Belakangan ini muncul sebuah wacana ditengah-tengah publik kita tentang adanya keinginan untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui pemilihan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan kepala daerah ini tidak lagi melalui sarana pemilihan langsung oleh rakyat di kotak suara melalui pilkada sebagaimana selama ini dilaksanakan, melainkan dengan pemberian hak kepada anggota DPRD untuk menyeleksi dan memilih sendiri calon kepala daerah yang ada.
Detonator dari muncul dan berkembangnya wacana ini ditengah - tengah publik tidak dapat dipungkiri berakar dari pernyataan politikus partai Golkar Bambang Soesatyo seusai pertemuan dengan dengan Watimpres (Dewan pertimbangan Presiden) baru - baru ini. Bambang dalam kapasitasnya sebagai Ketua MPR - RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia) menyebutkan bahwa pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD menggambarkan proses demokratisasi. Hal inilah yang kemudian memantik perdebatan publik. Pro dan kontra terhadap wacana ini pun terus bergulir. Meskipun isu seperti ini bukan barang baru, tapi setidaknya, wacana seperti ini selalu memunculkan reaksi yang beragam dari masyarakat.
Berangkat dari wacana yang berkembang ini penulis memahami bahwa demokrasi sejatinya memberikan ruang kepada khalayak atau negara untuk dapat menjalankan berbagai indikatornya. Kebebasan untuk memilih dan dipilih adalah salah satu indikator demokrasi.
Tapi, tentu saja proses pemilihan yang diambil melalui mekanisasi pemilihan secara langsung maupun tidak langsung pasti terdapat plus dan minusnya. Hal ini merupakan konskwensi dari pilihan atau kesepakatan yang diambil.
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah melalui pilkada sudah berlangsung sejak bulan Juni tahun 2005 silam. Penyelenggaraan pilkada dilakukan mulai dari tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota. Tidak sedikit dana yang digelontorkan untuk mensukseskan pesta demokrasi ini.
Dibanyak tempat penyelenggaraan pilkada berjalan aman, terkendali dan demokratis.
Rakyat berbondong - bondong datang melihat kampanye untuk mendukung calon kepala daerah pilihannya. Berbondong - bondong pula datang ke TPS (Tempat pemungutan suara) untuk memberikan suara. Hiruk pikuk pergelaran pesta demokrasi begitu telihat.
Pun demikian kita tidak bisa pungkiri, bahwa berbagai noda hitam terkadang mewarnai proses demokrasi ini (baca pilkada). Politik uang, politik hitam, kampanye negatif, kerusuhan antar pendukung yang berujung pengerusakan fasilitas publik dan pribadi, bahkan nyawapun harus terkadang melayang. Belum lagi transaksionalisasi atau politik dagang sapi yang dilakukan partai - partai penyokong calon acapkali tersembul dari pra dan pasca pilkada.
Ditambah lagi berbicara tentang mahalnya biaya pencalonan dengan segala aktifitas yang menyangkut kontestasi yang konon menurut data menghabiskan minimal 25 sampai 30 milyar rupiah percalon. Latar belakang fenomena inilah yang kemudian menjadikan berbagai pihak merasa bahwa penyelenggaraan pilkada selama kurun waktu belakangan ini sangat tidak efisien dan kerap melahirkan korupsi politik.
Dapat dibayangkan misalnya jika seorang calon kepala daerah yang akan berkontestasi dalam pilkada menghabiskan minimal 25 sampai 30 milyar yang harus disediakannya, sementara jika sikepala daerah terpilih kelak akan menerima gaji atau tunjangan selama 5 (lima) tahun, yang bahkan menerima penghasilan jauh dibawah pengeluarannya. Lantas, dari manakah jalan mereka bisa mengembalikan dana tersebut?
Tentu jalan yang diambil adalah dengan melakukan korupsi. Pemotongan anggaran, mark up, jual beli jabatan, jual beli tanda tangan kepala daerah, dan kolusi sampai nepotisme. Semua itu dilakukan demi mengembalikan dana selama ini yang keluar, dan tentu saja untuk meraup keuntungan material dari posisi yang dimilikinya (kepala daerah).
Jadi sekelumit persoalan diatas sangat wajar apabila sebahagian publik menilai bahwa pilkada yang selama ini telah dijalani hanya melahirkan ketidak efisienan dan amat rawan korupsi.
Akan tetapi pemilihan kepala daerah melakui mekanisme yang dipilih oleh DPRD juga bukan tidak memiliki sejumlah masalah. Transaksionalisasi antar partai pendukung kepala daerah juga sangat berpotensi menelusup masuk. Belum lagi kepala daerah yang terpilih juga belum tentu memiliki kapasitas, kualitas dan lahir dari pilihan hati nurani rakyat.
Mungkin yang bisa didudukkan adalah orang - orang yang hanya punya kedekatan dengan petinggi partai politik. Keterpilihannya berdasarkan uang dan hubungan personal. Jika ini yang terjadi maka akan kembali tumbuh subur feodalisme dinegeri ini. Sesuatu yang terus kita coba untuk kikis selama ini tentunya.
Walaupun demikian ada sejumlah sisi positif dalam mekanisme ini. Setidaknya minimal proses pemiliham ini tidak mengeluarkan cost besar sebagaimana penyelenggaraan pilkada.
Lantas, jika kedua metode pemilihan kepala daerah ini menghasilkan sejumlah masalah, lalu mana yang harus kita pilih? Apakah kita tetap pertahankan pilkada yang sejauh ini telah kita laksanakan dengan berbagai persoalan, atau pemilihan kepala daerah yang dipilih melalui DPRD yang juga memiliki beberapa konskwensi buruknya.
Secara pribadi, sekali lagi secara pribadi, saya sebenarnya agak lebih memilih agar kita tetap konsisten menjalankan pilkada yang melibatkan rakyat seperti selama ini kita selenggarakan. Hal ini tentu penulis punya alasan tersendiri. Pertama, penulis menilai bahwa pilkada secara langsung ini adalah perwujudan dari terakomodasinya aspirasi demokrasi rakyat. Biar bagaimanapun rakyatlah yang memegang peranan dalam demokrasi. vox populi vox dei. Keterlibatan rakyat dalam demokrasi harus dapat dimanifestasikan melalui keikut sertaannya didalam pemilihan umum.
Kedua, rakyat dapat memilih calon pemimpin yang didambakannya. Dengan rakyat diberikan kebebasan dalam memilih calonnya maka ia akan merasa terlibat langsung dalam negara demokrasi. Partisipasinya dalam memberikan suara dikotak suara adalah bukti kongkret bahwa keikut sertaannya dalam proses pembangunan daerah telah ditandai dengan keikutsertaannya dalam mengikuti demokrasi prosedural, berupa pemilihan umum dibilik suara dengan memilih calon pemimpin yang didambakannya.
Akan halnya ditemukan sejumlah kelemahan dan ekses negatif dalam penyelenggaraan pilkada, disinilah yang perlu kita benahi dan antisipasi.
Salah satu kelemahan kita dalam penyelenggaraan pemilu selama ini adalah masalah politik keuangan. Kita belum punya niat yang benar - benar kuat untuk menyelenggarakan pemilu yang jujur dan bersih. Untuk menyelenggarakan pemilu yang jujur dan bersih memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit tentunya.
Akar problematika dari tumbuhnya korupsi didalam kepemimpinan kepala daerah terpilih selama ini di Indonesia dimulai dari mahal dan beratnya pengembalian dana kampanye yang sebelumnya digunakan.
Si kepala daerah harus memutar otak agar bagaimana uangnya dapat kembali. Maka jalur yang bisa dilakukannya adalah dengan melakukan berbagai praktek korupsi. Kalau hanya mengharap dari gaji atau tunjangan selama menjabat tentulah tak akan cukup. Belum lagi dia mesti harus balas budi kepada cukong - cukong yang selama ini mensuport dana untuk kampanyenya.
Bagi para cukong ini, tentu mereka punya motif kenapa mesti mendukung si calon kepala daerah. Sudah barang tentu jika si kepala daerah nanti duduk, si cukong akan mendapatkan sejumlah fasilitas, dukungan, proyek - proyek publik dan berbagai kemudahan untuk dirinya. Karena tidak ada makan siang yang gratis tentunya. Semua ada imbalannya.
Hemat penulis jika kita mampu benahi masalah political financing saat penyelenggaraan pilkada ini secara baik dan konskuen, maka kedepannya korupsi yang menjadi momok bagi kita selama ini akan perlahan menyusut. Pada gilirannya birokrasi kitapun bersih jauh dari unsur korupsi dan indeks demokrasi kita semakin membaik. Outputnya adalah masyarakat semakin sejahtera***
Penulis adalah Advokat dan Konsultan Hukum
© Copyright 2024, All Rights Reserved