Terbunuhnya personil Polri Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah Irjen Ferdy Sambo masih terus menjadi topik utama alias trending topic dimana-mana. Media sosial dan media mainstream terus menjadikan topik ini sebagai bahan informasi dengan berbagai perkembangan yang ada.
Cerita dan kronologis kematian yang berubah cepat saya kira menjadi pemicu utama mengapa kasus ini menjadi hal yang paling diperbincangkan. Ada tanda tanya besar yang memicu keingintahuan masyarakat mengenai duduk perkaranya. Pahamlah, warga Indonesia yang kerap disebut dengan istilah 'warga +62' ini begitu antusias jika menyangkut hal-hal yang bikin penasaran.
Rasa penasaran ini kemudian mendorong mereka untuk sama-sama mendesak agar pihak berwajib dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk berani jujur dan transparan.
Saya kira dorongan ini tidak terlepas dari citra Polri yang beberapa waktu belakangan ini sudah mendapat apresiasi tinggi dibawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Tagline POLRI PRESISI (prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan) yang diusungnya membuat masyarakat begitu hormat (respect) terhadap upaya perubahan di tubuh institusi penegak hukum itu.
Ibarat percintaan. Awalnya ada cinta lantas pacaran, lalu putus dan hilang rasa percaya karena merasa dikhianati, lalu pacar berubah dan mulai dapat kepercayaan lagi, eh tau-taunya bikin ulah lagi dan mencoba direkayasa. Tentu, butuh kejujuran lebih lagi untuk bisa mendapat kepercayaan lagi.
POLRI PRESISI saya kira telah berhasil mengubah citra polri menjadi institusi yang sangat bersahaja bagi masyarakat dan dalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Restorative Justice yang menjadi salah satu poin penting yang ditekankan oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo lewat surat edaran pada 19 Februari 2021 membuat para penyidik harus memiliki kemampuan melakukan mediasi atau musyawarah dan menjadikan hukum pidana sebagai upaya terakhir untuk menegakkan keadilan. Konsep luar biasa yang bahkan membuat DPR RI memberikan Standing Applaus kepada sosok lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1991 saat memaparkan makalahnya berjudul 'Transformasi Polri yang Presisi'.
'memotong kepala ikan busuk'' menjadi kata yang sangat fenomenal untuk menegaskan bahwa Jenderal Listyo tidak main-main dengan konsepnya itu.
Sejak peristiwa reformasi '98, berbagai institusi di negeri ini dengan lantang mengemukakan berbagai upaya untuk melakukan reformasi internal mulai dari Aparatur Sipil Negara, TNI, POLRI, Kementerian-Kementerian/Lembaga, Kejaksaan RI dan semuanya. Hal ini menjadi penting mengingat reformasi terjadi karena masyarakat yang menilai 'kotornya' internal institusi-institusi negara tersebut.
Namun, 22 tahun momentum reformasi berlalu jargon-jargon yang menyimpan makna tak ada perubahan justru masih tetap bermunculan. Sebut saja istilah "kalau bisa dipersulit ngapain dipermudah". Sebutan miris masyarakat kala berurusan dengan pelayanan pemerintahan.
Beberapa institusi saya kira sudah mulai menunjukkan keberhasilannya untuk 'mereformasi diri'. Meski tentunya sulit untuk meraih persentase 100 persen atau sempurna, tapi minimal mereka sudah mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat yaitu TNI. Termasuk dalam kasus kematian Brigadir Yosua ini, instansi TNI menjadi pihak yang juga dianggap dapat menjadi upaya mencegah kecurangan ataupun rekayasa. Padahal dalam penegakan hukum, sepertinya sulit menemukan pertalian untuk mengaitkan mereka sesuai tupoksinya. Tapi begitulah, kalau sudah kadung percaya ya dipercaya saja dan itu bisa dimaklumi.
Polri sendiri sudah berkomitmen bahwa penyelidikan atas kasus ini akan dilakukan dengan mengedepankan pembuktian secara ilmiah. Tentu komitmen ini yang kemudian membuat kadar penasaran masyarakat semakin tinggi.
Benarkah, POLRI PRESISI akan mampu mengalahkan jargon 'Kalau Bisa Dipersulit ngapain Dipermudah' yang belakangan sebenarnya mulai luntur di tubuh POLRI?. Semoga yang terbaik untuk penyelesaian kasus ini.***
© Copyright 2024, All Rights Reserved