Kebijakan untuk mengatasi masalah ketersediaan beras di Sumatera Utara dipastikan tidak akan beres karena akurasi data yang rendah.
Dengan begitu, berbagai persoalan akan ketersediaan beras akan terus berulang.
Demikian disampaikan pengamat ekonomi, Gunawan Benjamin dalam keterangannya, Senin (21/8/2023).
Pernyataan ini didasarkan pada rilis Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2022 dimana Sumut menghasilkan gabah kering giling (GKG) sebanyak 2,09 juta ton. Sementara untuk produksi berasnya adalah 1,2 juta ton. Atau ada rasio sekitar 57%, dari gabah kering giling menjadi beras. Masyarakat Sumut itu ada sekitar 15,3 juta jiwa di tahun 2022.
“Dan kalau mengacu kepada buku statistik ketahanan pangan, konsumsi masyarakat Sumut per kapita per tahun itu 100.25 kg di tahun 2021,” katanya.
Dengan data itu, maka konsumsi beras per tahun masyarakat Sumut itu sekitar 1,5 juta ton. Jadi berdasarkan hitungan saya itu Sumut mengalami defisit beras sekitar 262 ribu ton di tahun kemarin. Dan hasil dari observasi dilapangan, sejumlah pemilik kilang di sumut juga menyampaikan bahwa pasokan gabah sering didapatkan dari luar Sumut. Ada yang mendapatkan gabah dari pulau Jawa, Aceh hingga Sulawesi.
Dan pada prakteknya dilapangan, Bulog Sumut juga melakukan intervensi beras dengan banyak mengandalkan beras impor. Disisi lainnya, BPS pada tahun 2021 juga merilis bahwa Sumut mengalami defisit (selisih produksi dengan konsumsi) sebesar 14.89%. Dan perhitungan saya terkait dengan defisit beras itu bisa lebih buruk lagi.
Dari hasil observasi di lapangan, masih ada petani yang mengklaim bahwa rasio GKG ke Beras itu dibawah 50%, ada yang mengutarakan hanya sebesar 48%. Jadi kalau mengacu kepada data BPS dimana ada produksi gabah kering giling 2.09 juta ton, maka produksi berasnya bisa lebih rendah lagi. Artinya bukan tidak mungkin produksi beras bisa lebih rendah dari 1 juta ton.
Angka rasio 57% itu pada dasarnya angka yang paling bagus. Dimana usia padi yang dipanen sudah cukup matang, kadar airnya sangat rendah, dan mesin penggilingnya memiliki kualitas yang sangat baik.
“Itu adalah kondisi yang paling ideal yang kita harapkan di tahapan penggilingan. Namun kenyataan dilapangan bisa lebih buruk dari kondisi idealnya,” ujarnya.
Kondisi inilah menurut Gunawan yang berpotensi membuat perumusan kebijakan menjadi tidak tepat dalam mencari solusi pasokan beras. Masalah akan semakin bertambah karena banyak Negara penghasil beras di dunia yang sudah mengalami kenaikan harga beras, dan bahkan ada yang menutup kran ekspornya seperti India.
“Kalau perdebatan mengenai stok beras adalah dikarenakan perbedaan rasio konversi GKG ke beras, atau perbedaan asumsi konsumsi per kapita. Maka saran saya adalah kita pakai asumsi yang paling buruk, sehingga kita bisa meminimalisir ancaman kenaikan harga beras. Dan kalau ada klaim bahwa Sumut surplus beras, maka perlu dipertanyakan dan bisa diperdebatkan,” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved