Wisatawan Muslim akan membelanjakan US $ 220 miliar tahun 2020, pariwisata halal menjadi kategori pariwisata yang berkembang pesat, karena itu platform Muslim Friendly (ramah-Muslim) mulai bermunculan dimana-mana. Data pengeluaran pelancong Muslim diperkirakan akan meningkat menjadi US $ 220 miliar pada tahun 2020, dengan jumlah wisatawan Muslim tumbuh menjadi 156 juta dari 121 juta pada 2016. Data itu diperoleh dari Indeks Perjalanan Muslim Global (GTMI) tahun 2017. Tidak bisa dipungkiri, sebagai fenomena bisnis yang laju pertumbuhannya sangat pesat, wisata 'halal' itu jelas merupakan segmen pasar yang berkembang. Turis Muslim pencari tujuan yang memenuhi standar kebutuhan mereka (dalam hal makanan, pakaian, atau ritual, ini) begitu penting untuk diabaikan oleh pasar dan pemerintahan di dunia. Memang penduduk negara ini mayoritas Budha, meskipun dengan populasi Muslim yang cukup besar di selatan, tetapi adalah fakta yang takmungkin dipungkiribahwa Thailand telah terbukti menjadi tujuan populer bagi umat Islam, terutama dari Indonesia, yang mencari liburan yang terjangkau dan makanan Thailand. Sedangkan untuk Inggris, pengeluaran Muslim diperkirakan akan meningkat menjadi US $ 4,1 miliar pada tahun 2020. Adaptasi dengan Kebutuhan Wisatawan Muslim Mengingat potensi sektor ini, penting bagi industri perhotelan untuk beradaptasi dengan perubahan persyaratan halal untuk memenuhi kebutuhan wisatawan Muslim. Menurut CrescentRating, hotel dan restoran setidaknya harus menawarkan makanan halal. Sebuah destinasi kemudian dipandang semakin menarik bagi para pelancong Muslim (sebagaimana dinilai dalam peringkat GTMI) berdasarkan ketersediaan fasilitas sholat, kamar mandi ramah Muslim dan penawaran terkait Ramadhan. Sementara banyak bandara di dunia sekarang menawarkan makanan halal dan ruang sholat, beberapa masih kekurangan fasilitas cuci atau wudhu. Membentuk Masa depan Dengan Teknologi Selain agen perjalanan online atau Online Travel Agency (OTA) yang lebih tradisional seperti booking.com atau TripAdvisor, platform ramah-Muslim mulai bermunculan5. Platform peer-to-peer juga muncul. Bookhalalhomes.com telah menjadi portal terkemuka dunia untuk penyewaan akomodasi halal. Ini membedakan dirinya dari Airbnb dengan menjamin layanan bersertifikat halal seperti makanan halal dan mushalla yang ditunjuk. Aplikasi smartphone juga sedang dikembangkan. Otoritas Pariwisata Thailand konon telah meluncurkan aplikasi yang membantu pelancong Muslim menemukan produk dan layanan halal. Ini menyediakan informasi tentang waktu sholat, pilihan makanan, dan paket tamasya. Aplikasi lain, Halal Trip, menawarkan informasi terkait lebih dari 65 tujuan di seluruh dunia. Ini menghasilkan pendapatan dengan menjual paket wisata yang cocok, apakah itu menikmati Hiu Putih Hebat di Afrika Selatan, budaya dan sejarah di Spanyol, atau berbelanja di Dubai. Bagaimana Inovasi Memengaruhi Permintaan? Dengan pengeluaran para pelancong Muslim yang akan mencapai US $ 220 miliar tahun 2020, dan fakta populasi Islam sebagai agama paling cepat tumbuh di dunia, para wisatawan Muslim jelas merupakan beberapa pelanggan terpenting pasar wisata. Faktor-faktor penarik seperti layanan yang ramah keluarga dan ramah Muslim adalah penting, seperti halnya kesadaran halal. Ketika masalah keamanan dan persyaratan halal dasar dipenuhi, pariwisata dunia akan terus tumbuh. Adapun teknologi, perusahaan teknologi halal tampaknya telah membentuk keuntungan penggerak pertama. Tapi itu hanya masalah waktu sebelum OTA utama negara-negara Barat masuk dan berusaha untuk mendominasi pasar yang amat menjanjikan ini. Trend Dunia Sebagaimana telah digambarkan pada bagian awal tulisan ini, fakta saat ini menunjukkan bahwa sesungguhnya model-model yang sedang diusahakan di Indonesia dengan penerbitan regulasi Jaminan ProdukHalal (JPH) sudah tumbuh pesat menjadi bisnis multi-miliar dolar di seluruh dunia. Demandnya (permintaan) terus meningkat dan sekarang diterima secara luas karena memang produk bersertifikat halal itu secara substantif telah memenuhi standar internasional untuk keamanan konsumsi. Selain itu di seluruh dunia kini banyak lembaga yang memiliki kewenangan mengurusi masalah halal yang menurut sejarahnya sejak tahun 1999 lalu telah bersepakat atas pendirian Dewan Makanan Halal Dunia (WHFC) yang di dalamnya Lembaga Pengkajian Pangan, Obat- Obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI) memiliki peran penting. Kontroversi di Dalam Negeri Ini harus diawali dengan peninjauan atas regulasi yang ada. Setidaknya terdapat beberapa kealpaan besar Indonesia seputar penerbitan UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Hingga kini kehadiran UU itu seolah hanya dapat dinilai sebagai kemunculan sebuah tekad belaka. Kurangnya upaya civil society untuk mendorong dan bahkan menekan pemerintah untuk memenuhi kewajibannya secara jelas berkaitan dengan lemahnya posisi tawar saat ini8. Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Jaminan Produk Halal (JPH) baru dapat terbit pada tanggal 29 April 2019 (Nomor 31 Tahun 2O19). Akibat kekosongan pengaturan teknis UU JPH sama sekali belum dapat dikategorikan sebagai keputusan politik yang mengikat efektif, baik kepada penyelenggara negara maupun kepada rakyat. Memang Peraturan Presiden Republik Indonesia No 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama telah menetapkan bahwa pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal termasuk dalam lingkup kedudukan, tugas, dan fungsi Kementerian Agama RI sebagaimana ditegaskan pada pasal 3 huruf h10. Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 94/TPA Tahun 2017 Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) memang resmi sudah memiliki pimpinan yakni Sukoso, seorang guru besar bidang kelautan dan bioteknologi perikanan padai Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang. Tetapi itu baru sebagian dari banyak hal yang diperlukan untuk mendorong efektifitas UU JPH. AturanTeknis Sejumlah pengaturan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan UU JPH hadir sangat terlambat atau bahkan hingga kini masih belum tersedia. Misalnya tentang ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagaimana disebutkan pada pasal 5 ayat (5), model kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkaitsebagaimana disebutkan pada pasal 11 yang memerlukan Peraturan Pemerintah. Salah satu masalah yang kini jelas terlihat ialah bahwa kini jutaan jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia yang wajib disertifikasi halal terutama pangan, obat, kosmetik dan yang lainnya diasumsikan sedang menantikan terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) yang menjadi turunan UU JPH. Walaupun sebenarnya kriteria sertifikasi halal cukup sederhana, namun terdapat titik krusial yang harus dipahami12. Peran Pemerintah Daerah Tiga daerah pengembangan wisata halal terkemuka di Indonesia saat ini ialah Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat dan Aceh. Apakah hal serupa dapat direplikasi di darrah-daerah lain di seluruh Indonesia? Sensitivitas subjektif tidak selalu menguntungkan untuk saat ini karena Indonesia sedang dibebani oleh kegairahan berkonflik atas nama rivalitas antar agama, diakui atautidak. Tetapi sangatlah penting untuk diketahui secara baik bahwa setelah cukup alpa selama 7 dasawarsa lebih tak pernah berfikir bagaimana mengatur ketentuan perlindungan tentang JPH, ternyata setelah diundangkan baik pemerintah maupun rakyat terkesan sama-sama acuh tak acuh. Padahal masalah ini sebetulnya menyangkut mayoritas umat beragama di Indonesia dengan hak normaifnya yang menuntut diakui. Jika gagasan ini dikaitkan dengan trend wisata halal dunia,benang merahnya demikian kental. Bahwa wisata halal itu tidak perlu over politisasi jika memang sektor wisata diposisikan sebagai sumber pendapatan pentingmenjawab semakin langkanya sumberdaya sembari memberi respon yang sepatutnya atas trend dunia. Sumatera Utara tidak perlu terburu-buru menghadapihal sensitif ini. Namun peran komunikasi politik sangat penting. Merujuk pada peristiwa-peristiwa penting menjelang pencoblosan pemilu serentak 2019, jejak digital yang begitu sarat sebetulnya lebih dari cukup untukmenyadarkan para penggerak resistensi bahwa niat politisasi di balik wisata halal adalah sesuatu yang amat jauh dari pokok persoalan dan amat kontraproduktif bagi kebijakan serta partisipasi sosial dalam pembangunan kepariwisataan lokal dan nasional. [R] Shohibul Anshor Siregar Pengamat Politik
Wisatawan Muslim akan membelanjakan US $ 220 miliar tahun 2020, pariwisata halal menjadi kategori pariwisata yang berkembang pesat, karena itu platform Muslim Friendly (ramah-Muslim) mulai bermunculan dimana-mana. Data pengeluaran pelancong Muslim diperkirakan akan meningkat menjadi US $ 220 miliar pada tahun 2020, dengan jumlah wisatawan Muslim tumbuh menjadi 156 juta dari 121 juta pada 2016. Data itu diperoleh dari Indeks Perjalanan Muslim Global (GTMI) tahun 2017. Tidak bisa dipungkiri, sebagai fenomena bisnis yang laju pertumbuhannya sangat pesat, wisata 'halal' itu jelas merupakan segmen pasar yang berkembang. Turis Muslim pencari tujuan yang memenuhi standar kebutuhan mereka (dalam hal makanan, pakaian, atau ritual, ini) begitu penting untuk diabaikan oleh pasar dan pemerintahan di dunia. Memang penduduk negara ini mayoritas Budha, meskipun dengan populasi Muslim yang cukup besar di selatan, tetapi adalah fakta yang takmungkin dipungkiribahwa Thailand telah terbukti menjadi tujuan populer bagi umat Islam, terutama dari Indonesia, yang mencari liburan yang terjangkau dan makanan Thailand. Sedangkan untuk Inggris, pengeluaran Muslim diperkirakan akan meningkat menjadi US $ 4,1 miliar pada tahun 2020. Adaptasi dengan Kebutuhan Wisatawan Muslim Mengingat potensi sektor ini, penting bagi industri perhotelan untuk beradaptasi dengan perubahan persyaratan halal untuk memenuhi kebutuhan wisatawan Muslim. Menurut CrescentRating, hotel dan restoran setidaknya harus menawarkan makanan halal. Sebuah destinasi kemudian dipandang semakin menarik bagi para pelancong Muslim (sebagaimana dinilai dalam peringkat GTMI) berdasarkan ketersediaan fasilitas sholat, kamar mandi ramah Muslim dan penawaran terkait Ramadhan. Sementara banyak bandara di dunia sekarang menawarkan makanan halal dan ruang sholat, beberapa masih kekurangan fasilitas cuci atau wudhu. Membentuk Masa depan Dengan Teknologi Selain agen perjalanan online atau Online Travel Agency (OTA) yang lebih tradisional seperti booking.com atau TripAdvisor, platform ramah-Muslim mulai bermunculan5. Platform peer-to-peer juga muncul. Bookhalalhomes.com telah menjadi portal terkemuka dunia untuk penyewaan akomodasi halal. Ini membedakan dirinya dari Airbnb dengan menjamin layanan bersertifikat halal seperti makanan halal dan mushalla yang ditunjuk. Aplikasi smartphone juga sedang dikembangkan. Otoritas Pariwisata Thailand konon telah meluncurkan aplikasi yang membantu pelancong Muslim menemukan produk dan layanan halal. Ini menyediakan informasi tentang waktu sholat, pilihan makanan, dan paket tamasya. Aplikasi lain, Halal Trip, menawarkan informasi terkait lebih dari 65 tujuan di seluruh dunia. Ini menghasilkan pendapatan dengan menjual paket wisata yang cocok, apakah itu menikmati Hiu Putih Hebat di Afrika Selatan, budaya dan sejarah di Spanyol, atau berbelanja di Dubai. Bagaimana Inovasi Memengaruhi Permintaan? Dengan pengeluaran para pelancong Muslim yang akan mencapai US $ 220 miliar tahun 2020, dan fakta populasi Islam sebagai agama paling cepat tumbuh di dunia, para wisatawan Muslim jelas merupakan beberapa pelanggan terpenting pasar wisata. Faktor-faktor penarik seperti layanan yang ramah keluarga dan ramah Muslim adalah penting, seperti halnya kesadaran halal. Ketika masalah keamanan dan persyaratan halal dasar dipenuhi, pariwisata dunia akan terus tumbuh. Adapun teknologi, perusahaan teknologi halal tampaknya telah membentuk keuntungan penggerak pertama. Tapi itu hanya masalah waktu sebelum OTA utama negara-negara Barat masuk dan berusaha untuk mendominasi pasar yang amat menjanjikan ini. Trend Dunia Sebagaimana telah digambarkan pada bagian awal tulisan ini, fakta saat ini menunjukkan bahwa sesungguhnya model-model yang sedang diusahakan di Indonesia dengan penerbitan regulasi Jaminan ProdukHalal (JPH) sudah tumbuh pesat menjadi bisnis multi-miliar dolar di seluruh dunia. Demandnya (permintaan) terus meningkat dan sekarang diterima secara luas karena memang produk bersertifikat halal itu secara substantif telah memenuhi standar internasional untuk keamanan konsumsi. Selain itu di seluruh dunia kini banyak lembaga yang memiliki kewenangan mengurusi masalah halal yang menurut sejarahnya sejak tahun 1999 lalu telah bersepakat atas pendirian Dewan Makanan Halal Dunia (WHFC) yang di dalamnya Lembaga Pengkajian Pangan, Obat- Obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI) memiliki peran penting. Kontroversi di Dalam Negeri Ini harus diawali dengan peninjauan atas regulasi yang ada. Setidaknya terdapat beberapa kealpaan besar Indonesia seputar penerbitan UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Hingga kini kehadiran UU itu seolah hanya dapat dinilai sebagai kemunculan sebuah tekad belaka. Kurangnya upaya civil society untuk mendorong dan bahkan menekan pemerintah untuk memenuhi kewajibannya secara jelas berkaitan dengan lemahnya posisi tawar saat ini8. Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Jaminan Produk Halal (JPH) baru dapat terbit pada tanggal 29 April 2019 (Nomor 31 Tahun 2O19). Akibat kekosongan pengaturan teknis UU JPH sama sekali belum dapat dikategorikan sebagai keputusan politik yang mengikat efektif, baik kepada penyelenggara negara maupun kepada rakyat. Memang Peraturan Presiden Republik Indonesia No 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama telah menetapkan bahwa pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal termasuk dalam lingkup kedudukan, tugas, dan fungsi Kementerian Agama RI sebagaimana ditegaskan pada pasal 3 huruf h10. Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 94/TPA Tahun 2017 Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) memang resmi sudah memiliki pimpinan yakni Sukoso, seorang guru besar bidang kelautan dan bioteknologi perikanan padai Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang. Tetapi itu baru sebagian dari banyak hal yang diperlukan untuk mendorong efektifitas UU JPH. AturanTeknis Sejumlah pengaturan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan UU JPH hadir sangat terlambat atau bahkan hingga kini masih belum tersedia. Misalnya tentang ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagaimana disebutkan pada pasal 5 ayat (5), model kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkaitsebagaimana disebutkan pada pasal 11 yang memerlukan Peraturan Pemerintah. Salah satu masalah yang kini jelas terlihat ialah bahwa kini jutaan jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia yang wajib disertifikasi halal terutama pangan, obat, kosmetik dan yang lainnya diasumsikan sedang menantikan terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) yang menjadi turunan UU JPH. Walaupun sebenarnya kriteria sertifikasi halal cukup sederhana, namun terdapat titik krusial yang harus dipahami12. Peran Pemerintah Daerah Tiga daerah pengembangan wisata halal terkemuka di Indonesia saat ini ialah Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat dan Aceh. Apakah hal serupa dapat direplikasi di darrah-daerah lain di seluruh Indonesia? Sensitivitas subjektif tidak selalu menguntungkan untuk saat ini karena Indonesia sedang dibebani oleh kegairahan berkonflik atas nama rivalitas antar agama, diakui atautidak. Tetapi sangatlah penting untuk diketahui secara baik bahwa setelah cukup alpa selama 7 dasawarsa lebih tak pernah berfikir bagaimana mengatur ketentuan perlindungan tentang JPH, ternyata setelah diundangkan baik pemerintah maupun rakyat terkesan sama-sama acuh tak acuh. Padahal masalah ini sebetulnya menyangkut mayoritas umat beragama di Indonesia dengan hak normaifnya yang menuntut diakui. Jika gagasan ini dikaitkan dengan trend wisata halal dunia,benang merahnya demikian kental. Bahwa wisata halal itu tidak perlu over politisasi jika memang sektor wisata diposisikan sebagai sumber pendapatan pentingmenjawab semakin langkanya sumberdaya sembari memberi respon yang sepatutnya atas trend dunia. Sumatera Utara tidak perlu terburu-buru menghadapihal sensitif ini. Namun peran komunikasi politik sangat penting. Merujuk pada peristiwa-peristiwa penting menjelang pencoblosan pemilu serentak 2019, jejak digital yang begitu sarat sebetulnya lebih dari cukup untukmenyadarkan para penggerak resistensi bahwa niat politisasi di balik wisata halal adalah sesuatu yang amat jauh dari pokok persoalan dan amat kontraproduktif bagi kebijakan serta partisipasi sosial dalam pembangunan kepariwisataan lokal dan nasional. Shohibul Anshor Siregar Pengamat Politik© Copyright 2024, All Rights Reserved