Dalam seminar tersebut, Pengamat kebijakan menilai pemerintah pusat terlalu terburu-buru dalam penerapan tatanan kenormalan baru (New normal) dalam menghadapi pandemik Corona Virus (Covid-19).
Direktur RMI Wilayah Sumut, Piki Darma Kristian Pardede, M.Si, mengatakan pemerintah tidak memiliki analisis kebijakan yang jelas dalam penanganan dan pengendalian Covid-19.
\"Munculnya kebijakan New Normal seolah-olah pemerintah berangapan Pandemi Covid bukan ancaman serius, kita tau bahwa setiap provinsi dan daerah kabupaten/kota masih dibayang-bayangi oleh kekejaman pandemi ini. Kenormalan baru baru dapat diterapkan pemerintah ketika trend kasus positif Covid-19 cendrung menurun, dengan catatan bahwa penerapan kehidupan baru harus dilakukan secara terpadu dengan SOP dan kedisiplinan dari masyarakat.\" Ujar Piki saat setelah webinar berlangsung.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Dr Riant Nugroho Pakar Kebijakan Publik yang juga merupakan Dosen Pascasarjana Administrasi Publik Universitas Indonesia. Ia kemudian mencontohkan kebijakan kenormalan baru di Korea Selatan, Jepang, Swedia dan China yang membuka kembali aktivitas masyarakat malah yang melahirkan gelombang baru Covid-19.
\"Kita sebenarnya belum siap untuk New Normal, belum ada kesiapan pemerintah melonggarkan kebijakan PSBB. Seperti beberapa negara cabut aturan lockdown malah menimbulkan gelombang baru dan meningkatkan kasus positif Covid-19,\" kata Riant.
Selain itu, Dr Riant Nugroho juga mempertanyakan apakah pemerintah sendiri sudah memahami formulasi dan manajemen risiko kebijakan yang nantinya akan timbul saat new normal.
\"Kadang pemerintah kita seperti bondo nekat, main hajar saja. Ini jadi masalah pemerintah kita. Harusnya di analisis dulu. Setiap kebijakan ada manajemennya, apakah formulasi itu sudah menjawab risiko yang muncul, lalu bagaimana dengan pemahaman pemerintah. New normal itu apa, sudah ada gambaran risiko, dan bagaimana mengatasi risiko itu. Itu dulu yang paling utama\" ujar Dr Riant Nugroho.
Disisi lain Asima Yanty Siahaan, M.A, P.hD Akademisi dan juga sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Publik FISIP USU mengatakan sepakat bahwa New Normal bukan sekedar drama pemerintah untuk menutupi kegagalan penanganan Covid-19. Jika Pemerintah serius apakah sudah ada fasilitas seperti Big Data atau based on data yang merupakan variable dasar formulasi kebijakan.
\"Apakah Sumatera Utara hanya ikut-ikutan keputusan Pemerintah Pusat. Dan apakah kita hanya mau membuat New Normal atau New Batter Normal Tranformasi. Lalu bagaimana dengan Medan, apakah berani memasuki era new normal,? Kita akan uji sejauhmana pemda memahami isu-isu etis dan basis-basis hak ketika menerapkan new normal,\" tegas Asima
Dalam webinar tersebut turut hadir Dr Tunggul Sihombing MA selaku Ketua Prodi Administrasi Publik USU, Prof Robert Sibarani M.S Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Dr. Edward Sigalingging, M.Si Perwakilan Kemendagri, Dr. Willma Silalahi dari Mahkamah Konstitusi, Perwakilan BPK RI dan Pakar-pakar kebijakan dari UGM, LAN, dan Bappeda.[R]" itemprop="description"/>
Kualitas Bansos Sembako Mengecewakan, Ahmad Hadian Minta Diganti Dengan Uang Tunai
Dalam seminar tersebut, Pengamat kebijakan menilai pemerintah pusat terlalu terburu-buru dalam penerapan tatanan kenormalan baru (New normal) dalam menghadapi pandemik Corona Virus (Covid-19).
Direktur RMI Wilayah Sumut, Piki Darma Kristian Pardede, M.Si, mengatakan pemerintah tidak memiliki analisis kebijakan yang jelas dalam penanganan dan pengendalian Covid-19.
\"Munculnya kebijakan New Normal seolah-olah pemerintah berangapan Pandemi Covid bukan ancaman serius, kita tau bahwa setiap provinsi dan daerah kabupaten/kota masih dibayang-bayangi oleh kekejaman pandemi ini. Kenormalan baru baru dapat diterapkan pemerintah ketika trend kasus positif Covid-19 cendrung menurun, dengan catatan bahwa penerapan kehidupan baru harus dilakukan secara terpadu dengan SOP dan kedisiplinan dari masyarakat.\" Ujar Piki saat setelah webinar berlangsung.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Dr Riant Nugroho Pakar Kebijakan Publik yang juga merupakan Dosen Pascasarjana Administrasi Publik Universitas Indonesia. Ia kemudian mencontohkan kebijakan kenormalan baru di Korea Selatan, Jepang, Swedia dan China yang membuka kembali aktivitas masyarakat malah yang melahirkan gelombang baru Covid-19.
\"Kita sebenarnya belum siap untuk New Normal, belum ada kesiapan pemerintah melonggarkan kebijakan PSBB. Seperti beberapa negara cabut aturan lockdown malah menimbulkan gelombang baru dan meningkatkan kasus positif Covid-19,\" kata Riant.
Selain itu, Dr Riant Nugroho juga mempertanyakan apakah pemerintah sendiri sudah memahami formulasi dan manajemen risiko kebijakan yang nantinya akan timbul saat new normal.
\"Kadang pemerintah kita seperti bondo nekat, main hajar saja. Ini jadi masalah pemerintah kita. Harusnya di analisis dulu. Setiap kebijakan ada manajemennya, apakah formulasi itu sudah menjawab risiko yang muncul, lalu bagaimana dengan pemahaman pemerintah. New normal itu apa, sudah ada gambaran risiko, dan bagaimana mengatasi risiko itu. Itu dulu yang paling utama\" ujar Dr Riant Nugroho.
Disisi lain Asima Yanty Siahaan, M.A, P.hD Akademisi dan juga sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Publik FISIP USU mengatakan sepakat bahwa New Normal bukan sekedar drama pemerintah untuk menutupi kegagalan penanganan Covid-19. Jika Pemerintah serius apakah sudah ada fasilitas seperti Big Data atau based on data yang merupakan variable dasar formulasi kebijakan.
\"Apakah Sumatera Utara hanya ikut-ikutan keputusan Pemerintah Pusat. Dan apakah kita hanya mau membuat New Normal atau New Batter Normal Tranformasi. Lalu bagaimana dengan Medan, apakah berani memasuki era new normal,? Kita akan uji sejauhmana pemda memahami isu-isu etis dan basis-basis hak ketika menerapkan new normal,\" tegas Asima
Dalam webinar tersebut turut hadir Dr Tunggul Sihombing MA selaku Ketua Prodi Administrasi Publik USU, Prof Robert Sibarani M.S Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Dr. Edward Sigalingging, M.Si Perwakilan Kemendagri, Dr. Willma Silalahi dari Mahkamah Konstitusi, Perwakilan BPK RI dan Pakar-pakar kebijakan dari UGM, LAN, dan Bappeda.[R]"/>
Kualitas Bansos Sembako Mengecewakan, Ahmad Hadian Minta Diganti Dengan Uang Tunai
Dalam seminar tersebut, Pengamat kebijakan menilai pemerintah pusat terlalu terburu-buru dalam penerapan tatanan kenormalan baru (New normal) dalam menghadapi pandemik Corona Virus (Covid-19).
Direktur RMI Wilayah Sumut, Piki Darma Kristian Pardede, M.Si, mengatakan pemerintah tidak memiliki analisis kebijakan yang jelas dalam penanganan dan pengendalian Covid-19.
\"Munculnya kebijakan New Normal seolah-olah pemerintah berangapan Pandemi Covid bukan ancaman serius, kita tau bahwa setiap provinsi dan daerah kabupaten/kota masih dibayang-bayangi oleh kekejaman pandemi ini. Kenormalan baru baru dapat diterapkan pemerintah ketika trend kasus positif Covid-19 cendrung menurun, dengan catatan bahwa penerapan kehidupan baru harus dilakukan secara terpadu dengan SOP dan kedisiplinan dari masyarakat.\" Ujar Piki saat setelah webinar berlangsung.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Dr Riant Nugroho Pakar Kebijakan Publik yang juga merupakan Dosen Pascasarjana Administrasi Publik Universitas Indonesia. Ia kemudian mencontohkan kebijakan kenormalan baru di Korea Selatan, Jepang, Swedia dan China yang membuka kembali aktivitas masyarakat malah yang melahirkan gelombang baru Covid-19.
\"Kita sebenarnya belum siap untuk New Normal, belum ada kesiapan pemerintah melonggarkan kebijakan PSBB. Seperti beberapa negara cabut aturan lockdown malah menimbulkan gelombang baru dan meningkatkan kasus positif Covid-19,\" kata Riant.
Selain itu, Dr Riant Nugroho juga mempertanyakan apakah pemerintah sendiri sudah memahami formulasi dan manajemen risiko kebijakan yang nantinya akan timbul saat new normal.
\"Kadang pemerintah kita seperti bondo nekat, main hajar saja. Ini jadi masalah pemerintah kita. Harusnya di analisis dulu. Setiap kebijakan ada manajemennya, apakah formulasi itu sudah menjawab risiko yang muncul, lalu bagaimana dengan pemahaman pemerintah. New normal itu apa, sudah ada gambaran risiko, dan bagaimana mengatasi risiko itu. Itu dulu yang paling utama\" ujar Dr Riant Nugroho.
Disisi lain Asima Yanty Siahaan, M.A, P.hD Akademisi dan juga sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Publik FISIP USU mengatakan sepakat bahwa New Normal bukan sekedar drama pemerintah untuk menutupi kegagalan penanganan Covid-19. Jika Pemerintah serius apakah sudah ada fasilitas seperti Big Data atau based on data yang merupakan variable dasar formulasi kebijakan.
\"Apakah Sumatera Utara hanya ikut-ikutan keputusan Pemerintah Pusat. Dan apakah kita hanya mau membuat New Normal atau New Batter Normal Tranformasi. Lalu bagaimana dengan Medan, apakah berani memasuki era new normal,? Kita akan uji sejauhmana pemda memahami isu-isu etis dan basis-basis hak ketika menerapkan new normal,\" tegas Asima
Dalam webinar tersebut turut hadir Dr Tunggul Sihombing MA selaku Ketua Prodi Administrasi Publik USU, Prof Robert Sibarani M.S Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Dr. Edward Sigalingging, M.Si Perwakilan Kemendagri, Dr. Willma Silalahi dari Mahkamah Konstitusi, Perwakilan BPK RI dan Pakar-pakar kebijakan dari UGM, LAN, dan Bappeda.[R]"/>
Rumah Milenial Indonesia (RMI) Sumatera Utara, dan Centre for Public Policy And Local Governance Studies (PUBLIGO) bekerjasama dengan Prodi Ilmu Administrasi Publik Universitas Sumatera Utara melaksanakan Webinar Implementasi Manajemen Risiko untuk Mengawal Kebijakan Publik Penangan Covid-19 Dalam Menghadapi New Normal, Selasa (9/6/2020).
Berita Terkait:
Dalam seminar tersebut, Pengamat kebijakan menilai pemerintah pusat terlalu terburu-buru dalam penerapan tatanan kenormalan baru (New normal) dalam menghadapi pandemik Corona Virus (Covid-19).
Direktur RMI Wilayah Sumut, Piki Darma Kristian Pardede, M.Si, mengatakan pemerintah tidak memiliki analisis kebijakan yang jelas dalam penanganan dan pengendalian Covid-19.
"Munculnya kebijakan New Normal seolah-olah pemerintah berangapan Pandemi Covid bukan ancaman serius, kita tau bahwa setiap provinsi dan daerah kabupaten/kota masih dibayang-bayangi oleh kekejaman pandemi ini. Kenormalan baru baru dapat diterapkan pemerintah ketika trend kasus positif Covid-19 cendrung menurun, dengan catatan bahwa penerapan kehidupan baru harus dilakukan secara terpadu dengan SOP dan kedisiplinan dari masyarakat." Ujar Piki saat setelah webinar berlangsung.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Dr Riant Nugroho Pakar Kebijakan Publik yang juga merupakan Dosen Pascasarjana Administrasi Publik Universitas Indonesia. Ia kemudian mencontohkan kebijakan kenormalan baru di Korea Selatan, Jepang, Swedia dan China yang membuka kembali aktivitas masyarakat malah yang melahirkan gelombang baru Covid-19.
"Kita sebenarnya belum siap untuk New Normal, belum ada kesiapan pemerintah melonggarkan kebijakan PSBB. Seperti beberapa negara cabut aturan lockdown malah menimbulkan gelombang baru dan meningkatkan kasus positif Covid-19," kata Riant.
Selain itu, Dr Riant Nugroho juga mempertanyakan apakah pemerintah sendiri sudah memahami formulasi dan manajemen risiko kebijakan yang nantinya akan timbul saat new normal.
"Kadang pemerintah kita seperti bondo nekat, main hajar saja. Ini jadi masalah pemerintah kita. Harusnya di analisis dulu. Setiap kebijakan ada manajemennya, apakah formulasi itu sudah menjawab risiko yang muncul, lalu bagaimana dengan pemahaman pemerintah. New normal itu apa, sudah ada gambaran risiko, dan bagaimana mengatasi risiko itu. Itu dulu yang paling utama" ujar Dr Riant Nugroho.
Disisi lain Asima Yanty Siahaan, M.A, P.hD Akademisi dan juga sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Publik FISIP USU mengatakan sepakat bahwa New Normal bukan sekedar drama pemerintah untuk menutupi kegagalan penanganan Covid-19. Jika Pemerintah serius apakah sudah ada fasilitas seperti Big Data atau based on data yang merupakan variable dasar formulasi kebijakan.
"Apakah Sumatera Utara hanya ikut-ikutan keputusan Pemerintah Pusat. Dan apakah kita hanya mau membuat New Normal atau New Batter Normal Tranformasi. Lalu bagaimana dengan Medan, apakah berani memasuki era new normal,? Kita akan uji sejauhmana pemda memahami isu-isu etis dan basis-basis hak ketika menerapkan new normal," tegas Asima
Dalam webinar tersebut turut hadir Dr Tunggul Sihombing MA selaku Ketua Prodi Administrasi Publik USU, Prof Robert Sibarani M.S Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Dr. Edward Sigalingging, M.Si Perwakilan Kemendagri, Dr. Willma Silalahi dari Mahkamah Konstitusi, Perwakilan BPK RI dan Pakar-pakar kebijakan dari UGM, LAN, dan Bappeda.[R]
Rumah Milenial Indonesia (RMI) Sumatera Utara, dan Centre for Public Policy And Local Governance Studies (PUBLIGO) bekerjasama dengan Prodi Ilmu Administrasi Publik Universitas Sumatera Utara melaksanakan Webinar Implementasi Manajemen Risiko untuk Mengawal Kebijakan Publik Penangan Covid-19 Dalam Menghadapi New Normal, Selasa (9/6/2020).
Berita Terkait:
Dalam seminar tersebut, Pengamat kebijakan menilai pemerintah pusat terlalu terburu-buru dalam penerapan tatanan kenormalan baru (New normal) dalam menghadapi pandemik Corona Virus (Covid-19).
Direktur RMI Wilayah Sumut, Piki Darma Kristian Pardede, M.Si, mengatakan pemerintah tidak memiliki analisis kebijakan yang jelas dalam penanganan dan pengendalian Covid-19.
"Munculnya kebijakan New Normal seolah-olah pemerintah berangapan Pandemi Covid bukan ancaman serius, kita tau bahwa setiap provinsi dan daerah kabupaten/kota masih dibayang-bayangi oleh kekejaman pandemi ini. Kenormalan baru baru dapat diterapkan pemerintah ketika trend kasus positif Covid-19 cendrung menurun, dengan catatan bahwa penerapan kehidupan baru harus dilakukan secara terpadu dengan SOP dan kedisiplinan dari masyarakat." Ujar Piki saat setelah webinar berlangsung.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Dr Riant Nugroho Pakar Kebijakan Publik yang juga merupakan Dosen Pascasarjana Administrasi Publik Universitas Indonesia. Ia kemudian mencontohkan kebijakan kenormalan baru di Korea Selatan, Jepang, Swedia dan China yang membuka kembali aktivitas masyarakat malah yang melahirkan gelombang baru Covid-19.
"Kita sebenarnya belum siap untuk New Normal, belum ada kesiapan pemerintah melonggarkan kebijakan PSBB. Seperti beberapa negara cabut aturan lockdown malah menimbulkan gelombang baru dan meningkatkan kasus positif Covid-19," kata Riant.
Selain itu, Dr Riant Nugroho juga mempertanyakan apakah pemerintah sendiri sudah memahami formulasi dan manajemen risiko kebijakan yang nantinya akan timbul saat new normal.
"Kadang pemerintah kita seperti bondo nekat, main hajar saja. Ini jadi masalah pemerintah kita. Harusnya di analisis dulu. Setiap kebijakan ada manajemennya, apakah formulasi itu sudah menjawab risiko yang muncul, lalu bagaimana dengan pemahaman pemerintah. New normal itu apa, sudah ada gambaran risiko, dan bagaimana mengatasi risiko itu. Itu dulu yang paling utama" ujar Dr Riant Nugroho.
Disisi lain Asima Yanty Siahaan, M.A, P.hD Akademisi dan juga sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Publik FISIP USU mengatakan sepakat bahwa New Normal bukan sekedar drama pemerintah untuk menutupi kegagalan penanganan Covid-19. Jika Pemerintah serius apakah sudah ada fasilitas seperti Big Data atau based on data yang merupakan variable dasar formulasi kebijakan.
"Apakah Sumatera Utara hanya ikut-ikutan keputusan Pemerintah Pusat. Dan apakah kita hanya mau membuat New Normal atau New Batter Normal Tranformasi. Lalu bagaimana dengan Medan, apakah berani memasuki era new normal,? Kita akan uji sejauhmana pemda memahami isu-isu etis dan basis-basis hak ketika menerapkan new normal," tegas Asima
Dalam webinar tersebut turut hadir Dr Tunggul Sihombing MA selaku Ketua Prodi Administrasi Publik USU, Prof Robert Sibarani M.S Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Dr. Edward Sigalingging, M.Si Perwakilan Kemendagri, Dr. Willma Silalahi dari Mahkamah Konstitusi, Perwakilan BPK RI dan Pakar-pakar kebijakan dari UGM, LAN, dan Bappeda.