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pada seluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara untuk periode 2023-2028. Apa korelasinya?
Ada rasa miris setelah mencermati beberapa nama yang terpilih dan segera dilantik untuk menjalankan tugas pengawasan Pemilu selama kurun 2023-2028. Miris karena mereka-mereka yang pernah menjabat sebagai penyelenggara pemilu pada periode sebelumnya, tetap terpilih meski pun pernah terkena sanksi dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Konon katanya keputusan DKPP merupakan hal yang bersifat final dan mengikat. Artinya tidak ada lagi upaya lain selain mematuhi keputusan itu sendiri. Ada yang keputusan akhirnya menjatuhkan sanksi pemecatan, peringatan keras maupun peringatan dan lainnya. Bisa pula sebaliknya, putusannya adalah pemulihan nama baik jika seseorang tidak terbukti melakukan pelanggaran etik.
Yang membuat saya tidak habis fikir adalah apakah Bawaslu tidak mampu menelusuri nama-nama peserta seleksi Bawaslu kabupaten/kota memiliki jejak pernah terkena sanksi tersebut? Rasanya di era kemajuan teknologi informatika saat ini, menelusuri hal itu tidaklah sulit.
Namun faktanya, beberapa orang yang memiliki riwayat terkena sanksi DKPP tetap saja terpilih. Dalam jejak digital yang saya telusuri, saya menemukan 2 orang yang lolos seleksi Bawaslu Kabupaten Humbang Hasundutan meski pun pernah kena sanksi DKPP. Keduanya adalah Henri W Pasaribua dan Efrida Purba.
Dua sosok ‘petahana’ ini memiliki riwayat dijatuhi sanksi peringatan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) setelah diadukan oleh Harri Lumbangaol yang saat itu menjabat anggota Panwaslu Doloksanggul. Kasusnya berkaitan dengan penggelembungan suara calon legislatif dari Partai Gerindra.
Berdasarkan salinan putusan DKPP nomor 37-PKE-DKPP/IV/2020, ketiganya dijatuhi sanksi peringatan karena melanggar melanggar pasal 6 ayat 3 huruf C dan huruf F juncto Pasal 15 huruf a, huruf f dan huruf g peraturan DKPP nomor 2 tahun 2017 tentang kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
Dalam persidangan, para teradu beralasan terjadinya penggelembungan tersebut karena lolos dari pengawasan mereka. Mereka mengaku kelelahan menjalankan tugas pengawasan selama proses penginputan data hasil perolehan suara.
Sanksi ini dijatuhkan pada sidang kode etik yang dipimpin oleh Muhammad selaku Ketua DKPP pada Rabu, 3 Juni 20 Mei 2020.
Tapi begitulah, pada akhirnya kita juga harus tetap menyampaikan ucapan ‘selamat’ kepada mereka dan berharap amanah dalam menjalankan tugas kedepan. Meski pun dibalik proses ini terbesit persoalan hilangnya kehormatan putusan DKPP.***
© Copyright 2024, All Rights Reserved