Sejauh pencarian lewat Google, dalam tiga tahun terakhir, ada 3 rektor universitas negeri yang dipecat oleh menteri. Pertama, Deddy Ismatullah, Rektor UIN Bandung yang dipecat pada tahun 2015 karena melanggar disiplin kepegawaian. Kedua, Philoteus Tuerah, Rektor Universitas Negeri Manado yang dipecat pada tahun 2016 karena membuka program studi bodong. Ketiga, Djaali, Rektor Universitas Negeri Jakarta yang dipecat beberapa di tahun 2017 ini karena menyelenggarakan program doktor abal-abal yang terindikasi sarat plagiat, antara banyak kesalahan lainnya. Pemecatan yang terakhir ini paling menghebohkan.
Dalam keterangannya kepada media, Menristekdikti saat ini, Mohamad Nasir, mengatakan bahwa undang-undang telah melarang rektor melakukan atau mengizinkan kegiatan yang berakibat plagiat. Dalam kasus UNJ, plagiat yang dilakukan sangat terang-terangan, karena karya-karya ilmiah yang diluluskan lebih seperempat bahkan hampir separuh merupakan salinan dari karya-karya ilmiah orang lain. Sebagaimana diungkapkan Supriadi Rustad, anggota tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA), dalam blog pribadinya, ribuan paragraf dari sejumlah disertasi di UNJ bulat-bulat disalin dari Internet.
“Sungguh mengerikan.” Begitulah komentar para pembaca blog Rustad. Kalau standar plagiat seperti yang ditegakkan tim EKA diberlakukan di universitas-universitas negeri di Medan, berapa banyak ijazah dari S1 hingga S3 yang bisa dibatalkan? Sudah bukan rahasia umum bahwa banyak pejabat di Sumatera Utara, dari gubernur hingga kepala dinas, yang menyelesaikan S3 ketika mereka sedang menjabat. Begitu juga dengan beberapa pimpinan kampus itu sendiri. Mereka bahkan menyelesaikan S3 lebih cepat daripada yang belajar penuh waktu, persis seperti fenomena di UNJ. Sudahkah ada yang memeriksa disertasi mereka sebagaimana yang dilakukan tim EKA?
Mungkin banyak pejabat ini yang belum tahu bahwa plagiat dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Oleh itu, mereka dapat dihukum sehingga menggugurkan hak mereka sebagai pejabat. Selain itu, bayangkanlah betapa rusaknya Sumatera Utara akibat dari korupsi pada tingkat paling dasar ini, yaitu korupsi ilmu atau korupsi akademik. Tidak heranlah al-Attas jika al-Attas mendiagnosis bahwa masalah utama pada zaman modern ini adalah terhasilnya para pemimpin-pemimpin palsu akibat maraknya korupsi ilmu. Sumatera Utara dan Medanlah buktinya. Sudah berapa pemimpin yang harus ‘disekolahkan’ atau di ’laundry’ dalam satu dekade ini?
Selain daripada tindakan plagiat yang cukup sederhana di atas, masih banyak lagi sebenarnya ragam macam plagiat. Salah satu yang sulit terdeteksi, tapi paling banyak dilakukan para ‘orang sibuk’ yang ngotot menempuh jenjang pascasarjana adalah ‘membeli karya ilmiah’. Artinya, mereka membayar orang lain untuk menulis karya mereka. Ketika karya diserahkan kemudian sebagai kelayakan kelulusan, hanya nama mereka saja yang tercantum. Praktek ini jelas melanggar kode etik akademik di tingkat internasional. Entahlah kalau di tingkat lokal maupun nasional.
Saking seriusnya praktek ‘penulis bayaran’ ini mewabah di seluruh dunia, International Journal for Educational Integrity sampai menjadikan praktek ini sebagai tema utama makalah-makalah undangannya. Banyak aspek yang menjadi bagian dari aspek ini, sehingga kalau tidak hati-hati betul, hampir semua ‘orang berduit’ dan ‘orang berilmu’ yang berkecimpung di dunia akademis bisa jadi terlibat di dalamnya. Bahkan menteri Mohamad Nasir pun tidak bisa lepas dari dugaan ini. Kalau melihat karya-karyanya di halaman pertama situs Google Scholar pribadinya, banyak karya di mana beliau hanya bertindak sebagai penulis kedua. Apakah beliau telah benar-benar berkontribusi sebagaimana yang disyaratkan standar akademis untuk layak menjadi penulis kedua?
Oleh itu, bernas saran dari juru bicara alumni UNJ, Ide Bagus Arief Setiawan, yang menyatakan bahwa “…kasus UNJ merupakan momentum bagi Kemenristekdikti menggali akar masalah di lingkungan perguruan tinggi.”
Dari segi makro, beliau mendesak agar kementerian terkait mengevaluasi sistem dan perundangan pendidikan tinggi. Dari segi mikro, pemerintah perlu mengevaluasi semua jajaran pimpinan di UNJ, dari rektorat hingga fakultas dan program pendidikan. Agar tidak jatuh ke dalam lubang yang sama, ada baiknya universitas-universitas di Sumatera Utara, terutama yang negeri melakukan hal yang sama. Periksa karya-karya ilmiah yang diluluskan, dan berikan sanksi yang memadai untuk setiap pelanggaran. Kalau tidak, pihak universitas terutama rektornya dapat dianggap ‘melakukan permufakatan jahat’ yang mengakibatkan pemecatan seperti ketiga rektor di atas.
Kemampuan menulis juga perlu ditekankan sejak jenjang pendidikan menengah. Agaknya, kebijakan negara-negara tetangga perlu dipertimbangkan, di mana ujian tidak semata-mata bercorak pilihan ganda. Kemampuan berpikir kritis juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan menengah dan tinggi. Ujian dari kemampuan ini adalah karya ilmiah yang wajib menjadi syarat kelulusan sebelum melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Memang perlu perombakan besar-besaran terhadap kurikulum Indonesia agar lebih menekankan kepada kemampuan menulis di jalur pendidikan akademis jika tidak ingin lagi terulang, seperti sekarang, Darurat Plagiat!
Penulis adalah penggagas ‘Intelektual Independen Indonesia’ dan anggota sivitas akademika UINSU
© Copyright 2024, All Rights Reserved