Sajian mengenai data perolehan suara pemilu 2024 dengan metode quick count versi berbagai lembaga survey Indonesia menjadi angka-angka yang menjadi tontonan publik seiring berjalannya hajatan politik 5 tahunan itu. Meski semua pihak meminta bersabar menunggu perhitungan real atau sebenarnya dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun faktanya angka yang disajikan oleh para lembaga survey itu sudah ‘disahkan’ oleh publik.
Dalam hal ini publik tidak salah. Toh, quick count merupakan metode ilmiah dalam mengolah angka-angka dengan rumus-rumus statistik sehingga hasilnya dapat disimpulkan sebagai hasil dari angka yang mewakili pendapat populasi.
Nah, saya tertarik pada kata ‘angka yang mewakili pendapat populasi’. Tertarik karena lembaga survey tentu tidak akan salah dalam mengolah data. Mereka mengambil angka-angka yang disinyalir menjadi hasil akhir dari sebuah perhitungan suara, tanpa peduli pada kemungkinan angka tersebut dihasilkan dari cara-cara curang. Pada titik ini, tentu surveyor tidak salah karena mereka tugasnya memang mengambil data yang ada.
Komunkolog Indonesia, Dr Emrus Sihombing dalam salah satu perbincangan dengan saya mengatakan agar mewaspadai sajian data yang bisa digunakan menjadi bagian dari propaganda.
Hal ini ia sampaikan menganalisis sajian data real count perolehan suara pemilu 2024 yang disajikan pada laman KPU. Sajian data yang saya minta beliau analisis adalah data perolehan suara calon DPD incumben yang tiba-tiba melejit diawal penyajian data. Dari 21 calon DPD perolehan data incumben pada awalnya melejit jauh sebelum akhirnya perlahan mulai disusul.
Perolehan suara calon DPD RI incumben Dedi Iskandar Batubara yang sangat jauh diatas para pesaingnya tidak terlalu membuat saya tertarik. Karena angka itu sudah saya duga akan terjadi menilik dari konsistensi beliau untuk ‘bekerja’ di masyarakat ditambah ketokohannya dalam mengemban berbagai posisi kepemimpinan pada organisasi di Sumatera Utara.
Namun menjadi sangat menarik ketika membahas beberapa nama dibawahnya seperti nama-nama incumben seperti Badikenita Sitepu, Faisal Amri, Muhammad Nuh kemudian disandingkan dengan nama dari beberapa tokoh seperti Parlindungan Purba yang merupakan mantan anggota DPD dan pdt Penrad Siagian.
Kenapa menarik? karena diawal sajian data, hanya nama-nama DPD incumbenlah yang mendominasi keunggulan perolehan suara sebelum akhirnya fluktuasinya berubah setelah dikejar oleh perolehan suara pdt Penrad Siagian dan Parlindungan Purba termasuk beberapa calon lainnya.
Saya mengingat lagi pernyataan Emrus Sihombing agar waspada sajian data dapat mengubah persepsi publik. Selaku jurnalis, ungkapan Emrus ini saya terjemahkan menjadi sebuah situasi yang perlu dikritisi sebagai potensi melancarkan kecurangan.
Bagaimana jika penyajian data para calon incumben DPD RI asal Sumut yang melonjak pada perhitungan awal ternyata bagian dari strategi pengubahan opini publik?. Seperti kata Emrus, pada titik ini perlu adanya integritas dari petugas yang menginput data. Sebab, tanggungjawab dari data yang disajikan harus benar-benar universal mulai dari sebuah proses hingga menciptakan sebuah data yang akan disajikan kepada masyarakat.
Sampai tulisan ini saya buat, fluktuasi data perolehan suara Badikenita Sitepu, Faisal Amri, M Nuh, Parlindungan Purba dan Pdt Pendar Siagian masih bersaing ketat hingga persentase suara masuk yakni 19.551 dari 45875 TPS atau 42.62%.
Namun hemat saya, Perolehan suara Parlindungan Purba masih akan melejit mengingat ‘tabungan suaranya’ dari Pematangsiantar dan Simalungun serta dari Kepulauan Nias belum terbuka seluruhnya. Daerah-daerah ini pada pemilu sebelumnya merupakan lumbung suara Parlindungan yang menjadi satu-satunya putra dari Simalungun ini. Dan faktanya suara yang terinput dari daerah-daerah tersebut masih di kisaran angka rata-rata 25 hingga 50 persen.
Maka dari itu, apakah fluktuasi dari sajian data ini hanya untuk mengubah persepsi publik untuk memudahkan ‘permainan’?. Jawabannya, Integritas Operator KPU adalah Kunci.
© Copyright 2024, All Rights Reserved