Indoensia Police Watch (IPW) mengecam tindakan dari pihak kepolisian yang melakukan penangkapan terhadap warga yang menolak pembangunan Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso menilai penangkapan terhadap warga tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dimana aparat patut diduga melakukan pelanggaran kewenangan.
“Oleh karenanya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus menurunkan tim untuk memeriksa aparat dan mencopot Kapolres Nagekeo dan Kapolda NTT,” katanya, Senin (30/5/2022).
Sugeng menyebutkan, pembangunan waduk Wadas di Purworejo dan Waduk Lambo Mbay di Nagekeo sama-sama merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan dalam pelaksanaannya terjadi pro dan kontra. Bedanya, kalau di Wadas kepemilikan tanahnya merupakan orang perorang. Sedangkan di Waduk Lambo Mbay ini tanah yang akan dibangun merupakan tanah ulayat milik masyarakat adat Suku Rendu.
Pihak kepolisian yang seharusnya menjembatani agar tidak terjadi konflik sosial seharusnya menjadi garda terdepan memberikan solusi bagi masyarakat yang mendukung dan menolak pembangunan.
“Namun yang terjadi, aparat memaksakan kehendaknya sehingga yang timbul adalah konflik horisontal di masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, pada Waduk Lambo Mbay, Kapolres memaksakan diadakan ritual adat di titik nol tapi dilakukan oleh Suku Kawa yang merupakan suku diluar rendu yang tidak mempunyai sangkut paut dengan tanah proyek Waduk yang akan dibangun. Waktunya, telah ditentukan tanggal 24 Maret 2022 kendati ditolak oleh Suku Rendu karena yang melaksanakan ritual bukan Suku Rendu.
Oleh karenanya, Saat berlangsungnya acara, masyarakat adat rendu menghadang Suku Kawa dan terjadi perang mulut, saling dorong dan nyaris berkelahi dihadapan Kapolres Nagekeo. Namun, situasi tegang itu bisa diantisipasi aparat keamanan.
Penghadangan kedua, terjadi pada 4 April 2022 saat Kapolres Nagekeo bersikukuh untuk memulai pembangunan waduk yang diawali dengan apel siaga dan juga acara ritual adat. Penghadangan oleh Suku Rendu dilakukan di pintu masuk proyek Waduk.
Saat dilakukan penghadangan, Matheus Bui yang memimpin ritual dengan parang pusaka adat (topo) yang diacungkan, tiba-tiba aparat polisi menyerbu dan menangkap para penghadang. Sebanyak 23 orang ditangkap dan dibawa ke Polres Nagekeo untuk menjalani pemeriksaan.
Ketika ditangkap, mereka mengalami kekerasan fisik berupa pemukulan dan ditendang. Bahkan, penangkapan terhadap masyarakat yang menolak pembangunan Waduk Lambo Mbay dilakukan aparat di rumah warga, saat mereka sedang makan dan tidur.
Penyiksaan kepada 23 warga itu berlanjut setelah mereka berada di Mapolres Nagekeo. Pada hari itu, mereka dijemur diterik matahari tiga kali. Pertama selama satu jam, kemudian yang kedua satu setengah jam dan yang ketiga ketika Kapolres datang menemui mereka.
Indonesia Police Watch (IPW) menilai perlakuan aparat dan Kapolres Nagekeo tersebut tidak mencerminkan adanya Reformasi Polri yang telah dicanangkan melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menjunjung hak asasi manusia (HAM) dan turunannya Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
“Untuk itu, menjadi tugas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menegakkan aturan terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum. Tentunya, dengan mencopot Kapolres Nagekeo dan Kapolda Nusa Tenggara Timur,” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved