Kasus tewasnya 12 ibu rumah tangga akibat tertimbun longsor bekas galian tambang ilegal di Desa Bandarlimabung, Kecamatan Lingga Bayu, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara pada (28/4) yang lalu mendatangkan duka mendalam bagi warga Sumatera Utara.
Pada sisi lain, Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi dan Kapolda Sumut Irjen Panca Putra Panjaitan didesak untuk turun tangan mengusut tuntas pelaku tambang ilegal yang memiliki kaitan dengan lokasi tempat insiden tersebut.
"Persoalan ini harus diusut tuntas. Karena persoalan yang sama berpotensi terulang mengingat marak dan massifnya aktivitas tambang ilegal di Kabupaten Madina," kata Ketua Umum Pengurus Besar Perkumpulan Advokat Sumatera Utara (PB PASU) Eka Putra Zakran, Sabtu (30/4/2022).
Pada sisi lain kata sosok yang akrab disapa Epza ini, dampak dari tambang liar atau tambang ilegal yang marak di Kabupaten madina ini adalah pencemaran berupa rusaknya lingkungan, tercemarnya air sungai Batang Natal yang hingga saat ini kasat mata kita lihat air sungai tersebut setiap hari sudah bercampur dengan limbah. Bahkan penggunaan bahan kimia seperti mercury menjadi hal yang sangat berbahaya.
"Hendaknya Gubsu mapun Kapolda dapat menjadikan peristiwa 12 IRT tewas ini sebagai dasar yang kuat untuk memerangi usaha tambang ilegal di Kabupaten Madina. Aktivitas tambang ilegal ini di Madina sudah menahun, jangan ada pembiaran atau jangan sampai ada pihak-pihak yang tutup mata, atau memgambil keuntungan dengan melakukan beckup dari belakang dan sebagainya," ungkapnya.
Merujuk pada ketentuan UU Pertambangan, yaitu UU No 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara mebyatakan bahwa pertambangan sebagai bagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengolahan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kekayaan, konstruksi, pengelolaan, permintaan, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang.
Kegiatan pertambangan di Indonesia sejatinya dilakukan oleh perusahaan yang telah memiliki izin resmi, akan tetapi dalam praktiknya tidak jarang ada juga perusahaan yang tidak memiliki izin resmi, termasuk masyarakat disekitarnya yang melakukan kegiatan tambang. Hal ini jelas membawa dampak terutama pada aspek pencemaran lingkungan yang tidak terkontrol.
Dalam UU pertambangan, selain mengenal adanya pertambangan tanpa izin (illegal mining) yang dianggap sebagai suatu tindak pidana, juga terdapat bermacam-macam tindak pidana lainnya yang sebagian besar ditujukan bagi pelaku usaha dan terdapat pula satu macam tindak pidana yang ditujukan bagi pejabat pembuat izin dibidang pertambangan.
Kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak memiliki izin resmi, maka prlaku dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang diatur pada Pasal 158 UU Pertambangan, berbunyi:
Setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah).
Selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan pertambangan diharapkan data-data atau laporan yang dibuat adalah laporan yang benar. Mulai dari studi kelayakan, laporan kegiatan usaha dan laporan penjualan hasil tambang agar hasil tersebut dapat dipertanggung jawabkan.
Terhadap perbuatan memberikan data atau laporan yang tidak benar, maka sanksinya diatur pada Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Bahkan lebih dari itu, pemalsuan terhadap data dibidang pertambangan yang dilkukan pihak pelaku usaha diatur secara khusus dan dapat dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda Rp10.000.000.000 (seouluh milyar).
"Dasar-dasar hukum ini begitu kuat mengatur pertambangan. Jadi tidak ada alasan untuk tidak menaatinya," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved