Di tengah proyek ambisius jalur sutra China di Asia Tenggara, kekuatan Amerika, Eropa, dan Pasifik, mulai muncul dan ikut bersaing untuk menawarkan alternatif perdagangan yang lebih menguntungkan kepada mitranya di kawasan.
Silk Road atau jalur sutera adalah sebuah jaringan jalur perdagangan yang menghubungkan China, Timur Tengah, dan Eropa. Proyek ini menjadi obesesi masa lalu China di mana porselen biru-putihnya populer di kalangan konsumen Inggris hingga melahirkan julukan Chinamania.
Namun, saat ini obsesi China untuk menciptakan kembali jalan sutra baru di Asia menjadi redup setelah munculnya kekuatan besar lain yang masuk dan menawarkan banyak bantuan dana di kawasan.
Seperti dimuat dalam The Print pada Rabu (24/8), Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan Astralia telah meningkatkan pengaruhnya di kawasan dan bersaing dengan China untuk membangun rantai pasokan regional dari Thailand ke Vietnam.
Pada Mei lalu, Amerika Serikat mengumumkan kemitraan transportasi dengan ASEAN untuk pendanaan infrastruktur dengan energi bersih. AS bersama G7 juga sepakat mengeluarkan dana senilai Rp 8,9 Triliun pada Juni lalu untuk membalas proyek bantuan dana BRI China.
Di sisi lain, Uni Eropa ingin menandatangani kesepakatan infrastruktur dengan Asia Tenggara. Prancis sendiri akan membantu Indonesia membangun bandara dan membiayai studi AS untuk meningkatkan pelabuhan peti kemas di Vietnam.
Australia diperkirakan akan meningkatkan bantuan pembangunannya dengan mendanai pembuatan Jembatan Thailand.
Jepang juga baru-baru ini memberikan bantuan mulai dari pinjaman berbunga 0,1 persen untuk Pelabuhan Patimban Indonesia hingga kereta bawah tanah di negara Vietnam dan Filipina.
Sementara itu, realisasi ambisi Jalur Sutera China di Asia Tenggara yang paling terlihat adalah rencana jaringan kereta api cepat yang melintasi Singapura, Laos, Thailand, Malaysia hingga China.
Seorang peneliti di Pusat Kebijakan Pembangunan dan mantan pejabat bantuan Selandia Baru, Terence Wood berpendapat bahwa negara-negara kaya mendanai beberapa proyek tidak berdasarkan kebutuhan negara penerima, melainkan karena mereka merasa terancam dengan dominasi China.
Profesor Bisnis Internasional Universitas Thammasat Thailand, Pavida Pananond meragukan apakah bantuan G7 tersebut cenderung dilakukan untuk melawan kekuatan geopolitik dan geoekonomi China yang sedang tumbuh ataukah tidak.
© Copyright 2024, All Rights Reserved