Kekosongan tampuk pimpinan pemerintahan di Provinsi Aceh akan terjadi selama 2 tahun.
Hal ini karena akhir masa jabatan Nova Iriansyah akan berakhir Juli 2022, sedangkan Pilgub Aceh baru digelar 2024.
Wali Nanggroe, Paduka Yang Mulia Malik Mahmud Al Haytar, mengingatkan Pemerintah Pusat untuk menempatkan orang yang tepat sebagai penjabat Gubernur Aceh.
“Orangnya harus paham Aceh dan lebih simpatik kepada Aceh,” kata Malik Mahmud, dikutip Kantor Berita RMOLAceh, Selasa (1/2/2022).
Malik Mahmud menambahkan, hal ini akan menjadi salah satu poin pembicaraan yang akan dia sampaikan saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Dia hanya mengajukan dua kriteria itu untuk memimpin Aceh sebagai seorang penjabat gubernur.
Pada pemilu sebelumnya, sosok yang ditunjuk menjadi penjabat gubernur adalah Soedarmo, seorang pensiunan tentara. Namun di ujung masa tugasnya, Soedarmo dikritik oleh Gubernur Aceh saat itu, Zaini Abdullah, karena melepaskan hak Aceh menjadi pengusul Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe.
Saat itu, sebelum mengambil cuti kampanye Pilkada 2017, Abu Doto -sapaan Zaini Abdullah- dan timnya memperjuangkan status Aceh sebagai pengusul Kawasan Ekonomi Khusus Arun-Lhokseumawe.
Status sebagai pengusul ini akan menjadikan Aceh sebagai pemilik 50 persen lebih saham KEK Arun-Lhokseumawe. Skenario ini menjadi keuntungan besar bagi Aceh. Apalagi, aset yang berada di KEK itu bernilai puluhan miliar rupiah.
Dengan status sebagai pengusul, maka Aceh berhak bekerja sama dengan pihak-pihak yang dianggap potensial memberikan keuntungan selama KEK Arun-Lhokseumawe beroperasi.
Namun upaya ini ditelikung oleh Soedarmo. Padahal, secara aturan, Soedarmo tidak berhak mengambil keputusan strategis. Termasuk untuk memutuskan status kawasan sepenting KEK Arun-Lhoksumeawe.
Soedarmo malah menggandeng sejumlah Badan Usaha Milik Negara menjadi pengusung. Dari keputusan ini, Aceh mengalami kerugian besar dan hanya mengelola sekitar 10 persen saham KEK Arun-Lhokseumawe.
© Copyright 2024, All Rights Reserved