Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alam. Sumber daya energi dan mineral menjadi salah satu anugerah besar dari sang pencipta yang harus mampu dimanfaatkan secara maksimal untuk peningkatan taraf hidup bangsa.
Hanya saja, berbicara soal dunia pertambangan hampir sebagian besar masyarakat kerap menilainya dari sisi negatif saja. Isu besar yang selalu dimunculkan adalah bahwa operasional tambang merupakan kegiatan perusak lingkungan dengan berbagai alibi mulai dari penggunaan bahan berbahaya, merusak habitat satwa hingga memicu kepunahan satwa tertentu yang berujung pada terganggunya keseimbangan ekosistem dan berbagai hal negatif lain.
"Padahal tidak demikian. Sepanjang panduan praktis pertambangan dipatuhi, maka tentu dampak negatif akan mampu ditekan seminimal mungkin," kata ahli ekologi dari Universitas Sumatra Utara (USU), Onrizal, S.Hut, M.Si, PhD.
Panduan yang dimaksudkan Onrizal adalah panduan mengenai dunia pertambangan yang dikenal dengan istilah Good Mining Practice. Panduan ini bertujuan membuat kegiatan operasional pertambangan dapat dijalankan dengan aman, efisien, dan tetap mempertimbangkan aspek lingkungan hidup.
Pertanyaannya adalah apakah berbagai program dari perusahaan pertambangan dalam mengamalkan 'Good Mining Practice' ini sudah menjadi konsumsi publik?. Ini tentu menjadi pertanyaan yang sangat mendasar dan sangat menentukan 'wajah' dari perusahaan itu di mata masyarakat. Maraknya isu negatif yang mendera dunia pertambangan tidak terlepas dari bagaiamana perusahaan pertambangan 'memoles wajah' mereka dengan memastikan seluruh program mereka selaras dengan panduan tersebut.
Selaku ahli dibidang Ekologi, Onrizal mengapresiasi berbagai langkah yang sudah dilakukan oleh perusahaan pertambangan PT Agincourt Resources (PTAR) dalam mengamalkan panduan tersebut. Berbagai program dilakukan untuk memastikan PTAR memberikan dampak positif bagi masyarakat tanpa mengabaikan keberlangsungan lingkungan hidup atau biodiversity.
Salah satu program penting dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup ini adalah adanya inisiatif dari PTAR untuk membuat panduan baku atau standar operasional prosedur (SOP) dalam hal identifikasi dini satwa atau fauna pada lahan yang akan dibuka untuk kepentingan operasional tambang. Data yang diperoleh dari situs resmi perusahaan https://www.agincourtresources.com/ menyebutkan PTAR mengalokasikan dana sebesar USD 9,182,494 untuk pengelolaan dan pemantauan lingkungan di tahun 2021.
“Ini adalah upaya untuk melestarikan dan melindungi keberadaan fauna terutama jenis fauna dilindungi,” kata General Manager Operations PTAR, Rahmat Lubis.
Rahmat mengungkapkan, PTAR sudah mengalokasikan sumber daya untuk pengelolaan dan pemantauan lingkungan di tahun 2020, dengan biaya sebesar USD 6,45 juta dan di tahun 2021 sebesar USD 9,2 juta. Sumber daya tersebut meliputi dana pelaksanaan pengelolaan lingkungan, sumber daya manusia untuk melaksanakan tugas pengelolaan lingkungan, serta penggunaan teknologi untuk memastikan pengelolaan lingkungan yang optimal.
“Sumber daya ini dialokasikan untuk memastikan bahwa pengelolaan lingkungan di lokasi Tambang Emas Martabe memenuhi standar kualitas dan peraturan yang berlaku,” kata Rahmat.
Pada laman yang sama, Senior Manager Corporate Communications PTAR, Katarina Siburian Hardono mengatakan target utama kebijakan PTAR terkait perlindungan terhadap keanekaragaman hayati adalah ekosistem yang berada di dekat dengan wilayah kerja Tambang Emas Martabe, karena meskipun wilayah kerja PTAR di luar kawasan yang dilindungi, tapi dekat dengan kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. PTAR menyadari kegiatan operasi yang dilakukan berpotensi memengaruhi keberlangsungan hidup fauna maupun flora yang ada di sekitarnya.
“Untuk itu, PTAR berkomitmen meminimalkan dampak dari kegiatan operasinya dengan melakukan upaya pencegahan, minimalisasi dan mitigasi risiko terhadap keanekaragaman hayati sepanjang siklus bisnis perusahaan, tanggung jawab terhadap tata guna lahan serta merencanakan dan memodifikasi desain, konstruksi dan praktik operasi untuk melindungi spesies fauna dan flora tertentu yang endemik atau dilindungi,” ujar Katarina.
Dalam perbincangan dengan RMOLSumut.id, Onrizal mengatakan, program ini menunjukkan bahwa PTAR memiliki kesadaran (awareness) terkait keanekaragaman hayati terutama satwa yang dilindungi yang terancam punah.
"Artinya, pertama, mereka membuat SOP nya dan mereka mempunyai tenaga terampil dalam mendeteksi dengan benar kehadiran satwa yang dilindungi. Kedua, SOP nya adalah ketika mereka mendeteksi kehadiran satwa itu, maka semua kegiatan harus berhenti sampai satwa itu pergi dari lokasi yang dimaksud tanpa kegiatan yang mengganggu kenyamanan satwa itu," kata Onrizal yang juga menjadi fasilitator dalam kegiatan tersebut.
Keinginan PTAR untuk menjadikan SOP deteksi dini satwa tersebut menjadi sebuah budaya kerja di lingkungan perusahaan, terlihat dari pengiriman karyawan tidak hanya dari unit Biodeiversity, nmaun juga dari unit lain seperti unit tambang hingga unit eksplorasi. Hal ini mengartikan bahwa seluruh pihak yang berpotensi bertemu dengan satwa-satwa dilindungi pada areal kerja wajib memahami proses identifikasi hingga membuat laporan kepada unit manajemen.
"Unit manajemenn ini nantinya akan menyampaikan laporan tersebut kepada pihak yang berwenang dalam penanganan satwa tersebut," ujar Onrizal, Senin (3/12/2021).
Kerjasama yang dilakukan oleh PTAR dengan para ahli dalam memberikan pembekalan terhadap para karyawan untuk melakukan deteksi dini keberadaan satwa tersebut tidak cukup hanya pada pelatihan saja. Akan tetapi, hal ini menurut Onrizal masih harus ditingkatkan ke tahapan lainnya seperti monitoring reguler dengan didampingi ahli, termasuk arus pemetaan kegiatan yang lebih baik sehingga tidak memutus satu habitat dengan habitat lain.
"Dalam hal ini tidak kajian lanjutan menjadi sangat penting setelah kajian awal. Kemudian setelah kegiatan berjalan, itu juga penting untuk monitoring. Kerjasama kemarin masih sampai pelatihan meskipun ada MoU, juga dalam mewujudkan tri darma perguruan tinggi. Tapi kemarin masih pelatihan deteksi dini. Harapannya nanti satu pelatihan jauh lebih dari cukup untuk menghasilkan yang handal, harus dibuat reguler sampai pengetahuan itu terbangun dan menjadi budaya perusahaan," sebutnya.
Saran lain yang juga penting adalah membagi pengetahuan (sharing knowledge) tentang deteksi dini satwa tersebut dengan masyarakat sekitar. Sebab, potensi pertemuan satwa dengan individu manusia juga dapat terjadi pada masyarakat yang non karyawan PTAR. PTAR dalam komitmennya menjaga keberlangsungan lingkungan juga dapat menjadikan masyarakat sebagai mitra mereka dalam mendeteksi keberadaan satwa yang dapat berpindah dari kawasan konsesi perusahaan maupun lahan masyarakat.
"Baiknya juga seperti itu, sebagai bagian dari tanggungjawab korporasi. Saya tidak tau semua yang dilakukan PTAR terkait edukasi kepada masyarakat. Tapi sangat baik jika hal ini juga diajukan. Jadi masyarakat ikut terlibat dalam meningkatkan awareness yang lebih luas dalam rangka melindungi satwa terutama yang dilindungi," saran Onrizal.
© Copyright 2024, All Rights Reserved