Kota Medan akan berulang tahun yang ke 433 besok, Sabtu 1 Juli 2023.
Dalam usia tersebut, nada keprihatinan terhadap ibu kota Sumatera Utara itu muncul dari Penggagas Gerakan Bangga Medan, Abdullah Rasyid.
Menurutnya, Kota Medan saat ini terus berubah menjadi kota yang tidak memiliki identitas. Diawali dengan bangunan-bangunan khas Kota Medan yang mulai hilang karena dirobohkan dan sebagian diganti dengan bangunan baru dengan konsep modern.
“Ada yang cukup memperihatinkan ketika berkeliling Kota Medan. Kami mendapati satu persatu bangunan dan situs khas Kota Medan mulai dihilangkan, dirobohkan, diganti atau bahkan dihancurkan,” katanya, Jumat (30/6/2023).
Abdullah Rasyid yang merupakan ‘anak medan’ ini menjelaskan gedung-gedung kuno di seputaran Kesawan, mulai berganti rumah dan toko alias ruko. Gedung Balaikota yang terlihat kental Arsitektur Eropa dan menjadi kebanggaan Kota Medan, sekarang hanya sekadar menjadi Fasad Hotel Aston. Kemudian, Vila Kembar peninggalan Belanda di Jalan Pangeran Diponegro pun sudah hilang dan menjelma menjadi Hotel Adimulia. Serta yang lebih memprihatinkan, di dekat bangunan khas Kota Medan yang dulu dikenal sebagai Titi Gantung tempat para Pelajar Kota Medan biasa membeli buku, berdiri megah sebuah Vihara.
Dibangunnya gedung modern ini menurutnya merupakan bukti Medan menjadi Kota kehilangan identitas. Salah satu upaya membangun hal yang berbau modern itu adalah pembuatan lampu hias yang dikenal dengan istilah lampu pocong.
“Proyek gagal itu bahkan membuat Medan menjadi identik dengan sebutkan kota lampu pocong yang kurang sedap didengar,” ujarnya.
Dari sisi lain, Kota Medan belakangan menjadi kota yang tidak aman seiring ramainya aksi begal. Ini menjadi bagian yang membuat Kota Medan semakin kehilangan identitas sebagai kota yang aman untuk dihuni.
Dari sisi kenyamanan, Kota Medan memiliki kenangan indah mengenai ruang terbuka hijau. Di kota ini, hingga pertengahan tahun 1990-an masih mudah menemukan ruang terbuka hijau. Taman-taman kota masih menguasai areal perkotaan, sebelum akhirnya hari ini (sekarang) taman-taman itu berganti dengan bangunan. Bahkan, Lapangan Merdeka salah satu ruang publik yang tersisa pun kini disewakan dan akan digunakan untuk tempat usaha.
“Gak kita lihat lagi warga yang berlari-lari atau sekedar berolah raga ringan di sekitar Lapangan Merdeka, tak ada lagi pelajar sekolah berlatih Gerak Jalan atau Paskibra jika sore hari. Kesannya pemerintah memang senang merobohkan dan mengganti dengan yang baru,” pungkasnya.
Dari fakta-fakta ini, Abdullah Rasyid yang juga Sekretaris Nasional Boemi Poetera, secara blak-blakan menyebut, jiwa Kota Medan sudah hilang. Yang tinggal sekarang adalah jiwa-jiwa yang sok modern, sok gaul, sok maju dan sebagainya.
“Dari pendekatan kultural, jiwa kota ini sudah dihilangkan. Sok modern, sok gaul dan sok maju. Dari pendekatan sejarah, menghilangkan bukti-bukti sejarah dan sudah menabrak peraturan cagar budaya. Dari pendekatan tata kota dan estetika, sudah tidak jelas arah hendak ke mana biduk kemudi diarahkan. Ingatan kolektif telah diputuskan, nurani telah dicampakkan. Lihatlah kota-kota besar dunia, gedung lama tidak dibongkar bahkan dirawat. Gedung moden dibangun bukan menumpuk di kota tapi bergeser ke pinggir kota. Ekonomi berputar, khas kota tetap terawat. Selamat datang generasi baru, generasi tanpa identitas,” sindirnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved