Pemikiran Zaim Saidi (ZS), lama berseliweran di dunia maya. Setidaknya, sejak 2016, Penulis sudah mengikuti akun instagram ZS.
Nah, Pria kelahiran Temanggung, Jawa Tengah pada 21 November 1962 itu, beberapa waktu ini menyita perhatian orang-orang yang mengikuti perkembangan dimensi ekonomi dan alternatifnya di Indonesia. Pasalnya, di dalam pasar komunitas yang diinisiasinya, Pasar Muamalah, menjadi kontroversi di mata hukum. Karena terdapat praktik dan transaksi jual beli dengan menggunakan mata uang dinar dan dirham.
Penangkapan ZS berawal dari informasi yang beredar perihal video viral penggunaan dinar emas dan dirham perak yang dipakai untuk transaksi di Pasar Muamalah, Depok, Jawa barat. Atas penangkapan tersebut ZS dikenakan pasal 9 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana: “barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas tahun.” Juga pasal 33 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang di mana tersangka ZS disangka tidak menggunakan rupiah sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual beli.
Dalam melihat peristiwa hukum ini maka penekanan yang penting adalah apakah perbutan ZS dimaksud di atas telah memenuhi unsur-unsur pidana pasal-pasal tersebut atau tidak terpenuhi, agar antara pertanggung jawaban pidana dan hak-hak hukumnya dapat terlihat dengan jelas dan seimbang, sehingga penegakan hukum dapat memenuhi nilai keadilan. Peranan Polisi selaku penyidik dalam konteks ZS ini bertugas untuk menemukan kebenaran yang selengkap-lengkapnya.
Maka oleh karena itu penyidik harus dapat melihat dengan cermat apakah ZS dalam perbuatannya dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana setelah terbukti memenuhi unsur mens rea (unsur subjektif / sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana) dan actus reus (perbuatan lahiriah / unsur objektif / perbuatan yang melanggar udang-undang).
Baik unsur mens rea atau actus reus dalam perkara ZS yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum dengan bertransaksi jual beli di pasar muamalah Depok harus dapat dijelaskan oleh penyidik secara lengkap, transparan dan mengungkap kebenaran. Kewajiban penyidik harus dapat mengungkap adakah unsur kesalahan (schuld). Kesalahan mana yang dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggung jawaban, atau mengandung beban pertanggung jawaban pidana, yang terdiri dari kesengajaan (dolus) dan/atau kelalaian (culpa) yang pada akhirnya mempertegas bahwa ZS telah melanggar norma undang-undang terkait mata uang.
Menurut keterangan ZS pada saat diperiksa penyidik, dinar dan dirham yang beredar dalam pasar muamalah tersebut dipesan dan dibuat oleh PT. Antam, Tbk, sehingga memang jika perbuatan ZS merupakan delik pidana maka PT. Antam juga harus ikut bertanggung jawab. Selain itu ZS dalam keterangannya tidak ada menyuruh atau menjalankan untuk melakukan jual beli di pasar muamalah tersebut secara paksa.
Setiap orang yang melakukan kegiatan transaksi jual beli adalah dengan suka rela tanpa adanya paksaan. Juga apabila perbuatan ZS disebut untuk mencari keuntungan maka penyidik harus dapat melihat apakah ada pihak yang dirugikan dalam transaksi tersebut. Namun bila ternyata ada yang dirugikan maka pasal tentang mata uang juga tidak tepat, karena lebih identik dengan pasal “penipuan”.
Terkait koin dinar atau dirham yang pada salah satu bagian sisinya terdapat tulisan “Amir Zaim Saidi” berdasarkan keterangan ZS sendiri adalah sebagai bentuk pertanggung jawaban dalam hal berat yaitu 1 dirham sama dengan 4,25 gram begitu juga 1 dirham. Dengan demikian kata “Amir” yang tertera dalam koin tersebut hanya sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban ketika koin yang diterbutkan PT. Antam tidak sesuai dengan berat yang ditentukan yaitu 4,25 gram.
Berdasarkan fakta-fakta hukum di atas penulis masih berkeyakinan bahwa perbuatan ZS bukanlah merupakan delik pidana namun demikian penulis juga yakin penyidik dapat bekerja dengan professional sesuai tugas dan kewenangannya. Penyidik sangat diharapkan dapat dengan jeli menempatkan perkara ini dengan bijaksana.
Bahwa kasus ini tidak ada kaitannya dengan kondisi politik di tengah masyarakat Indonesia yang telah terpolarisasi beberapa tahun kebelakang. Isu-isu mengenai “cebong dan kampret” yang beredar dalam media sosial terkait status ZS ini ramai diperbincangkan dan hangat di ruang-ruang diskusi tanpa solusi tersebut.
Perspektif lain terhadap fakta-fakta hukum tersebut setidaknya menurut penulis telah menyibak tabir bahwa dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini ternyata ada kelompok-kelompok kreatif yang melihat perlunya ada sebuah inovasi baru terhadap sistem perekonomian yang memang saat ini sedang tidak bergairah.
Maka sebagai negara, perbuatan menangkap dan menahan ZS adalah kurang tepat, negara harus melihat fenomena pasar muamalah tersebut sebagai sebuah masukan yang positif dan harus lebih dibina demi menunjang program ekonomi pemerintah meskipun memang harus lebih diteliti lebih lanjut.
Penulis juga berharap kepada kelompok-kelompok dimaksud untuk memilih jalur konstitusi guna melegalkan bentuk transaksi jual beli yang dipraktekkan di pasar-pasar muamalah, baik menggunakan koin emas atau koin perak atau hanya melalui barter atau tukar menukar. Alangkah baiknya lagi seandainya kelompok-kelompok dimaksud dapat berdiskusi dengan pihak lain yang relevan dan kompeten seperti MUI, OJK, dan lain sebagainya atau malah menggandeng Bank Syariah Indonesia yang dibentuk setelah dimergerkannya tiga bank syariah BUMN (BRI Syariah, Mandiri Syariah, dan BNI Syariah) untuk menawarkan ide-ide sejenis seperti yang ada di pasar muamalah Depok tersebut sehingga ada wadah resmi yang dapat menyalurkannya.
*Mahasiswa Paska Sarjana Fakultas Hukum UMSU
© Copyright 2024, All Rights Reserved