Assalamualaikum.
Halo gaes, kangen rasanya ketemu lagi di kolom sastra ini. Kali ini Bunda tampilkan cerpen tulisan temanmu Asrie. Yang mau kenalan sama Asrie biodatanya di lampiran bawah. Semoga perjumpaan ini berlanjut yaaa.
Salam literasi
Bukan Sekadar Angan
TERDENGAR langkah kakinya menapaki jalanan gersang yang biasa ia lalui saat pergi dan pulang sekolah. Dirga, -begitu orang memanggilnya. Ia adalah salah satu siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri di sebuah desa yang bisa dibilang mulai memasuki dunia kemodernan. Desa yang ia tinggali baru saja diperkenalkan oleh sebuah hal yang dinamakan listrik. Iya, listrik. Di saat rakyat Indonesia yang lain sudah mengeksploitasinya, beda halnya dengan mereka yang baru saja merasakan kenikmatannya.
Bukan hanya itu saja, sekolah tempat ia menuntut ilmu sekarang ini adalah sekolah yang belum lama dibangun di desanya. Untuk mencapainya pun harus menempuh jalanan yang bisa dibilang cukup jauh. Ladang penuh ilalang, berdebu, serta pepohonan yang hanya menyisakan akar di sepanjang tepian ladang pun mau tak mau harus ia lewati setiap hari, selama hampir dua setengah tahun belakangan ini. Ya, mau bagaimana lagi? Inilah satu-satunya jalan yang harus ia tempuh untuk sampai ke sekolah. Tak ada jalan lain lagi, -kecuali jika ia dengan sudinya melewati arus sungai yang deras di kampung sebelah, tanpa jembatan, hanya saja sedikit lebih dekat dari jalan yang biasa ia lalui. Tapi ia tak pernah senekat itu. Ia tak bisa berenang, bahkan dengan ombak sungai saja ia takut.
Sreeek.. sreeek..†Terdengar suara langkah kaki penuh lelah ikut menyumbangkan keributannya, bersamaan dengan nyaringnya suara jangkrik yang meramaikan jalanan di tengah ladang sepi. Siang itu, Dirga baru saja menyelesaikan rutinitasnya. Bersekolah. Lebih tepatnya bergulat dengan tugas-tugas yang entah kenapa selalu saja menghantui kehidupannya. Ditambah lagi tekanan-tekanan yang diberikan oleh guru kepadanya. Karena sebagai siswa yang tergolong pintar, ia seolah selalu saja mendapat beban moril dari para guru agar mampu mengerjakan soal-soal yang tidak bisa dikerjakan oleh siswa yang lainnya. Tetapi hal itu ia lakukan tanpa keterpaksaan. Ia melakukannya dengan ikhlas. Hitung-hitung mengasah kemampuan,â€selalu begitu pikirnya ketika diperintahkan oleh guru untuk mengerjakan soal latihan.
Terik sekali cuaca siang ini,†keluhnya entah kepada siapa. Karena memang saat itu tak seperti biasanya, ia pulang seorang diri. Berhubung teman yang biasa pulang dengannya sedang sakit. Dan sekarang ia pun berencana untuk menjenguknya. Sambil menarik kerah baju seragam yang ia kenakan untuk menyapu tetesan keringat yang mengalir dilehernya, tiba-tiba ia teringat akan satu hal.
Oh iya, ibu kan menyuruhku untuk tidak pulang terlalu lama hari ini. Lantas mengapa aku berjalan santai begini? Ahh.. betapa bodohnya dirikuâ€, ucapnya sambil menyadari bahwa kini penyakit lupanya sudah semakin menjadi.
Semoga saja ibu tak terlalu lama menungguku†tambahnya dalam hati.
Dua telapak kaki beralaskan sepatu buluk hampir tak layak pakai bergantian bergesekan cepat dengan tanah di ladang tak berpenghuni itu. Dirga memutuskan untuk berlari sprint saat ia ingat ibunya sedang menunggunya di rumah. Akibat ulahnya itu, debu-debu berhamburan di udara mempersempit jarak pandang mata. Tetapi tak sedikitpun ia berniat untuk mengurangi kecepatan larinya, hingga ia pun tiba di rumah.
Bu.. Ibu dimana?â€, jeritnya dengan nafas tersengal. Ia segera berlari ke arah dapur mencari keberadaan ibunya.
Ya ampun kamu ini! Ucapin salam dulu kalau mau masuk ke rumahâ€, tegur ibunya.
Hehe.. maaf bu. Assalamualaikum ibuku tersayangâ€, cengirnya sambil menggapai lengan ibu lalu menyalaminya.
Waalaikumsalam, kenapa kamu ngos-ngosan seperti habis dikejar hantu begitu?â€, tanya ibunya.
Tadinya setelah pulang sekolah Dirga ingin singgah ke rumahnya Arta bu, tapi sewaktu sampai di pertengahan jalan, tiba-tiba Dirga teringat pesan ibu agar tidak pulang terlalu lama, jadi Dirga lari kencang deh biar cepat sampai rumah,†jawabnya.
Ada-ada saja kamu ini, memangnya nak Arta sakit apa?†tanya ibunya.
Kata ayahnya tadi pagi sih, dia demam, Bu,â€jelasnya.
Kalau begitu nanti sore saja kamu menjenguknya, karena saat ini kamu harus menemani ibu ke kota,â€kata ibunya sambil tersenyum.
Ke kota, Bu? Ada keperluan apa ibu ke sana?†Dirga bingung. Karena tak biasanya ibunya mengajaknya pergi ke kota. Pastilah ada hal penting yang ingin dilakukan ibunya.
Tak ada keperluan apa-apa. Ibu hanya ingin mendatangi rumah pamanmu, sudah lama kita tak berkunjung ke sana,â€ibunya beralasan. Rumah Paman Dirga memang dekat dengan pasar, dan pamannya itu juga punya usaha sayuran lumayan besar di sana. Sebenarnya tak hanya itu yang ingin ibunya lakukan di kota. Melainkan ada hal lain, tetapi Dirga tak boleh mengetahuinya.
Ngomong-ngomong, anak ibu ini pasti belum sholat kan? Adzan zuhur sudah berkumandang dari tadi, lekaslah mandi dan pergi ke surau. Ibu akan sholat juga.â€, lanjut ibunya.
Baik, Bu, tunggu Dirga, yaâ€, jawabnya lalu berlari ke arah kamar mandi.
Sepulangnya dari surau, ia segera kembali ke rumah. Di rumah, ibunya telah bersiap-siap.
Ayo langsung saja kita berangkat, hari sudah terlalu siang,â€tutur Ibunya.
Ayo, deh, Bu,†sahut Dirga.
Berhubung moda transportasi yang tersedia di desa mereka hanya ada dua pilihan, -gerobak pengangkut sayur-sayuran dari ladang menuju pasar dan satu lagi becak motor, merekapun memutuskan untuk menumpang gerobak pengangkut sayur saja untuk menghemat ongkos. Tak butuh waktu lama untuk menunggu gerobak sayur itu lewat, karena memang biasanya pada tengah hari begini para pedagang di pasar sudah selesai berjualan sehingga para supir yang sebelumnya beristirahat di rumah bergerak menuju kota untuk menjemput para pedagang di pasar.
Melihat gerobak sayur melaju dari kejauhan, Dirga langsung saja melambaikan tangannya ke arah gerobak tersebut, memberi isyarat kepada supir agar berhenti dan memberikan mereka tumpangan. Para supir di sini memang sudah terbiasa dengan warga yang ingin menumpang ke kota, jadi pantas saja kini supir yang diberhentikan oleh Dirga itu langsung berhenti dan mempersilahkan Dirga beserta ibunya untuk naik ke gerobak belakang, yang biasa digunakan untuk tempat mengangkut sayur-sayuran.
Terima kasih, ya, Pak, sudah memberikan kami tumpangan,†kata ibu Dirga kepada supir itu.
Iya, Mbak sama-sama, kan memang biasanya juga seperti iniâ€, jawab supir dengan nada santai.
Jangan bosan-bosan ngasih kami tumpangan, ya, Pak,â€lanjut Ibu Dirga yang kemudian langsung dijawab dengan senyuman oleh supir itu. Sebenarnya Ibu Dirga sedikit segan, nyatanya memang benar yang dikatakan oleh supir itu. Ia telah lebih dari satu kali menumpang gerobak sayur seperti itu ketika ingin pergi ke kota. Karena lagi-lagi, menghemat ongkos adalah alasan utamanya.
Pasar yang mereka tuju itu letaknya di sudut kota, agak sedikit bersembunyi dari hiruk- pikuk kota kecil ini. Ketika mereka melewatinya, tak henti-henti Dirga memandang ruko-ruko yang berjajar di pinggir jalan yang dipenuhi dengan berbagai macam barang dagangan. Ada satu ruko yang tak pernah lepas mencuri perhatiannya setiap kali ia pergi ke kota. Ruko itu bercat dinding merah dengan motif garis-garis vertikal pada pintunya. Di terasnya, berjajar rapi sepeda-sepeda milik para orang yang ada di dalam ruko tersebut. Pandangan sedih bercampur rasa putus asa membuat mata Dirga berkabut.
Tiga Bulan Sebelumnya..
Di siang yang mendung itu, Dirga dan Arta baru saja pulang dari sekolah. Tampak di genggaman mereka sebuah kertas brosur yang dipegang erat-erat. Wajah mereka terukir senyum sumringah. Entah apa yang menjadi sebab senyum di kedua anak manusia ini.
Jadi begini adik-adik, kalau kalian ikut bimbingan belajar di Future STAN, maka kalian akan kami berikan arahan penuh, materi-materi yang akan disampaikan langsung oleh tentor-tentor berpengalaman dibidangnya, serta trik jitu untuk bekal kalian mengikuti Ujian Seleksi Masuk ke kampus STAN, kampus impian kita semua. Biaya kuliah gratis, dengan jaminan 99% setelah tamat kuliah nanti kalian akan langsung dipekerjakan serta digaji oleh negaraâ€, Dirga coba mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh kakak tentor Future STAN yang tadi melakukan promosi ke sekolah mereka.
Ia sangat tergiur untuk mengikuti bimbel itu. Bagaimana tidak, sedari dulu, ia memang mengidamkan untuk berkuliah di kampus bergengsi itu yang konon katanya, untuk masuknya saja harus bersaing dengan lebih dari 100 ribuan orang tamatan SMA/sederajat. Persaingannya sangat ketat, dan bahkan hanya sekitar 6% saja orang-orang beruntung yang berhasil mengamankan kursi mereka di kampus tersebut.
Kak, saya mau nanya, nih. Kira-kira berapa ya biaya untuk bisa bimbel di Future STAN?â€Dirga mencoba mengingat percakapan mereka tadi.
Untuk masalah biaya, adik bisa lihat sendiri rinciannya di brosur ini†sahut kakak tentor sambil memberikan selembar brosur kepada Dirga dan juga kepada siswa yang lainnya.
Dirga menerima brosur itu sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Karena pikirannya dipenuhi rasa penasaran yang tinggi, ia pun langsung saja melihat rincian biaya yang tertera di brosur tersebut.
Rp. 10.000.000 untuk kelas executive, dengan 145 kali pertemuanâ€, baca Dirga dalam hati. Wah, mahal sekali. Jika aku meminta Ibu untuk membayarnya aku tak yakin ia memiliki uang sebanyak iniâ€, sambungnya masih dalam hati.
Jika adik ingin mendaftar hubungi saja ke nomor yang telah dicantumkan di brosur itu, atau adik bisa datang langsung ke ruko kami di kotaâ€, lanjutnya masih memikirkan percakapan mereka di sekolah tadi. Saat masih memikirkan hal itu, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya. Orang itu adalah Arta. Dan dia baru sadar jika saat ini mereka sedang jalan bersama.
Hei Dir, kenapa kamu melamun?â€kejut Arta setelah tadi berhasil mengagetkan Dirga.
Tak apa, Ta. Aku hanya memikirkan tentang bimbel tadi,â€sahut Dirga.
Tenanglah, sepulang sekolah nanti katakan saja kepada ibumu bahwa kau ingin bimbel di sana. Kuyakin ibumu pasti mengizinkannya,â€saran Arta enteng.
Aku juga akan membicarakan hal ini kepada ayahku, pasti dia akan menyetujui keinginankuâ€, lanjutnya lagi.
Dirga hanya tersenyum saja menanggapinya. Ia tahu benar, Arta adalah anak seorang pemilik ladang terluas di kampung mereka. Dan dari dulu hingga sekarang, Bapak Dirga telah bekerja sebagai seorang penggarap di ladang kepunyaan orangtua Arta. Tak mengherankan jika hampir seluruh keinginan Arta akan dituruti oleh orangtuanya.
Ketika ia tiba di rumah, ia menjumpai ibunya sedang tertidur pulas di atas dipan kayu depan rumah mereka. Sebenarnya ia tak tega untuk membangunkan ibunya, tetapi perasaan dalam dirinya mendorong agar ia segera memberi tahu kabar bahagia ini untuk ibunya. Ia tak tahu, kabar yang bahagia menurutnya ini adalah kabar tak menyenangkan bagi Ibunya, terkhusus bagi keuangan keluarganya.
Assalammualaikum, Bu, Dirga sudah pulang,†panggil Dirga sambil mencoba menggoyangkan lengan Ibunya agar terbangun.
Eh, Waalaikumsalam, Nak,†kontan saja Ibunya terbangun ketika lengannya digoyangkan oleh seseorang seperti itu.
Ada apa? Tak biasanya kamu membangunkan Ibu ketika tidurâ€, sambung Ibunya lagi dengan tatap mata masih dipenuhi rasa kantuk.
Tadi di sekolah Dirga ada promosi bimbel bu, bimbingan belajar untuk masuk STANâ€, jelas Dirga menggebu-gebu.
STAN?â€, tanya ibunya tak mengerti.
Iya bu STAN, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Kan dari dulu Dirga sudah memimpikan kuliah disana bu, tapi kalau belajar sendiri saja pasti tidak menjamin buâ€, jelas Dirga lebih detail lagi.
Coba deh ibu baca iniâ€, ujarnya sambil memberikan brosur yang tadi ia peroleh di sekolah kepada Ibunya.
Ibunya langsung menerima brosur tersebut dan membacanya.
Dirga daftar, ya, Bu?â€pinta Dirga masih dengan nada menggebu serta penuh harap.
Ini mahal sekali, Nak, Bapak dan ibu tidak punya uang sebanyak ini. Lihatlah bapakmu, gajinya saja hanya cukup untuk makan kita sehari-hari dan juga uang jajan sekolah kamu,†papar ibunya dengan nada sendu.
Sebenarnya ibunya sudah mengantisipasi hal-hal seperti ini, Dirga yang telah memasuki semester akhir masa persekolahannya pastilah menginginkan hal yang juga diinginkan oleh anak-anak lain seusianya, -bimbingan belajar di luar sekolah. Tapi apa daya, perekonomian keluarga mereka tak pernah cukup untuk memenuhi memenuhi biaya bimbingan belajar di luar Dirga seperti ini.
Sekarang ini, lebih baik kamu belajar sendiri saja ya. Doakan saja Ibu ada rezeki biar kamu bisa bimbel disana†perintah Ibunya.
Hm..., baiklah, Bu. Dirga tak bisa memaksa. Semoga saja dalam waktu dekat Allah memberikan rezeki untuk keluarga kita,â€sahut Dirga. Suaranya seperti tercekat di leher.
Sementara itu, seminggu setelahnya Arta telah mendaftar bimbel di sana. Sehingga mereka terlihat sudah jarang pulang bersama karena Arta kini sangat sibuk dengan materi dan tugas-tugas yang diberikan oleh tentornya.
Di lain tempat, Dirga juga sedang sibuk dengan buku-buku berisi soal latihan disertai pembahasan yang telah dipinjamnya dari perpustakaan sekolah. Ia bertekad untuk belajar mandiri, berjaga-jaga jika memang orangtuanya tak mampu untuk mendaftarkannya di tempat bimbel itu. Hampir setiap hari ia belajar, dan menjadikannya sebagai rutinitasnya selama hampir tiga bulan. Sampai terkadang ia jenuh sendiri karena tak jua ada kabar jik orangtuanya sudah mendapatkan rezeki.
…
Mereka telah tiba di pasar, tetapi ibunya tak mengajaknya ke rumah paman Dirga melainkan ke sebuah tempat penggadaian.
Ibu mau apa mengajakku ke sini?†Dirga heran, karena sebelumnya ibunya berkata mereka akan pergi ke rumah paman bukannya ke tempat penggadaian.
Sudah, ikut saja, jangan banyak bertanya,â€perintah ibunya.
Ternyata Ibunya hendak menggadaikan sepetak tanah peninggalan nenek Dirga yang ada di kampung sebelah. Setelah transaksi penggadaian selesai, ibunya mengajak Dirga ke sebuah ruko yang selama ini hanya bisa diamati Dirga dari kejauhan.
Ibu akan penuhi janji ibu untuk mendaftarkan kamu bimbel di sini, tapi kamu harus janji sama ibu. Kamu harus belajar sungguh-sungguh biar bisa diterima kampus idamanmu itu, ‘pinta Ibunya.
Mata Dirga takjub. Kemudian basah.
Janji, Bu, akan Dirga buktikan sama Bapak dan Ibu kalau Dirga mampu. Dirga gak akan mengecewakan kalian. Terima kasih banyak, Buâ€, Dirga terharu tidak menyangka orangtuanya mau berjuang demi masa depan anaknya.
Hari-hari terus belalu, selama lima bulan lamanya Dirga disibukkan dengan tugasnya sebagai anak didik Future STAN. Tiada seharipun hari yang ia lewati tanpa latihan dan try out. Itu semua demi tekadnya lulus Ujian Seleksi Masuk STAN yang akan diadakan sebentar lagi. Hingga hari yang ia tunggu-tunggu pun tiba.
Bismillahâ€, ucap Dirga mengawali ujian itu.
Dengan bekal ilmu yang ia peroleh dari tempat bimbelnya, ia pun berhasil menyelesaikan soal-soal dengan penuh percaya diri. Walaupun ia tak yakin mampu mengalahkan pesaing-pesaing lain yang lebih berpotensi.
Seminggu kemudian, ada pengumuman tes yang telah ia lakukan diminggu sebelumnya. Dengan harap-harap cemas, Dirga menatap layar monitor di tempat bimbelnya yang menampilkan website kelulusan. Ia pun menemukan namanya berada diposisi kedua teratas, dengan perolehan skor tinggi yang bahkan tak diduga oleh Dirga sendiri. Ia tak menyangka pengorbanan kedua orangtuanya, perjuangan serta doa-doa yang selama ini ia panjatkan kepada Maha Pencipta telah dijabah. Tak putus-putus ia mengucap syukur. Ia pun memutuskan untuk segera pulang dan memberi tahu kabar baik ini kepada kedua orangtuanya.
Alhamdulillah, Nak, akhirnya kamu lolos tes. Tidak ada usaha yang sia-sia, Nak. Allah tak pernah menukar rezeki umatnya kepada umat yang lain. Bahkan dunia yang ibu kira sering tak adil kepada orang kecil seperti kita juga kini sepertinya ikut berbahagia dengan pencapaianmuâ€, ucap Ibu penuh haru.
Tiga Setengah Tahun Kemudian...
Dua bulan yang lalu Dirga telah menyelesaikan masa perkuliahannya di kampus STAN. Ia lulus sebagai wisudawan terbaik dengan predikat cum laude. Dan kini ia telah bekerja di Direktorat Jendral Pajak DKI Jakarta. Ia telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Kabar baiknya lagi adalah, Dirga telah menebus surat sepetak tanah yang dulu digadaikan oleh Ibunya untuk biaya bimbingan belajarnya di Future STAN. Tak hanya itu, kini ia juga telah mampu membangun rumah untuk kedua orangtuanya dan membiayai keduanya untuk berangkat ke tanah suci, menunaikan ibadah haji. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?†(Q.S Ar-Rahman: 13). [***]
Biodata Penulis:
Cerita pendek yang berjudul Bukan Sekedar Angan ini adalah hasil karya dari Asrie Arianty, siswi kelas 12 SMA Negeri 1 Kec. Selesai kelahiran 09 Agustus 2001. Karyanya yang lalu pernah mendapat peringkat ke 4 dalam Lomba cipta cerpen pada event Festival Literasi Bulan Bahasa 2018 antar SMA se-Sumatera Utara. Alamatnya di Lingkungan I Sei-Skala, Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat, tepatnya di belakang toko baju Murah Fashion. Kode pos 20762. Alamat email: [email protected]. Nomor Telepon aktif 0823-6953-5991.
© Copyright 2024, All Rights Reserved