DEKLARASI pasangan capres dan cawapres Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar, membuat efek kejut politik yang luar biasa. Muhaimin Iskandar yang merupakan Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berbelok arah usai Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang digawangi Partai Gerindra dan PKB, dimasuki oleh Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). Apalagi, KKIR kemudian diubah namanya menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM) oleh Prabowo Subianto.
Muhaimin menurut saya kemudian merasa bahwa KKIR sudah bubar sehingga ia kemudian mencari sekutu baru demi menjamin dirinya maju sebagai cawapres.
Gegap gempita koalisi kemudian berlanjut dengan berangnya Partai Demokrat. Merasa dikhianati karena berharap Anies akan memilih Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres, Partai Demokrat ramai-ramai melakukan "serangan" pada Anies Baswedan. Mereka menurunkan gambar-gambar Anies yang selama ini bersanding dengan AHY. Sebuah momen epik yang saya lihat selama beberapa hari di media-media.
Usai itu, kisruh koalisi, kini "kapal" Anies-Muhaimin mulai berlayar. Koalisi Perubahan yang diisi oleh Partai NasDem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PKB, kini mulai menata arah. Saya melihat optimisme yang begitu besar atas pasangan Anies-Muhaimin memenangi Pilpres 2024.
Namun bagi saya, ada hal yang menarik terkait dukungan warga Nahdliyin. Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) tentu mempunyai peran besar dalam setiap perhelatan politik di Indonesia.
Potensi suara NU yang sangat besar ini tentu dimanfaatkan oleh partai politik untuk mendulang suara. Lihat saja pada Pilpres 2004, Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri menggandeng Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi sebagai cawapres. Kemudian ada juga KH Salahuddin Wahid yang menjadi cawapres pasangan Wiranto. Walau keduanya gagal, namun potensi NU tetap menjadi perhitungan. Lalu pada Pilpres 2019, Joko Widodo bersama KH Ma'ruf Amin yang merupakan petinggi PBNU sukses memenangkan pemilu.
Tak bisa dipungkiri, NU memiliki hubungan yang sangat panjang dengan politik dan pemilu sejalan perkembangan jaman. Keterlibatan warga NU secara politik menjadi tarik-menarik yang sangat kuat dalam berbagai perhelatan pemilu. Muhaimin Iskandar dan PKB yang merupakan "anak kandung" NU, kini sedang menjemput takdir di Pilpres 2024. Jutaan warga Nahdliyin tentu harus menentukan sikap sebagai wujud kedekatan sosiologis dan kultural NU. Muhaimin jelas punya kedua hal yang menjadi alasan kuat bagi warga Nahdliyin untuk memilihnya dalam Pilpres 2024.
Saya membaca sambutan Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudh dalam rapat pleno PBNU di Wonosobo 2013. Beliau menyampaikan pesan agar NU bergerak dalam tataran politik kebangsaan yang nantinya dapat menjaga persaudaraan NU. Jika NU terjebak dalam politik praktis, persaudaraan NU akan tercabik-cabik.
Pesan ini rasanya layak direnungkan oleh semua warga Nahdliyin. Tentunya, tugas berat itu berada di pundak Anies-Muhaimin untuk tetap menjaga NU. Sebagai warga Nahdliyin, saya meyakini kedewasaan berpolitik NU dan warganya menghadapi Pilpres 2024.
***
Penulis merupakan Kader Partai NasDem dan Wakil Ketua PCNU Medan
© Copyright 2024, All Rights Reserved