Dua orang tersangka kasus dugaan pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) yang di duga dilakukan oleh anggota kepolisian terhadap 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) yang juga merupakan pengawal Habib Rizieq Sihab (HRS) tidak ditahan. Sementara berkas perkaranya sudah dinyatakan lengkap (P21), barang bukti berikut tersangkanya pun telah dilimpahkan Bareskrim Mabes Polri kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk disidangkan. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: 152/KMA/SK/VIII/2001 tanggal 4 Agustus 2021 bahwa PN Jakarta Timur ditunjuk untuk memeriksa dan memutus perkara ini.
Tidak ditahannya kedua tersangka pelaku unlawful killing ini menjadi tanda tanya besar bagi publik dalam konteks penegakan supremasi hukum. Penegakan supremasi hukum dimaksud adalah upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi yang tertinggi. Dengan menempatkan hukum sesuai tempatnya, maka hukum dapat melindungi seluruh warga masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan/atau dari pihak manapun, termasuk dari penyelenggara negara. Oleh karena itu, supremasi hukum tidak hanya ditandai sekedar tersedianya aturan hukum yang ditetapkan, tapi juga harus diiringi oleh kemampuan menegakkan kaidah hukum. Supremasi hukum juga dipahami sebagai salah esensi demokrasi, karena berimplikasi terhadap dua hal, yaitu: Pertama mencegah praktik penyalahgunaan kekuasaan. Kedua menjaga masyarakat agar dalam menjalankan hak-haknya tidak terjerumus dalam tindakan di luar batas hukum yang acap kali bertindak anarkis.
Pernyataan yang disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Leonard Eben Ezer Simanjuntak dihadapan media pada 24 Agustus 2021 jelas mencederai serta mencabik-cabik rasa kedilan masyarakat, bahkan peristiwa dalam kasus ini seperti dagelan hukum yang dipertontonkan oleh aparat penegakan hukum ke tengah masyarakat menimbulkan stigma negatif dan asumsi-asumsi serta pertanyaan mengapa tersangka tidak di tahan, sementara sanksi pidana atau ancaman hukumnya di atas lima tahun?.
Alasan-alasan untuk tidak ditahannya kedua pelaku unlawful killing tersebut secara hukum sebenarnya tidak mendasar. Mengapa demikian, karena alasan kedua tersangka masih berstatus sebagai anggota Polri aktif dan telah mendapat jaminan dari atasannya untuk tidak melarikan diri, serta akan kooperatif pada saat persidangan sejatiya tidak cukup sebagai alasan pembenar untuk tidak ditahan. Pendeknya sangat tidak logis bila pelaku pembunuhan yang nyata-nyata telah menghilangkan nyawa orang lain (korban) dengan ancaman hukuman di atas lima tahun atau lebih tapi tidak di tahan.
Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan dari tindak pidana pembunuhan adalah hilangnya nyawa korban, padahal nyawa merupakan anugerah Tuhan paling berharga yang dimiliki oleh setiap orang atau manusia. Oleh karenanya adalah wajar bila masyarakat melalui norma hukum positif berupaya melindungi setiap nyawa warganya dan memberi ancaman yang berat kepada pelaku kejahatan tindak pidana pembunuhan. Selain itu, dampak psikologis yang nyata akibat pembunuhan adalah traumatik yang akan dialami oleh pihak keluarga korban, baik oleh istri, anak maupun orang tua korban. Dampak lain yang tidak kalah pentingnya adalah kepanikan dan rasa takut di tengah kehidupan masyarakat.
Enam nyawa laskar FPI pengawal HRS yang tewas ditembak di Jalan Tol Cikampek, Kilo Meter 50 pada Senin 7 Desember 2020 dini hari sekitar Pukul 00.30 Wib yang di duga dilakukan oleh Briptu FR dan Ipda MYO dan EPZ (telah meningga dunia) adalah anggota Reserse Mobile Kepolisian Daerah Metro Jaya. Saat itu, anggota polisi dari Polda Metro Jaya ini membuntuti rombongan HRS, hingga kemudian terjadi bentrokan. Dari hasil investigasi yang dilakukan Komnas HAM menyatakan bahwa ada tindakan unlawful killing terhadap empat dari enam anggota laskar FPI tersebut, sebab keempaatnya tewas dalam penguasaan aparat kepolisian. Mereka ditembak mati dalam mobil polisi dalam perjalanan menuju Polda Metro Jaya.
Ketiga pelaku kemudian disangkakan telah melanggar Pasal 338 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 351 ayat (3) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Nah, bila merujuk pada ketentuan Pasal 338 KUHP cukup jelas aturannya bahwa pelaku pembunuhan diberi sanksi penjara paling lama lima belas tahun atau ketentuan Pasal 351 ayat (3) tentang penganiayaan yang mengakibatkan orang meninggal, diberi sanksi pidana paling lama tujuh tahun penjara. Jadi cukup jelas bahwa pembunuhan merupakan tindak pidana yang berat, maka sudah sepantasnya demi tegaknya hukum dan keadilan (law Inforcement), para pelaku di tahan.
Ketentuan KUHAP
Pasal 21 KUHAP secara tegas menyatakan sebahai berikut: (1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seseorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan ke khawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana. (2) Penahanan atau penahana lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangkaa atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat di tahan. (3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya. (4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: Pertama tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Kedua tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 KUHP. Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordantie (Pelanggaran terhadap Ordonasi Bea dan Cukai, terakhir diuah degan staatblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 UU Tindak Pidana Imigrasi (UU No. 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Terakhir, cukup jelas bahwa berdasarkan ketentuan KUHAP, maka penahanan terhadap para pelaku tindak pidana yang diancam dengan sanksi penjara lima tahun atau lebih dapat di tahan. Frasa atau ungkapan dapat di tahan dalam ketentuan KUHAP tersebut hendaknya dimakanai jangan dangkal, tapi dalam. Bahwa terhadap para pelaku tindak pidana kejahatan, lebih-lebih pelaku pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain yang notabene adalah anugerah Tuhan paling berharga yang diberikan kepada setiap manusia, maka demi terwujudnya rasa keadilan ditengah masayarakat, maka para pelaku hendaknya di tahan. Semoga!.***
Penulis merupakan praktisi hukum di Kota Medan
© Copyright 2024, All Rights Reserved