Saya memakai istilah Ibu (Inang-bahasa Batak) untuk Danau Toba, karena danau terbesar di Indonesia inilah yang membesarkan ikan-ikan nila mulai dari kecil hingga besar. Kotoran ikan, pangan ikan yang tumpah dan menjadi residu merusak tubuh sang Inang, semua disimpannya demi tumbuh besar si Tilapia.
Molek dan gemuk tubuh Tilapia membuat para cukong menarik untung. Anak-anak yang diasuh Inang dijual nun jauh ke ujung pelosok dunia. Tubuh si Inang tak lagi disebut, justru si cukong yang mendapat nama. Memang pada satu sisi merekalah yang mencekoki makanan kepada si Tilapia hingga bertubuh gemuk untuk dinikmati. Tapi semua itu dilakukan di pangkuan si Inang.
Inang merelakan Tilapia dibawa merantau dan tubuhnya dinikmati dengan bayaran yang tinggi. Nama Inang tak disebut tak mengapa, tangisnya hanya satu saat tubuhnya ngilu dan penuh dengan kotoran yang bahkan tak mampu ia bersihkan.
Orang banyak dari 7 penjuru mata angin yang mengelilingi si Inang terus mengolok-oloknya sebagai Inang yang bau, dan tidak layak untuk dikunjungi. Inang semakin murung, wajahnya semakin kusam.
Inang yang dirundung sedih sebenarnya bisa tersenyum. Saat halus buaian tangannya dan indah badannya dilirik oleh Dewa yang memerintahkan para bawahan alias suruhan untuk membasuhnya. Tapi itulah, sang suruhan juga terbuai menjadikan Inang menjadi sapi perah. Tubuhnya tak dibasuh.
Kasihan Inang, kotoran si Tilapia-Tilapia baru semakin berlapis menutup tubuhnya. Olok-olok warga terus menerpanya.
Mungkin jawaban dari keperihan Inang ini hanya satu ketika ia mati dan hanya untuk dikenang.
© Copyright 2024, All Rights Reserved