Ketika kau pergi berselempang Arema
ibu selalu berdoa kau baik-baik saja
saat kau pulang, ibu sudah siapkan rawon dengkul dan orem-orem kesukaanmu
karena ibu yakin, Arema pasti menang kau pasti senang.
Kini, di tubuhmu yang cungkring dan kaku
ibu tak kuasa menahan sesak di dada
anakku, ibu benci sepakbola !
Saya tidak melebih-lebihkan. Sepanjang pembacaan saya dalam sejarah tewasnya penonton sepakbola di dunia, ini salah satu yang terburuk. Mungkin angka 130 yang tewas sampai tulisan ini dikerjakan, boleh jadi saja akan bertambah. Sebuah tragedi kemanusiaan dalam sepakbola Indonesia, bahkan dunia. Banyak yang mengklaim jika insiden yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang menjadi peristiwa terburuk sepanjang sejarah perjalanan sepak bola Indonesia.
Dua tahun silam, tindakan kepolisian Ghana yang menembakkan gas air mata setelah terlibat kerusuhan dengan para pendukungnya menewaskan setidaknya 126 korban jiwa. Insiden tersebut tercatat sebagai peristiwa terburuk di Afrika.
Nun di Eropa, dunia sempat tersentak saat peristiwa Heysel, Brussels Belgia yang menewaskan 39 penonton jelang pertandingan final Piala Eropa yang mempertemukan Juventus vs Liverpool. Buntutnya, seluruh klub liga Inggris dilarang bermain di level Eropa. Mungkin karena dunia sepakbola Eropa selalu jadi kiblat para pemain hebat dunia, maka meski jumlah yang tewas 39 orang, sepakbola dunia terguncang. Di belahan dunia lain, sejarah kelam tewasnya penonton sepakbola bahkan lebih banyak dari tragedi Heysel. Sebut saja di Rusia, Stadion Luzhnik (66 orang), stadion Orkaney di Afrika Selatan (42), stadion Stadion Furiani Prancis (18), Stadion Guatemala City (82).
Tragedi Kanjuruhan langsung direspon. Presiden Joko Widodo memerintahkan PSSI untuk menghentikan sementara Liga 1. Sebuah langkah yang tepat dari pemerintah agar peristiwa Stadion Kanjuruhan dapat diusut tuntas. Tentu saja evaluasi menyeluruh penting bagi pemerintah, khususnya PSSI terkait mengatasi problem penonton di tanah air. Terlalu cepat menvonis penonton barbar atau kepolisian yang bertindak salah dalam penanganan keamanan. Karena kedua belah pihak adalah sekelompok manusia yang di dalamnya terdapat ketidakpuasan dan pertahanan diri.
Tragedi Kanjuruhan Malang seperti sebuah titik balik sepakbola Indonesia. Di saat prestasi Timnas Indonesia asuhan Shin Tae Yong dan Bima Sakti yang mengukir berbagai prestasi, justru tragedi ini seolah kita harus memulai dari awal untuk membenahi sepakbola kita. Kali ini titik sasaran : penonton. Mereka yang awalnya berteriak mendukung timnya, kini terbujur kaku mengahadap Sang Pencipta. Ironis! Tapi itulah sepakbola kita.
Saya yakin bahwa para supporter sepakbola Indonesia juga penonton setia sejumlah liga ternama dunia, sebutlah Liga Spanyol, Primer League, dan Serie A Italia. Penonton kita juga menyaksikan bagaimana sikap dan prilaku penonton saat timnya mengalami kekalahan di kandang sendiri. Mereka hanya bersorak mengejek ataupun pelan tapi pasti meninggalkan stadion saat waktu sudah mendekati injuri time, namun lapangan tetap dalam situasi yang kondusif. Saat Manchester City kampiun Liga Ingris musim lalu, ratusan ribu penonton berhamburan masuk ke lapangan, hal itu sudah dianggap pelanggaran serius karena ada yang merusak tiang gawang.
Oleh karenanya, olahraga yang paling banyak peminat ini selalu mendatangkan berbagai peristiwa dan menggelinding seperti bola salju. Pasang surut prestasi Indonesia juga berimplikasi terhadap jumlah penonton. Di saat kita terseok-seok dalam kancah internasional jumlah penonton yang menyaksikan pertandingan sepakbola juga menurun, tidak terkecuali Liga 1. Namun di saat Timnas Indonesia bangkit, jangankan Liga 1, bahkan Liga 3 pun ramai ditonton masyarakat. Sepakbola tarkam (antar kampung) pun penontonnya bisa membludak. Euforia sepakbola sedang melanda Indonesia.
Sepakbola Indonesia memang selalu dikenal dengan istilah musuh bebuyutan atau seperti mengikuti trend luar negeri : derby panas. Barcelona vs Real Madrid selalu mendatangkan emosi meledak-ledak. Liverpool vs Manchester United senantiasa menaikkan adrenalin. Di tanah air, Persib vs Persija selalu dinantikan. Di era keemasan PSMS Medan, musuh utama adalah Persib Bandung. Dan tentu saja, rivalitas Arema vs Persebaya Surabaya sudah berlangsung 28 tahun sejak 1992.
Bagi penonton setia, kekalahan sebagai tuan adalah aib, apalagi dari musuh bebuyutan. Penonton meluapkan emosi dengan memasuki lapangan dan merusak fasilitas stadion. Langkah pengamanan tentu wajib dilakukan. Tinggal bentuk pengamanan seperti apa yang standar FIFA, penting untuk ditelusuri PSSI, termasuk tragedi Kanjuruhan.
Peristiwa sudah terjadi. Ratusan penonton yang mayoritas remaja sudah meregang nyawa. Dia pamit ke ibunda untuk sepakbola meski kabar yang didengar kemudian ananda pergi selamanya. Saya kuatir, peristiwa ini menjadi titik awal para ‘emak-emak’ melarang anaknya menonton sepakbola di kemudian hari. Bahkan bisa jadi akan membenci sepakbola selamanya. Anda bisa bayangkan jika sudah emak-emak yang bergerak, bisa jadi stadion akan sepi penonton. Sepakbola Indonesia kembali ke titik nadir.
130 nyawa bahkan lebih, adalah duka sepakbola. Dunia jelas akan bersuara. Jika mereka berempati ke Indonesia, mungkin di pentas liga sebelum pertandingan dimulai, para pemain dan penonton akan doa bersama. Mungkin juga ada terselip pita duka di lengannya. Tapi hanya sebatas itu, setelahnya kelayakan Indonesia sebagai tuan rumah sepakbola mancanegara akan dievaluasi. Ajang kualifikasi Piala Asia U-17 2023 yang sudah di depan mata bisa sirna.
Tragedi Kanjuruhan bukan hanya duka bagi Arema Mania. Ini adalah duka bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya pencinta sepakbola. Pasti, bagi pendukungnya, Arema FC lebih dari sebuah klub, seperti slogan Barcelona : ‘’mes que un club’’ (Lebih dari Sebuah Klub). Pray for Malang. Pray for Sepakbola Indonesia.***
Penulis merupakan pecinta sepak bola yang kini menjabat Anggota KPU Sumatera Utara
© Copyright 2024, All Rights Reserved