Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar di benak kita, apa yang dimaksud Moeldoko dengan perang total tersbut? Dan apa strategi yang akan dijadikan senjata dalam menempuh perang total tersebut? Penulis sendiri sulit menerjemahkan maksud dari Jendral Purnawirawan Moeldoko itu, namun penulis ingin sedikit mengupas fenomena tentang perang dalam konteks negatif negatif yang terjadi di pesta demokrasi saat ini.
Dimulai dari perang opini yang terjadi secara sangat masif, mulai dari proses pencitraan kandidat hingga tumbuh suburnya hoaks yang cinderung menjatuhkan pamor salah satu kandidat terlebih kepada calon presiden dan wakil presiden. Seperti dilansir oleh Tempo.co pada tanggal 15 Januari 2019, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Rosarita Niken Widiastuti mengatakan jumlah aduan hoax di kementrian itu meningkat signifikan di tahun 2018. Niken menjelaskan pada tahun 2018 Kominfo menerima 14.427 aduan terkait hoaks dan terverifikasi 1.645 diantaranya terbukti hoaks, hal ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya menerima 7.430 aduan dan hanya 386 yang terverifikasi adalah hoaks.
Tidak tanggung-tanggung, berita hoaks ini juga sudah menyeret beberapa orang kedalam jeruji besi. Mulai dari kasus hoaks adanya 7 kontainer yang berisi surat suara yang sudah tercoblos, kasus penyebar hoaks ijazah palsu presiden Joko Widodo, hingga yang paling banyak menjadi perbincangan yakni kasus hoaks penganiyaan Ratna Sarumpaet yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Beberapa kasus hoaks yang dikonsumsi publik ini sempat menjadi kegaduhan khususnya di sosial media masyarakat Indonesia.
Pada persoalan perang selanjutnya, penulis ingin membahas yang terjadi di provinsi Sumatera Utara yang agaknya cukup menjadi polemik besar menjelang pemilihan umum tahun ini. Iyalah tudingan yang dilontarkan ketua partai Gerindra Sumatera Utara yang menyebut polisi di Medan ancam kepling untuk dukung pasangan Jokowi-Ma’ruf. Gus Irawan yang juga Ketua Badan Pemenangan (BPD) Prabowo-Sandi di Sumatera Utara, menyampaikan kepling di Kota Medan ada yang di intervensi dan diancam aparat kepolisian , hal ini diungkapkan Gus Irawan saat memberikan sambutan di acara deklarasi Caleg PBB Sumut mendukung pasangan Prabowo-Sandi.
Penulis menilai pernyataan mantan pimpinan Bank Sumut itu harus diferivikasi kebenarannya, hal ini tidak lain hanya menginginkan agar masyarakat khususnya pendukung Prabowo-Sandi tidak menaruh curiga berlebih kepada instansi kepolisian yang dengan jelas harus bersikap netral. Polisi sebagai aparatur Negara bukan hanya secara kelembagaan yang bersifat netral, seorang prajurit kepolisian sekalipun tidak diberikan hak suara dalam pemilihan umum untuk memastikan bahwa lembaga abdi Negara itu bersifat netral dan hanya berpihak dalam rangka menjaga keamanan Negara. Kalau benar ada polisi yang berpihak, Kapolri tentu harus memberikan sanksi yang sangat tegas. Untuk itu pernyataan Gus Irawan itu harus segera dibuktikan benar salahnya, sehingga tidak timbul perspektif yang tidak baik oleh masyarakat.
Diakhir penulis ingin menyampaikan bahwa benar sejatinya perang total terjadi menjelang pesta demokrasi, namun hal itu dinilai dari sisi yang positif. Ialah perang gagasan dan pembenahan figur yang menjadi calon kandidat sehingga mendapat simpati dan dipilih oleh masyarakat. Bukan perang dalam konteks negatif yang hanya akan menambah benih-benih permusuhan di tubuh masyarkat Indonesia.***
Penulis saat ini menjabat Ketua Umum Badko HMI Sumut
" itemprop="description"/>
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar di benak kita, apa yang dimaksud Moeldoko dengan perang total tersbut? Dan apa strategi yang akan dijadikan senjata dalam menempuh perang total tersebut? Penulis sendiri sulit menerjemahkan maksud dari Jendral Purnawirawan Moeldoko itu, namun penulis ingin sedikit mengupas fenomena tentang perang dalam konteks negatif negatif yang terjadi di pesta demokrasi saat ini.
Dimulai dari perang opini yang terjadi secara sangat masif, mulai dari proses pencitraan kandidat hingga tumbuh suburnya hoaks yang cinderung menjatuhkan pamor salah satu kandidat terlebih kepada calon presiden dan wakil presiden. Seperti dilansir oleh Tempo.co pada tanggal 15 Januari 2019, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Rosarita Niken Widiastuti mengatakan jumlah aduan hoax di kementrian itu meningkat signifikan di tahun 2018. Niken menjelaskan pada tahun 2018 Kominfo menerima 14.427 aduan terkait hoaks dan terverifikasi 1.645 diantaranya terbukti hoaks, hal ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya menerima 7.430 aduan dan hanya 386 yang terverifikasi adalah hoaks.
Tidak tanggung-tanggung, berita hoaks ini juga sudah menyeret beberapa orang kedalam jeruji besi. Mulai dari kasus hoaks adanya 7 kontainer yang berisi surat suara yang sudah tercoblos, kasus penyebar hoaks ijazah palsu presiden Joko Widodo, hingga yang paling banyak menjadi perbincangan yakni kasus hoaks penganiyaan Ratna Sarumpaet yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Beberapa kasus hoaks yang dikonsumsi publik ini sempat menjadi kegaduhan khususnya di sosial media masyarakat Indonesia.
Pada persoalan perang selanjutnya, penulis ingin membahas yang terjadi di provinsi Sumatera Utara yang agaknya cukup menjadi polemik besar menjelang pemilihan umum tahun ini. Iyalah tudingan yang dilontarkan ketua partai Gerindra Sumatera Utara yang menyebut polisi di Medan ancam kepling untuk dukung pasangan Jokowi-Ma’ruf. Gus Irawan yang juga Ketua Badan Pemenangan (BPD) Prabowo-Sandi di Sumatera Utara, menyampaikan kepling di Kota Medan ada yang di intervensi dan diancam aparat kepolisian , hal ini diungkapkan Gus Irawan saat memberikan sambutan di acara deklarasi Caleg PBB Sumut mendukung pasangan Prabowo-Sandi.
Penulis menilai pernyataan mantan pimpinan Bank Sumut itu harus diferivikasi kebenarannya, hal ini tidak lain hanya menginginkan agar masyarakat khususnya pendukung Prabowo-Sandi tidak menaruh curiga berlebih kepada instansi kepolisian yang dengan jelas harus bersikap netral. Polisi sebagai aparatur Negara bukan hanya secara kelembagaan yang bersifat netral, seorang prajurit kepolisian sekalipun tidak diberikan hak suara dalam pemilihan umum untuk memastikan bahwa lembaga abdi Negara itu bersifat netral dan hanya berpihak dalam rangka menjaga keamanan Negara. Kalau benar ada polisi yang berpihak, Kapolri tentu harus memberikan sanksi yang sangat tegas. Untuk itu pernyataan Gus Irawan itu harus segera dibuktikan benar salahnya, sehingga tidak timbul perspektif yang tidak baik oleh masyarakat.
Diakhir penulis ingin menyampaikan bahwa benar sejatinya perang total terjadi menjelang pesta demokrasi, namun hal itu dinilai dari sisi yang positif. Ialah perang gagasan dan pembenahan figur yang menjadi calon kandidat sehingga mendapat simpati dan dipilih oleh masyarakat. Bukan perang dalam konteks negatif yang hanya akan menambah benih-benih permusuhan di tubuh masyarkat Indonesia.***
Penulis saat ini menjabat Ketua Umum Badko HMI Sumut
"/>
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar di benak kita, apa yang dimaksud Moeldoko dengan perang total tersbut? Dan apa strategi yang akan dijadikan senjata dalam menempuh perang total tersebut? Penulis sendiri sulit menerjemahkan maksud dari Jendral Purnawirawan Moeldoko itu, namun penulis ingin sedikit mengupas fenomena tentang perang dalam konteks negatif negatif yang terjadi di pesta demokrasi saat ini.
Dimulai dari perang opini yang terjadi secara sangat masif, mulai dari proses pencitraan kandidat hingga tumbuh suburnya hoaks yang cinderung menjatuhkan pamor salah satu kandidat terlebih kepada calon presiden dan wakil presiden. Seperti dilansir oleh Tempo.co pada tanggal 15 Januari 2019, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Rosarita Niken Widiastuti mengatakan jumlah aduan hoax di kementrian itu meningkat signifikan di tahun 2018. Niken menjelaskan pada tahun 2018 Kominfo menerima 14.427 aduan terkait hoaks dan terverifikasi 1.645 diantaranya terbukti hoaks, hal ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya menerima 7.430 aduan dan hanya 386 yang terverifikasi adalah hoaks.
Tidak tanggung-tanggung, berita hoaks ini juga sudah menyeret beberapa orang kedalam jeruji besi. Mulai dari kasus hoaks adanya 7 kontainer yang berisi surat suara yang sudah tercoblos, kasus penyebar hoaks ijazah palsu presiden Joko Widodo, hingga yang paling banyak menjadi perbincangan yakni kasus hoaks penganiyaan Ratna Sarumpaet yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Beberapa kasus hoaks yang dikonsumsi publik ini sempat menjadi kegaduhan khususnya di sosial media masyarakat Indonesia.
Pada persoalan perang selanjutnya, penulis ingin membahas yang terjadi di provinsi Sumatera Utara yang agaknya cukup menjadi polemik besar menjelang pemilihan umum tahun ini. Iyalah tudingan yang dilontarkan ketua partai Gerindra Sumatera Utara yang menyebut polisi di Medan ancam kepling untuk dukung pasangan Jokowi-Ma’ruf. Gus Irawan yang juga Ketua Badan Pemenangan (BPD) Prabowo-Sandi di Sumatera Utara, menyampaikan kepling di Kota Medan ada yang di intervensi dan diancam aparat kepolisian , hal ini diungkapkan Gus Irawan saat memberikan sambutan di acara deklarasi Caleg PBB Sumut mendukung pasangan Prabowo-Sandi.
Penulis menilai pernyataan mantan pimpinan Bank Sumut itu harus diferivikasi kebenarannya, hal ini tidak lain hanya menginginkan agar masyarakat khususnya pendukung Prabowo-Sandi tidak menaruh curiga berlebih kepada instansi kepolisian yang dengan jelas harus bersikap netral. Polisi sebagai aparatur Negara bukan hanya secara kelembagaan yang bersifat netral, seorang prajurit kepolisian sekalipun tidak diberikan hak suara dalam pemilihan umum untuk memastikan bahwa lembaga abdi Negara itu bersifat netral dan hanya berpihak dalam rangka menjaga keamanan Negara. Kalau benar ada polisi yang berpihak, Kapolri tentu harus memberikan sanksi yang sangat tegas. Untuk itu pernyataan Gus Irawan itu harus segera dibuktikan benar salahnya, sehingga tidak timbul perspektif yang tidak baik oleh masyarakat.
Diakhir penulis ingin menyampaikan bahwa benar sejatinya perang total terjadi menjelang pesta demokrasi, namun hal itu dinilai dari sisi yang positif. Ialah perang gagasan dan pembenahan figur yang menjadi calon kandidat sehingga mendapat simpati dan dipilih oleh masyarakat. Bukan perang dalam konteks negatif yang hanya akan menambah benih-benih permusuhan di tubuh masyarkat Indonesia.***
Penulis saat ini menjabat Ketua Umum Badko HMI Sumut
DALAM catatan sejarah di Indonesia, pesta demokrasi dicetuskan pertama kali oleh Presiden Soeharto pada pidatonya saat membuka rapat pimpinan daerah se Indonesia di Jakarta tahun 1981 yang lalu. Pesta demokrasi kemudian disematkan di Indonesia sejak terjadinya pemilu tahun 1982, dengan harapan pemilu melahirkan kematangan masyrakat dalam demokrasi. Hingga saat ini, pesta demokrasi masih digunakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mengkampanyekan pelaksaan pemilu yang akan berlangsung 17 April 2019 mendatang.
Dalam perjalannya di Indonesia, pesta demokrasi dijadikan sebuah wahana berperang oleh orang-orang yang menjadi kandidat baik calon anggota legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden. Perang yang penulis maksud adalah sebuah perlombaan memperebutkan hati rakyat sebagai pemilih, baik itu dengan gagasan maupun dengan elektabilitas calon yang harus terus ditingkatkan setiap harinya.
Menjelang pemilihan umum tahun 2019 ini, perang sesuai yang penulis sebutkan diatas mulai bergeser kearah yang lebih negatif. Kita tentu menyadari, saat ini iklim kontestasi tidak sehat dan berhasil memproduksi benih-benih perpecahan di antara masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan pemandangan kehidupan sosial di masyarakat kita yang seakan berkelompok menjadi dua gelombang besar, dan itu semua didasari dengan adanya pandangan politik yang berbeda.
Kepala staf Kepresidenan Moeldoko yang juga bahagian dari Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo â€" Ma’ruf Amin, menyatakan kita saat ini menuju pada sebuah istilah yang dinamakan perang total. Mantan panglima TNI itu juga menyebutkan bahwa segala sumber daya akan dikerahkan untuk memenangkan pasangan Jokowi dalam perang tota tersebut.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar di benak kita, apa yang dimaksud Moeldoko dengan perang total tersbut? Dan apa strategi yang akan dijadikan senjata dalam menempuh perang total tersebut? Penulis sendiri sulit menerjemahkan maksud dari Jendral Purnawirawan Moeldoko itu, namun penulis ingin sedikit mengupas fenomena tentang perang dalam konteks negatif negatif yang terjadi di pesta demokrasi saat ini.
Dimulai dari perang opini yang terjadi secara sangat masif, mulai dari proses pencitraan kandidat hingga tumbuh suburnya hoaks yang cinderung menjatuhkan pamor salah satu kandidat terlebih kepada calon presiden dan wakil presiden. Seperti dilansir oleh Tempo.co pada tanggal 15 Januari 2019, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Rosarita Niken Widiastuti mengatakan jumlah aduan hoax di kementrian itu meningkat signifikan di tahun 2018. Niken menjelaskan pada tahun 2018 Kominfo menerima 14.427 aduan terkait hoaks dan terverifikasi 1.645 diantaranya terbukti hoaks, hal ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya menerima 7.430 aduan dan hanya 386 yang terverifikasi adalah hoaks.
Tidak tanggung-tanggung, berita hoaks ini juga sudah menyeret beberapa orang kedalam jeruji besi. Mulai dari kasus hoaks adanya 7 kontainer yang berisi surat suara yang sudah tercoblos, kasus penyebar hoaks ijazah palsu presiden Joko Widodo, hingga yang paling banyak menjadi perbincangan yakni kasus hoaks penganiyaan Ratna Sarumpaet yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Beberapa kasus hoaks yang dikonsumsi publik ini sempat menjadi kegaduhan khususnya di sosial media masyarakat Indonesia.
Pada persoalan perang selanjutnya, penulis ingin membahas yang terjadi di provinsi Sumatera Utara yang agaknya cukup menjadi polemik besar menjelang pemilihan umum tahun ini. Iyalah tudingan yang dilontarkan ketua partai Gerindra Sumatera Utara yang menyebut polisi di Medan ancam kepling untuk dukung pasangan Jokowi-Ma’ruf. Gus Irawan yang juga Ketua Badan Pemenangan (BPD) Prabowo-Sandi di Sumatera Utara, menyampaikan kepling di Kota Medan ada yang di intervensi dan diancam aparat kepolisian , hal ini diungkapkan Gus Irawan saat memberikan sambutan di acara deklarasi Caleg PBB Sumut mendukung pasangan Prabowo-Sandi.
Penulis menilai pernyataan mantan pimpinan Bank Sumut itu harus diferivikasi kebenarannya, hal ini tidak lain hanya menginginkan agar masyarakat khususnya pendukung Prabowo-Sandi tidak menaruh curiga berlebih kepada instansi kepolisian yang dengan jelas harus bersikap netral. Polisi sebagai aparatur Negara bukan hanya secara kelembagaan yang bersifat netral, seorang prajurit kepolisian sekalipun tidak diberikan hak suara dalam pemilihan umum untuk memastikan bahwa lembaga abdi Negara itu bersifat netral dan hanya berpihak dalam rangka menjaga keamanan Negara. Kalau benar ada polisi yang berpihak, Kapolri tentu harus memberikan sanksi yang sangat tegas. Untuk itu pernyataan Gus Irawan itu harus segera dibuktikan benar salahnya, sehingga tidak timbul perspektif yang tidak baik oleh masyarakat.
Diakhir penulis ingin menyampaikan bahwa benar sejatinya perang total terjadi menjelang pesta demokrasi, namun hal itu dinilai dari sisi yang positif. Ialah perang gagasan dan pembenahan figur yang menjadi calon kandidat sehingga mendapat simpati dan dipilih oleh masyarakat. Bukan perang dalam konteks negatif yang hanya akan menambah benih-benih permusuhan di tubuh masyarkat Indonesia.***
Penulis saat ini menjabat Ketua Umum Badko HMI Sumut
DALAM catatan sejarah di Indonesia, pesta demokrasi dicetuskan pertama kali oleh Presiden Soeharto pada pidatonya saat membuka rapat pimpinan daerah se Indonesia di Jakarta tahun 1981 yang lalu. Pesta demokrasi kemudian disematkan di Indonesia sejak terjadinya pemilu tahun 1982, dengan harapan pemilu melahirkan kematangan masyrakat dalam demokrasi. Hingga saat ini, pesta demokrasi masih digunakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mengkampanyekan pelaksaan pemilu yang akan berlangsung 17 April 2019 mendatang.
Dalam perjalannya di Indonesia, pesta demokrasi dijadikan sebuah wahana berperang oleh orang-orang yang menjadi kandidat baik calon anggota legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden. Perang yang penulis maksud adalah sebuah perlombaan memperebutkan hati rakyat sebagai pemilih, baik itu dengan gagasan maupun dengan elektabilitas calon yang harus terus ditingkatkan setiap harinya.
Menjelang pemilihan umum tahun 2019 ini, perang sesuai yang penulis sebutkan diatas mulai bergeser kearah yang lebih negatif. Kita tentu menyadari, saat ini iklim kontestasi tidak sehat dan berhasil memproduksi benih-benih perpecahan di antara masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan pemandangan kehidupan sosial di masyarakat kita yang seakan berkelompok menjadi dua gelombang besar, dan itu semua didasari dengan adanya pandangan politik yang berbeda.
Kepala staf Kepresidenan Moeldoko yang juga bahagian dari Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo â€" Ma’ruf Amin, menyatakan kita saat ini menuju pada sebuah istilah yang dinamakan perang total. Mantan panglima TNI itu juga menyebutkan bahwa segala sumber daya akan dikerahkan untuk memenangkan pasangan Jokowi dalam perang tota tersebut.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar di benak kita, apa yang dimaksud Moeldoko dengan perang total tersbut? Dan apa strategi yang akan dijadikan senjata dalam menempuh perang total tersebut? Penulis sendiri sulit menerjemahkan maksud dari Jendral Purnawirawan Moeldoko itu, namun penulis ingin sedikit mengupas fenomena tentang perang dalam konteks negatif negatif yang terjadi di pesta demokrasi saat ini.
Dimulai dari perang opini yang terjadi secara sangat masif, mulai dari proses pencitraan kandidat hingga tumbuh suburnya hoaks yang cinderung menjatuhkan pamor salah satu kandidat terlebih kepada calon presiden dan wakil presiden. Seperti dilansir oleh Tempo.co pada tanggal 15 Januari 2019, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Rosarita Niken Widiastuti mengatakan jumlah aduan hoax di kementrian itu meningkat signifikan di tahun 2018. Niken menjelaskan pada tahun 2018 Kominfo menerima 14.427 aduan terkait hoaks dan terverifikasi 1.645 diantaranya terbukti hoaks, hal ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya menerima 7.430 aduan dan hanya 386 yang terverifikasi adalah hoaks.
Tidak tanggung-tanggung, berita hoaks ini juga sudah menyeret beberapa orang kedalam jeruji besi. Mulai dari kasus hoaks adanya 7 kontainer yang berisi surat suara yang sudah tercoblos, kasus penyebar hoaks ijazah palsu presiden Joko Widodo, hingga yang paling banyak menjadi perbincangan yakni kasus hoaks penganiyaan Ratna Sarumpaet yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Beberapa kasus hoaks yang dikonsumsi publik ini sempat menjadi kegaduhan khususnya di sosial media masyarakat Indonesia.
Pada persoalan perang selanjutnya, penulis ingin membahas yang terjadi di provinsi Sumatera Utara yang agaknya cukup menjadi polemik besar menjelang pemilihan umum tahun ini. Iyalah tudingan yang dilontarkan ketua partai Gerindra Sumatera Utara yang menyebut polisi di Medan ancam kepling untuk dukung pasangan Jokowi-Ma’ruf. Gus Irawan yang juga Ketua Badan Pemenangan (BPD) Prabowo-Sandi di Sumatera Utara, menyampaikan kepling di Kota Medan ada yang di intervensi dan diancam aparat kepolisian , hal ini diungkapkan Gus Irawan saat memberikan sambutan di acara deklarasi Caleg PBB Sumut mendukung pasangan Prabowo-Sandi.
Penulis menilai pernyataan mantan pimpinan Bank Sumut itu harus diferivikasi kebenarannya, hal ini tidak lain hanya menginginkan agar masyarakat khususnya pendukung Prabowo-Sandi tidak menaruh curiga berlebih kepada instansi kepolisian yang dengan jelas harus bersikap netral. Polisi sebagai aparatur Negara bukan hanya secara kelembagaan yang bersifat netral, seorang prajurit kepolisian sekalipun tidak diberikan hak suara dalam pemilihan umum untuk memastikan bahwa lembaga abdi Negara itu bersifat netral dan hanya berpihak dalam rangka menjaga keamanan Negara. Kalau benar ada polisi yang berpihak, Kapolri tentu harus memberikan sanksi yang sangat tegas. Untuk itu pernyataan Gus Irawan itu harus segera dibuktikan benar salahnya, sehingga tidak timbul perspektif yang tidak baik oleh masyarakat.
Diakhir penulis ingin menyampaikan bahwa benar sejatinya perang total terjadi menjelang pesta demokrasi, namun hal itu dinilai dari sisi yang positif. Ialah perang gagasan dan pembenahan figur yang menjadi calon kandidat sehingga mendapat simpati dan dipilih oleh masyarakat. Bukan perang dalam konteks negatif yang hanya akan menambah benih-benih permusuhan di tubuh masyarkat Indonesia.***
Penulis saat ini menjabat Ketua Umum Badko HMI Sumut