Pandemi covid-19 yang kini kembali menjadi topik pembicaraan utama seiring tren peningkatan jumlah warga terpapar membuat Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi semakin sibuk.
Dalam kurun beberapa hari terakhir, mantan Pangkostrad ini mondar-mandir ke daerah untuk memastikan 10 instruksinya untuk pencegahan penyebaran dan penanggulangan covid-19 berjalan dengan baik. Kemarin ia terbang ke Nias, juga untuk tujuan yang sama.
Saya mencatat ada 10 instruksi gubernur Edy yang garis besarnya adalah mengatur mulai penerapan pembelajaran siswa secara hybrid, percepatan vaksin booster, persiapan SDM dan sarana rumah sakit hingga memastikan protokol kesehatan dilaksanakan dengan baik.
Pada level ini saya kira pak Gubernur dan tentu saja unsur Forkopimda Sumut, harus mendapat dukungan dan topangan dari seluruh elemen masyarakat.
"Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungi rakyatku dari covid-19, karena itu bantu saya karena saya nggak bisa melakukan itu sendirian," begitu pernyataan Edy Rahmayadi yang kerap dilontarkan kepada wartawan.
Saya kira makna dari pernyataannya itu sangat kuat. Ia butuh dukungan agar konsentrasinya tidak terpecah dalam menjaga rakyat Sumatera Utara ditengah berbagai urusan lain yang tentu juga membutuhkan perhatiannya. Dan pihak terdekat untuk menopang Gubernur tentu saja 'kabinetnya' alias pejabat-pejabat yang diangkatnya untuk mengurusi berbagai bidang pelayanan.
Khusus beberapa waktu belakangan, polemik panas muncul dan menjadi sangat politis berkaitan dengan produk hukum yang nantinya akan diteken oleh Gubernur Edy yakni Surat Keputusan (SK) pengangkatan Komisi Informasi Publik (KIP) Sumut dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). Seleksi calon komisioner pada dua komisi ini sudah selesai dengan berbagai persoalan dibelakangnya.
Saya tentu tidak dalam posisi menilai salah benar mengenai proses yang berakhir di DPRD Sumatera Utara itu. Saya lebih tertarik menyampaikan pikiran dengan harapan agar proses ini tidak berujung gugatan hukum terhadap Gubernur Edy Rahmayadi yang kini sedang fokus melindungi rakyat Sumatera Utara.
Soal KI Sumut misalnya. Para komisioner terpilih sudah diumumkan sejak November 2021 lalu, namun hingga saat ini belum di SK-kan oleh Edy Rahmayadi.
"Kita sesuaikan dengan aturan main. Kita biarkan dulu, banyak hal yang lebih penting yang sedang kita tangani," begitu dikatakannya.
Ungkapannya begitu simpel, namun maknanya sangat kuat. Menurut saya jelas, Edy tidak mau ada aturan yang dilanggar dan pada sisi lain ia kembali menegaskan jika pikirannya sedang fokus pada hal besar yang tentu saja soal covid-19.
Dan kalau kembali ke tulisan saya diatas, maka jajaran 'kabinet' Edy Rahmayadi harus tanggap dengan hal ini. Soal produk hukum berupa SK yang akan diterbitkan untuk para Komisioner Komisi Informasi terpilih misalnya, saya kira Kepala Biro Hukum harus memastikannya 'clear n clean'. Tidak boleh ada kegamangan yang dapat berujung gugatan.
Seleksi KI ini saya kira relatif sangat adem dibanding seleksi KPID Sumut yang kini riuhnya luar biasa. Pun demikian, tak ada salahnya jika Biro Hukum Pemprov Sumut mencermatinya secermat-cermatnya. Seleksi itu sudah melahirkan orang-orang terbaik menurut saya.
Ada nama Cut Alma, Abdul Harris, Dedy Ardiansyah, Edy Syahputra, dan Muhammad Syafii Sitorus. Mereka adalah produk terbaik dari seleksi yang sudah berjalan dengan berbagai dinamikanya. Untuk tiga nama terakhir saya kira sudah 'clear n clean'. Namun dua nama pertama yakni Cut Alma dan Abdul Haris sedikit menjadi pembicaraan masih aktif sebagai dosen pada universitas yang jika ditarif dari definisinya bisa disimpulkan masuk dalam kategori badan publik.
Peraturan Komisi Informasi Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota Komisi Informasi, Pasal 9 huruf F jelas mengatakan komisioner terpilih harus bersedia melepaskan keanggotaan dan jabatan dalam Badan Publik apabila diangkat menjadi Anggota Komisi Informasi. Kemudian pada huruf G menyatakan bersedia bekerja penuh waktu.
Keduanya itu diteken diatas materai saat hendak mengikuti seleksi sebagaimana pada pasal 11 tentang tahap pendaftaran huruf F yang menyertakan berkas surat pernyataan kesediaan mengundurkan diri dari keanggotaan dan jabatan pada badan publik apabila diangkat menjadi anggota KI yang ditandatangani diatas materai. Kemudian huruf G yakni adanya Surat pernyataan bersedia bekerja penuh waktu yang ditandatangani diatas materai.
Terbaru, plt Kadiskominfo Sumut Kaiman Turnip mengkonfirmasi Cut Alma juga sudah clear dalam hal ini, dimana yang bersangkutan sudah mundur dari kampusnya Universitas Dharmawangsa. Nah, untuk Abdul Harris yang belakangan sepertinya lebih banyak diperbincangkan.
Dalam perbincangnya dengan saya beberapa waktu lalu, ia mengklarifikasi statusnya bukan PNS sehingga yang dibutuhkan hanya mundur dari jabatannya di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) USU.
Disebutnya, sesuai aturan seorang dosen berhak untuk mengikuti seleksi komisioner seperti Komisi Informasi (KI) Sumatera Utara. Hanya saja, jika terpilih nantinya maka ia harus mengambil cuti dari kampus tempatnya mengajar.
Ini yang membuat saya menjadi penasaran. Sebab, Abdul Haris ternyata berstatus Dosen Tetap Non PNS di Universitas Sumatera Utara.
Peraturan Rektor USU nomor 1 Tahun 2016 tentang Dosen Tetap Non PNS, bagian kedua menegaskan Dosen tetap non PNS USU memiliki kewajiban seperti berikut :
(1) bekerja penuh waktu 40 (empat puluh) jam perminggu;
(2) melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi dengan beban kerja paling sedikit sepadan dengan 12 (dua belas) SKS dan sebanyak-banyaknya 16 (enam belas) SKS pada setiap semester sesuai dengan kualifikasi akademiknya; dan
(3) melaksanakan kewajiban lain yang diatur dalam perjanjian kerja
"Dosen tetap non PNS yang diangkat USU hanya (berkarya) di USU. Karena yang mengangkat USU, merekrut USU dan juga yang menggaji USU. Kalau mau berkarya di tempat lain, harus keluar dari USU. Kalau keluar mengundurkan diri total," Wakil Rektor II Bidang Sumber Daya Manusia dan Keuangan Universitas Sumatera Utara, Muhammad Arifin Nasution.
Pada level inilah saya sangat mengapresiasi adanya Peraturan Komisi Informasi Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota Komisi Informasi dan Peraturan Rektor USU nomor 1 Tahun 2016 tentang Dosen Tetap Non PNS, yang mempunyai semangat yang sama yakni semangat bekerja penuh waktu bagi yang menyandang statusnya.
Sekali lagi tulisan ini tidak untuk menganalisis benar atau salah. Namun, sepenuhnya hanya ingin agar 'kabinet' Edy Rahmayadi jeli dalam menjaga sang Gubernur dari berbagai potensi gugatan akibat produk hukum yang menjadi akhir dari proses ini nantinya.
Kesimpulannya mudah Kabiro Hukum Pemprovsu harus 'melindungi' Edy Rahmayadi.***
© Copyright 2024, All Rights Reserved