Perang terhadap korupsi di Indonesia telah sejak lama digaungkan. Rezim satu dengan rezim lainnya selalu mencanangkan wacana upaya pemberantas korupsi. Konon, sejak sebelum rezim yang ada tersebut berkuasa, khususnya saat kampanye politik, selalu ada saja terselip dalam rencana program ( visa dan misi) kedepannya jika terpilih, yakni akan melakukan pemberantasan korupsi.
Sejauh ini dalam pengamatan penulis komitmen kearah sana (pemberantasan korupsi) masih setengah hati yang dijalankan semua rezim yang berkuasa.
Kalaupun toh dilakukan upaya pemberantasan korupsi, masih terbatas pada upaya represif belaka. Pemberantasan korupsi dilakukan hanya pada tingkat hilir. Yakni ketika korupsi telah terjadi.
Koruptor terus ditangkapi, disidik, dituntut dan diadili dimeja pengadilan, baik yang melakukan, turut serta melakukan, membantu melakukan dan menyuruh melakukan tindak pidana korupsi.
Hari - hari kita acapkali mendengar berita tentang ditangkapnya koruptor, mungkin barangkali sudah bosan mendengarnya.
Sejauh ini terkadang muncul pertanyaan dibenak banyak orang. Sekian banyak pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) dijeruji besikan tetapi mengapa korupsi masih ada saja. Kenapa ini bisa terjadi?
Sepenggal pertanyaan diatas sebenarnya bisa dijawab dengan sederhana namun memerlukan political will yang kuat untuk mengimplementasikannya. Jawaban dari semua ini adalah fokus perhatian dari semua rezim yang ada dalam memberantas korupsi adalah terlalu terpaku pada sektor hilir. Ya, sektor hilir.
Sektor hilirlah yang sejauh ini dikonsentrasikan dalam pemberantasan korupsi. Hilir disini artinya telah terjadi peristiwa korupsinya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan Kepolisian hanya terkonsentrasi melakukan pemberantasan korupsi pada aspek hilir belaka.
Padahal, sektor hululah yang menjadi pintu masuk korupsi bisa terjadi secara meluas. Intinya, yang ingin saya sampaikan disini adalah pemerintah dan semua institusi penegakan hukum di Indonesia tidak punya inisiatif besar untuk duduk secara bersama - sama menggagas reformasi sistemik pada semua sistem kelembagaan dan membangun masyarakat yang sadar akan korupsi, agar kiranya korupsi tidak terjadi lagi.
Maksudnya apa? Kalau boleh saya analogikan korupsi di Indonesia ini seperti halnya limbah yang mencemari sungai. Dihilir sungai, kita bekerja keras dalam membersihakan air sungai dari limbah atau sampah. Terus menerus kita bersihkan. Untuk sementara waktu tampak bersih memang. Tapi yang mengherankan limbah dan sampah tersebut tetap masih ada saja.
Berulangkali dibersihkan tapi berulangkali juga limbah dan sampah masih saja ada. Sampai disini kitapun akhirnya jenuh dan pasrah kepada keadaan. Padahal kita sendiri yang tidak paham, bahwa ternyata limbah - limbah ataupun sampah tadi datang dari arah hulu sungai.
Di dekat hulu sungai diketahui terdapat banyak pabrik - pabrik yang membuang limbah kesungai atau dengan cara dialirkan secara langsung kebadan sungai. Belum lagi dikawasan hulu ini terdapat banyak penduduk yang membangun pemukiman diatas bantaran sungai. Mereka menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah.
Jika seandainya kita yang dihilir sungai mengerti bahwa asal - muasal limbah dan sampah berasal dari sektor hilir maka kita akan tahu secara persis bahwa titik persoalan tercemarnya sungai dihilir adalah karena limbah yang dibuang secara serampangan oleh industri yang diikuti masyarakat yang tinggal dibantaran yang juga membuang sampah disungai secara sembarangan dan tidak bertanggung jawab.
Nah, korupsi di Indonesia juga demikian adanya. Inisiatif besar dari pemerintah dan seluruh stakholder dibidang pemberantasan korupsi masih terpaku pada sektor hilir (represif) namun lemah mendesain bangunan prefentif.
Kita ambil contoh. Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia bahwa untuk menjadi kepala daerah memerlukan biaya yang relatif besar. Setidaknya, pra keterpilihan menjadi kepala daerah, mereka harus menanggung biaya ini - itu. Dan itu jumlahnya bermilyar - milyar. Minimal puluhan milyar bahkan sampai ratusan milyar, tergantung situasi dan keadaan.
Lantas, ketika calon kontestan kepala daerah tadi terpilih, dari mana ia bisa mengembalikan dana tadi apakah dan pribadinya atau orang lain (yang membantunya), padahal gajinyapun selama menjabat mungkin kurang dari biaya yang dikeluarkan untuk memenangkan dirinya? Maka yang sudah pasti dilakukannya adalah korupsi.
Mengapa ini luput diperhatikan untuk dibangun sistem yang baru agar korupsi tidak terjadi pada saat dia menjabat nantinya. Ini hanya contoh kecil.
Artinya dari ini semua yang bisa saya kemukakan, ternyata kita lemah dan untuk tidak mengatakan bahwa inisiatif kita dalam memberantas korupsi tak pernah cukup serius. Buktinya kita hanya bangga kalau penegak hukum dapat menangkapi koruptor (semisal OTT) tapi kita tak pernah punya greget yang kuat untuk membangun sistem yang komprehensif atau terpadu agar korupsi bisa diantisipasi sedini mungkin.
Seyogianya, yang mampu mengorkestrasikan pemberantasan korupsi ini adalah Presiden. Presiden punya tanggung jawab besar menggalang atau memimpin berbagai lembaga penegak hukum untuk memproduksi bangunan sistem prefentif.***
Penulis berprofesi sebagai advokat di Sumatera Utara
© Copyright 2024, All Rights Reserved