Pengantar Milenarianisme atau dapat juga disebut milenarisme adalah suatu keyakinan oleh suatu kelompok atau gerakan keagamaan, sosial atau politik tentang suatu transformasi besar di dalam masyarakat. Setelah itu masyarakat akan berubah ke arah yang lebih baik ( positif ), atau dapat juga ke arah yang lebih buruk ( negatif ). Mileniarisme adalah suatu bentuk milenarianisme spesifik berdasarkan siklus seribu tahunan. Siklus seribu tahunan ini sangat menonjol di dalam paham Kekristenan. Menjelang pergantian milenium dari milenium pertama memasuki milenium kedua di daratan Eropa, masyarakat dilanda kecemasan. Pihak Gereja Katolik dan masyarakat penganutnya percaya bahwa pada tahun 1000 M, dunia akan kiamat. Pihak Kepausan dan Keuskupan mendorong umatnya bertobat dan beribadah sebanyak-banyaknya. Tiap kota berlomba-lomba membangun gereja yang besar dan megah. Periode ini berlangsung selama 2 abad, dan melahirkan teknik dan seni bangunan bergaya Gothik. Bangunan gereja bergaya gothik ditandai dengan ciri bangunan tinggi, langsing, menjulang ke langit, dengan bentuk atap lancip dan menara runcing. Bangunan lancip dan runcing menggambarkan keinginan kuat manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Setelah dua ratus tahun terlewati, kemudian tiga ratus tahun berlalu tanpa terjadi bencana kiamat yang ditakutkan selama itu. Ketakutan akan kiamatpun berangsur- angsur hilang. Hal ini diikuti dengan menurun drastis semangat membangun gereja gereja ( kathedral ) besar dan megah dan berakhir pula masa keemasan teknik dan seni bangunan bergaya gothik. Contoh bangunan bergaya gothik di Indonesia adalah gereja Kathedral di Jakarta, yang letaknya sekarang berseberangan dengan mesjid Istiqlal, di kawasan Jakarta Pusat. Fenomena munculnya kerajaan kerajaan di Negara Republik Pada awal Januari tahun 2020 masyarakat Indonesia dikejutkan dengan deklarasi berdirinya Kerajaan Keraton Agung Sejagat, dipimpin oleh Raja Totok Santoso Hadiningrat dan didampingi oleh permaisurinya yang bernama Kanjeng Ratu Dyah Gitarja. Keratonnya terletak di desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Raja Totok dibantu oleh 13 orang menteri, dan puluhan pejabat tinggi. Total pengikut raja Totok berjumlah ldbih kurang 450 orang. Anehnya Kerajaan ini tidak menggunakan simbol simbol Jawa atau Nusantara, melainkan simbol simbol bersifat internasional, seperti swastika dan bintang Daud. Nama raja dan ratu jelas berkarakter Jawa dan hal ini menunjukkan adanya upaya menjaga kontinuitas dengan penguasa masa lalu. Hal ini dilakukan demi memperoleh legitimasi kekuasan. Nama ratunya bahkan merupakan hasil copy paste dari nama salah seorang puteri raja Kertanegara, dari kerajaan Singasari. Belum reda rasa terkejut, masyarakat kembali tersentak oleh deklarasi kerajaan Sunda Empire. Anehnya, kerajaan ini bernama Sunda , tetapi berlokasi bukan di Tatar Sunda, melainkan di Tanah Jawi, tepatnya di desa Grinting, Kecamatan Bula Lambat, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan ini dipimpin oleh Ki Ageng Rangga Sasana, yang mengklaim dirinya pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Nusantara Teritorial. Raja ini juga menggunakan simbol simbol yang bernuansa internasional lewat nama jabatannya di samping menunjukkan adanya kontinuitas dengan masa lalu ( periode Kolonial ). Berselang hanya beberapa hari, muncul deklarasi berdirinya Kerajaan Selacau, di kampung Nagara tengah , desa Cibungur , Kecamatan Parung Pontang, Kabupaten Tasik Malaya, Provinsi Jawa Barat. Raja nya bernama Rohidin.berusia 40 tahun dan mengaku sebagai keturunan ke 9 dari raja Surawisesa dari kerajaan Pajajaran Pakuan. Rohidin bergelar Sultan Patra Kusuma VIII. Fenomena kemunculan beberapa kerajaan berikut rajanya mendapat beragam komentar dan tanggapan dari para pejabat, pakar dan masyarakat awam. Pada umumnya komentar itu bernada sama, yaitu para raja tersebut menderita gangguan jiwa, stres, dan frustrasi. Jawaban jawaban tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat, termasuk kelompok pakar sudah malas berpikir. Mereka berkomentar sambil lalu, seadanya, menunjukkan miskinnya penguasaan perbendaharaan pengetahuan teoritis. Sebenarnya fenomena itu dapat dijelaskan dengan cara yang lebih elegan. Tulisan ini mencoba menawarkan alternatif penjelasan dengan menggunakan konsep dan teori yang relevan. Konsep Milenarianisme Milenarianisme diartikan sebagai paham yang menganggap suatu era, jaman sejak kemunculannya, masa tumbuh berkembang, kemudian menurun dan berakhir, paling lama berdurasi 1000 tahun. Menjelang memasuki usia atau lewat 1000 tahun, situasi di masyarakat penuh dengan kekacauan, kejahatan, kemerosotan di segala bidang. Untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total diperlukan perubahan radikal dan mendasar di semua bidang. Dengan demikian lahirlah suatu era baru yang berbeda sama sekali dengan era lama. Proses peralihan itu sering ditandai dengan kekacauan, peperangan kerusuhan, gonjang ganjing, ontran - ontran. Di dalam periode kekalutan itu muncul seorang tokoh berkharisma yang memimpin masyarakat menuju era kejayaan yang dicita - citakan. Masyarakat menggantungkan harapan pada tokoh itu untuk membawa kemajuan , kebaikan, kedamaian. Tokoh tersebut dianggap sebagai Mesias, Mesiah, Ratu Adil, Imam Mahdi. Untuk mendapatkan dukungan penuh, loyalitas total tanpa reserve dari massa pengikutnya, sosok yang dianggap sebagai Ratu Adil harus memiliki beberapa persyaratan, yaitu : Memiliki kharisma, berwibawa, setiap pembicaraannya mampu meyakinkan banyak orang. Mampu membuktikan adanya kontinuitas antara dirinya dengan penguasa atau dinasti penguasa sebelumnya. Biasanya tokoh tersebut menggunakan nama / gelar, ciri atribut, simbol, benda ( regalia ) yang dapat diasosiasikan dengan penguasa sebelumnya. Mampu meyakinkan orang banyak bahwa dirinya memiliki mandat, kuasa, wahyu ( pulung keraton ), dari langit untuk membawa, memimpin masyarakat dalam upaya mencapai kejayaan dan kemakmuran. Konsep Waktu Dalam Milenarianisme Untuk dapat memahami konsep milenarianisme, perlu dipahami konsep waktu yang pernah dan masih dianut sampai saat ini. Konsep waktu yang relevan dibahas di sini adalah konsep berdasarkan Filsafat Timur dan Filsafat Barat, bukan konsep waktu menurut Fisika Kuantum. Dalam Filsafat Barat, waktu digambarkan seperti lintasan anak panah, bergerak dari titik awal, menuju titik sasaran. Lintasan itu dibagi menjadi tiga etape atau babak, terdiri dari masa lampau --- masa kini --- masa depan. Lintasan waktu tidak pernah berbelok atau berbalik arah. Filsafat Timur menggambarkan waktu sebagai lingkaran, siklus. Satu siklus dibagi menjadi 4 etape, yaitu: Jaman Krta Yuga, phase ini digambarkan sebagai jaman ideal, semua orang berkarakter baik, keamanan terpelihara, kemakmuran melimpah. Setelah periode ini mencapai puncak kejayaan , mulai mengalami penurunan mutu sedikit demi sedikit. maka dimulailah periode berikutnya yaitu ; Jaman Dwpara Yuga. Periode ini porsi orang baik tinggal 75 persen, kejahatan mulai muncul. Walaupun demikian sendi sendi penopang peradaban masih berfungsi, hanya mutunya berkurang. Jaman Treta Yuga. Pada periode ini Jumlah orang baik sudah berimbang dengan orang jahat. Kondisi keamanan mulai kacau, kemakmuran merosot, orang hidup di dalam kecemasan. Kondisi dengan cepat memburuk, dan segera memasuki phase terakhir yaitu; Jaman Kali Yuga, atau jaman Kala Bendu atau Jaman Edan. Phase ini digambarkan sebagian besar orang berbuat jahat, dan kemungkaran meluas meliputi dimensi horizontal , dimensi vertikal. Kehancuran peradaban hanya tinggal menunggu waktu. Masyarakat hanya dapat pasrah sambil berharap segera muncul Mesias, Ratu Adil yang akan menumpas habis kejahatan, membawa dan memimpin masyarakat menuju puncak kejayaan. Akhir jaman Kali Yuga ditutup dengan peristiwa besar berupa Pralaya, atau Kiamat, atau Pageblug. Dalam konsep ini, peristiwa kiamat dibutuhkan sebagai sarana penghancur kejahatan, sekaligus mencuci bersih dunia dari sisa puing puing kejahatan. Setelah pralaya, masyarakat segera menyambut jaman baru yaitu memasuki siklus berikutnya, kembali ke jaman krta yuga. Demikianlah seterusnya siklus jaman berlangsung terus menerus. Analisis Dengan konsep milenarianisme sebagai pisau analisis, kita coba meneropong dan menganalisis fakta yang telah dipaparkan di atas. Fenomena milenarianisme bukan monopoli suatu bangsa, ruang, waktu tertentu saja, tetapi merupakan fenomena universal. Peristiwa serupa di masa kini bukan yang pertama dan bukan pula yang terakhir. Akan muncul fenomena yang sama di tempat lain di masa kini, atau ditempat yang sama di waktu lain. Paham milenarianisme tumbuh subur di kalangan masyarakat marginal yang terpinggirkan oleh dominasi segelintir kelompok elit. Gerakan itu adalah wujud upaya protes, perlawanan dari kelompok pinggiran melawan dominasi dan dan tidakan eksploitatif dari kelompok para elit politik, ekonomi, militer dan cendekiawan. Pemuka gerakan milenarianisme biasanya berasal dari kelompok grass root (akar rumput ), yang mengkaitkan dirinya masih punya hubungan genealogis ataupun hubungan emosional dengan penguasa di masa lalu. Upaya tersebut dibutuhkan untuk dijadikan dasar legitimasi gerakannya sekaligus menarik dukungan dari masyarakat. Untuk kasus di pulau Jawa, biasanya tokoh yang dijadikan kiblat adalah Prabu Brawijaya V, raja terakhir kerajaan Majapahit. Tokoh lain yang juga dapat digunakan adalah Para Wali ( Ulama Besar ), Para Santo. Upaya itu akan lebih berhasil jika pemuka gerakan itu dapat memperlihatkan benda benda regalia, simbol - simbol yang dapat dikaitkan dengsn tokoh pendahulunya, misalnya senjata pusaka. Gerakan seperti ini akan terus berkembang selama para pemimpin negara gagal mendistribusikan keadilan di berbagai aspek kehidupan. Berbagai ketimpangan yang terjadi di masyarakat, pasti akan dijadikan dasar justifikasi gerakan milenarianisme. Dengan demikian cara yang ditempuh Pemerintah dengan tindakan represif bukan merupakan solusi yang cerdas. Hari ini aparat negara dapat menangkap dan menahan Raja Keraton Agung Sejagat, tetapi akan muncul gerakan dan tokoh lain yang sejenis. Peryataan bombastis yang tidak bermutu dari para pejabat yang tidak kompeten, dengan mengatakan itu adalah gerakan dari orang frustrasi dan stres harus dihentikan. Mulailah berpikir logis, sistematis, sebagaimana layaknya orang terpelajar. Cari akar masalah dan cari solusi terbaik. Jika tidak mampu, jangan malu untuk minta advis dari orang yang tepat. Pada dasarnya gerakan milenarianisme tidak buruk, terutama jika para cendekiawan negeri ini mampu berkontribusi maksimal, sehingga dapat merubah arah gerakan dari arah negatif menjadi ke arah positif. Salah satu gagasan yang patut dipertimbangkan adalah melakukan transformasi makna, atau melakukan kuasa makna. Dengan kompetensi dan otoritas keilmuannya para ilmuwan sosial politik, ekonomi dan humaniora dapat membelokkan fokus perhatian masyarakat dari personalisasi ratu adil menjadi implementasi nilai nilai ratu adil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu instrumen keilmuan yang dapat memberikan sumbangan positifnya adalah ilmu semiotika. Sekarang sudah tersedia berbagai teori dalam bidang semiotika mulai dari yang sederhana hingga yang canggih. Teori teori tersebut dihasilkan oleh para teoritisi ternama seperti Ferdinand De Saussure, Roland Barthez, Michael Riffatere, Charles Sanders Pierce, C Levi - Strauss, Jacques Derrida dan masih banyak lainnya. Melalui upaya transformasi makna tersebut maka gerakan milenarianisme dapat berkontribusi positif dalam proses pembangunan. Penutup Tahu itu lebih baik dari pada tidak tahu. Ilmu menuntun kita untuk dapat menjalani kehidupan bermartabat dan terhormat. Di atas semua itu yang lebih utama adalah berpikir adil berkata adil dan berbuat adil. Orang terpelajar harus adil sejak di alam pemikiran. Kemampuan mendistribusikan keadilan akan membuat bumi ini menjadi tempat yang menyenangkan untuk dihuni oleh siapapun, tanpa memandang ras, budaya, status sosial dan ideologi / kepercayaan yang dianutnya. *HMMCJ WIRTJES IV ( YANCE ), Dosen Antrpologi Universitas Sumatera Utara
Pengantar Milenarianisme atau dapat juga disebut milenarisme adalah suatu keyakinan oleh suatu kelompok atau gerakan keagamaan, sosial atau politik tentang suatu transformasi besar di dalam masyarakat. Setelah itu masyarakat akan berubah ke arah yang lebih baik ( positif ), atau dapat juga ke arah yang lebih buruk ( negatif ). Mileniarisme adalah suatu bentuk milenarianisme spesifik berdasarkan siklus seribu tahunan. Siklus seribu tahunan ini sangat menonjol di dalam paham Kekristenan. Menjelang pergantian milenium dari milenium pertama memasuki milenium kedua di daratan Eropa, masyarakat dilanda kecemasan. Pihak Gereja Katolik dan masyarakat penganutnya percaya bahwa pada tahun 1000 M, dunia akan kiamat. Pihak Kepausan dan Keuskupan mendorong umatnya bertobat dan beribadah sebanyak-banyaknya. Tiap kota berlomba-lomba membangun gereja yang besar dan megah. Periode ini berlangsung selama 2 abad, dan melahirkan teknik dan seni bangunan bergaya Gothik. Bangunan gereja bergaya gothik ditandai dengan ciri bangunan tinggi, langsing, menjulang ke langit, dengan bentuk atap lancip dan menara runcing. Bangunan lancip dan runcing menggambarkan keinginan kuat manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Setelah dua ratus tahun terlewati, kemudian tiga ratus tahun berlalu tanpa terjadi bencana kiamat yang ditakutkan selama itu. Ketakutan akan kiamatpun berangsur- angsur hilang. Hal ini diikuti dengan menurun drastis semangat membangun gereja gereja ( kathedral ) besar dan megah dan berakhir pula masa keemasan teknik dan seni bangunan bergaya gothik. Contoh bangunan bergaya gothik di Indonesia adalah gereja Kathedral di Jakarta, yang letaknya sekarang berseberangan dengan mesjid Istiqlal, di kawasan Jakarta Pusat. Fenomena munculnya kerajaan kerajaan di Negara Republik Pada awal Januari tahun 2020 masyarakat Indonesia dikejutkan dengan deklarasi berdirinya Kerajaan Keraton Agung Sejagat, dipimpin oleh Raja Totok Santoso Hadiningrat dan didampingi oleh permaisurinya yang bernama Kanjeng Ratu Dyah Gitarja. Keratonnya terletak di desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Raja Totok dibantu oleh 13 orang menteri, dan puluhan pejabat tinggi. Total pengikut raja Totok berjumlah ldbih kurang 450 orang. Anehnya Kerajaan ini tidak menggunakan simbol simbol Jawa atau Nusantara, melainkan simbol simbol bersifat internasional, seperti swastika dan bintang Daud. Nama raja dan ratu jelas berkarakter Jawa dan hal ini menunjukkan adanya upaya menjaga kontinuitas dengan penguasa masa lalu. Hal ini dilakukan demi memperoleh legitimasi kekuasan. Nama ratunya bahkan merupakan hasil copy paste dari nama salah seorang puteri raja Kertanegara, dari kerajaan Singasari. Belum reda rasa terkejut, masyarakat kembali tersentak oleh deklarasi kerajaan Sunda Empire. Anehnya, kerajaan ini bernama Sunda , tetapi berlokasi bukan di Tatar Sunda, melainkan di Tanah Jawi, tepatnya di desa Grinting, Kecamatan Bula Lambat, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan ini dipimpin oleh Ki Ageng Rangga Sasana, yang mengklaim dirinya pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Nusantara Teritorial. Raja ini juga menggunakan simbol simbol yang bernuansa internasional lewat nama jabatannya di samping menunjukkan adanya kontinuitas dengan masa lalu ( periode Kolonial ). Berselang hanya beberapa hari, muncul deklarasi berdirinya Kerajaan Selacau, di kampung Nagara tengah , desa Cibungur , Kecamatan Parung Pontang, Kabupaten Tasik Malaya, Provinsi Jawa Barat. Raja nya bernama Rohidin.berusia 40 tahun dan mengaku sebagai keturunan ke 9 dari raja Surawisesa dari kerajaan Pajajaran Pakuan. Rohidin bergelar Sultan Patra Kusuma VIII. Fenomena kemunculan beberapa kerajaan berikut rajanya mendapat beragam komentar dan tanggapan dari para pejabat, pakar dan masyarakat awam. Pada umumnya komentar itu bernada sama, yaitu para raja tersebut menderita gangguan jiwa, stres, dan frustrasi. Jawaban jawaban tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat, termasuk kelompok pakar sudah malas berpikir. Mereka berkomentar sambil lalu, seadanya, menunjukkan miskinnya penguasaan perbendaharaan pengetahuan teoritis. Sebenarnya fenomena itu dapat dijelaskan dengan cara yang lebih elegan. Tulisan ini mencoba menawarkan alternatif penjelasan dengan menggunakan konsep dan teori yang relevan. Konsep Milenarianisme Milenarianisme diartikan sebagai paham yang menganggap suatu era, jaman sejak kemunculannya, masa tumbuh berkembang, kemudian menurun dan berakhir, paling lama berdurasi 1000 tahun. Menjelang memasuki usia atau lewat 1000 tahun, situasi di masyarakat penuh dengan kekacauan, kejahatan, kemerosotan di segala bidang. Untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total diperlukan perubahan radikal dan mendasar di semua bidang. Dengan demikian lahirlah suatu era baru yang berbeda sama sekali dengan era lama. Proses peralihan itu sering ditandai dengan kekacauan, peperangan kerusuhan, gonjang ganjing, ontran - ontran. Di dalam periode kekalutan itu muncul seorang tokoh berkharisma yang memimpin masyarakat menuju era kejayaan yang dicita - citakan. Masyarakat menggantungkan harapan pada tokoh itu untuk membawa kemajuan , kebaikan, kedamaian. Tokoh tersebut dianggap sebagai Mesias, Mesiah, Ratu Adil, Imam Mahdi. Untuk mendapatkan dukungan penuh, loyalitas total tanpa reserve dari massa pengikutnya, sosok yang dianggap sebagai Ratu Adil harus memiliki beberapa persyaratan, yaitu : Memiliki kharisma, berwibawa, setiap pembicaraannya mampu meyakinkan banyak orang. Mampu membuktikan adanya kontinuitas antara dirinya dengan penguasa atau dinasti penguasa sebelumnya. Biasanya tokoh tersebut menggunakan nama / gelar, ciri atribut, simbol, benda ( regalia ) yang dapat diasosiasikan dengan penguasa sebelumnya. Mampu meyakinkan orang banyak bahwa dirinya memiliki mandat, kuasa, wahyu ( pulung keraton ), dari langit untuk membawa, memimpin masyarakat dalam upaya mencapai kejayaan dan kemakmuran. Konsep Waktu Dalam Milenarianisme Untuk dapat memahami konsep milenarianisme, perlu dipahami konsep waktu yang pernah dan masih dianut sampai saat ini. Konsep waktu yang relevan dibahas di sini adalah konsep berdasarkan Filsafat Timur dan Filsafat Barat, bukan konsep waktu menurut Fisika Kuantum. Dalam Filsafat Barat, waktu digambarkan seperti lintasan anak panah, bergerak dari titik awal, menuju titik sasaran. Lintasan itu dibagi menjadi tiga etape atau babak, terdiri dari masa lampau --- masa kini --- masa depan. Lintasan waktu tidak pernah berbelok atau berbalik arah. Filsafat Timur menggambarkan waktu sebagai lingkaran, siklus. Satu siklus dibagi menjadi 4 etape, yaitu: Jaman Krta Yuga, phase ini digambarkan sebagai jaman ideal, semua orang berkarakter baik, keamanan terpelihara, kemakmuran melimpah. Setelah periode ini mencapai puncak kejayaan , mulai mengalami penurunan mutu sedikit demi sedikit. maka dimulailah periode berikutnya yaitu ; Jaman Dwpara Yuga. Periode ini porsi orang baik tinggal 75 persen, kejahatan mulai muncul. Walaupun demikian sendi sendi penopang peradaban masih berfungsi, hanya mutunya berkurang. Jaman Treta Yuga. Pada periode ini Jumlah orang baik sudah berimbang dengan orang jahat. Kondisi keamanan mulai kacau, kemakmuran merosot, orang hidup di dalam kecemasan. Kondisi dengan cepat memburuk, dan segera memasuki phase terakhir yaitu; Jaman Kali Yuga, atau jaman Kala Bendu atau Jaman Edan. Phase ini digambarkan sebagian besar orang berbuat jahat, dan kemungkaran meluas meliputi dimensi horizontal , dimensi vertikal. Kehancuran peradaban hanya tinggal menunggu waktu. Masyarakat hanya dapat pasrah sambil berharap segera muncul Mesias, Ratu Adil yang akan menumpas habis kejahatan, membawa dan memimpin masyarakat menuju puncak kejayaan. Akhir jaman Kali Yuga ditutup dengan peristiwa besar berupa Pralaya, atau Kiamat, atau Pageblug. Dalam konsep ini, peristiwa kiamat dibutuhkan sebagai sarana penghancur kejahatan, sekaligus mencuci bersih dunia dari sisa puing puing kejahatan. Setelah pralaya, masyarakat segera menyambut jaman baru yaitu memasuki siklus berikutnya, kembali ke jaman krta yuga. Demikianlah seterusnya siklus jaman berlangsung terus menerus. Analisis Dengan konsep milenarianisme sebagai pisau analisis, kita coba meneropong dan menganalisis fakta yang telah dipaparkan di atas. Fenomena milenarianisme bukan monopoli suatu bangsa, ruang, waktu tertentu saja, tetapi merupakan fenomena universal. Peristiwa serupa di masa kini bukan yang pertama dan bukan pula yang terakhir. Akan muncul fenomena yang sama di tempat lain di masa kini, atau ditempat yang sama di waktu lain. Paham milenarianisme tumbuh subur di kalangan masyarakat marginal yang terpinggirkan oleh dominasi segelintir kelompok elit. Gerakan itu adalah wujud upaya protes, perlawanan dari kelompok pinggiran melawan dominasi dan dan tidakan eksploitatif dari kelompok para elit politik, ekonomi, militer dan cendekiawan. Pemuka gerakan milenarianisme biasanya berasal dari kelompok grass root (akar rumput ), yang mengkaitkan dirinya masih punya hubungan genealogis ataupun hubungan emosional dengan penguasa di masa lalu. Upaya tersebut dibutuhkan untuk dijadikan dasar legitimasi gerakannya sekaligus menarik dukungan dari masyarakat. Untuk kasus di pulau Jawa, biasanya tokoh yang dijadikan kiblat adalah Prabu Brawijaya V, raja terakhir kerajaan Majapahit. Tokoh lain yang juga dapat digunakan adalah Para Wali ( Ulama Besar ), Para Santo. Upaya itu akan lebih berhasil jika pemuka gerakan itu dapat memperlihatkan benda benda regalia, simbol - simbol yang dapat dikaitkan dengsn tokoh pendahulunya, misalnya senjata pusaka. Gerakan seperti ini akan terus berkembang selama para pemimpin negara gagal mendistribusikan keadilan di berbagai aspek kehidupan. Berbagai ketimpangan yang terjadi di masyarakat, pasti akan dijadikan dasar justifikasi gerakan milenarianisme. Dengan demikian cara yang ditempuh Pemerintah dengan tindakan represif bukan merupakan solusi yang cerdas. Hari ini aparat negara dapat menangkap dan menahan Raja Keraton Agung Sejagat, tetapi akan muncul gerakan dan tokoh lain yang sejenis. Peryataan bombastis yang tidak bermutu dari para pejabat yang tidak kompeten, dengan mengatakan itu adalah gerakan dari orang frustrasi dan stres harus dihentikan. Mulailah berpikir logis, sistematis, sebagaimana layaknya orang terpelajar. Cari akar masalah dan cari solusi terbaik. Jika tidak mampu, jangan malu untuk minta advis dari orang yang tepat. Pada dasarnya gerakan milenarianisme tidak buruk, terutama jika para cendekiawan negeri ini mampu berkontribusi maksimal, sehingga dapat merubah arah gerakan dari arah negatif menjadi ke arah positif. Salah satu gagasan yang patut dipertimbangkan adalah melakukan transformasi makna, atau melakukan kuasa makna. Dengan kompetensi dan otoritas keilmuannya para ilmuwan sosial politik, ekonomi dan humaniora dapat membelokkan fokus perhatian masyarakat dari personalisasi ratu adil menjadi implementasi nilai nilai ratu adil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu instrumen keilmuan yang dapat memberikan sumbangan positifnya adalah ilmu semiotika. Sekarang sudah tersedia berbagai teori dalam bidang semiotika mulai dari yang sederhana hingga yang canggih. Teori teori tersebut dihasilkan oleh para teoritisi ternama seperti Ferdinand De Saussure, Roland Barthez, Michael Riffatere, Charles Sanders Pierce, C Levi - Strauss, Jacques Derrida dan masih banyak lainnya. Melalui upaya transformasi makna tersebut maka gerakan milenarianisme dapat berkontribusi positif dalam proses pembangunan. Penutup Tahu itu lebih baik dari pada tidak tahu. Ilmu menuntun kita untuk dapat menjalani kehidupan bermartabat dan terhormat. Di atas semua itu yang lebih utama adalah berpikir adil berkata adil dan berbuat adil. Orang terpelajar harus adil sejak di alam pemikiran. Kemampuan mendistribusikan keadilan akan membuat bumi ini menjadi tempat yang menyenangkan untuk dihuni oleh siapapun, tanpa memandang ras, budaya, status sosial dan ideologi / kepercayaan yang dianutnya. *HMMCJ WIRTJES IV ( YANCE ), Dosen Antrpologi Universitas Sumatera Utara© Copyright 2024, All Rights Reserved