Pengembangan ini menurut Herawati menjadi sinyal positif untuk mendongkrak nilai ekonomis dari sawit. Sebab jika penerapan B100 ini sudah diterapkan 100 persen maka kebutuhan sawit sebagai bahan baku akan meningkat didalam negeri.
\"Artinya kebijakan ekspor akan dikurangi. Saat ini produksi sawit kita 40 juta ton, kalau sudah diterapkan B100 akan meningkat menjadi 50 juta ton. Artinya kita butuh 10 ton lagi, hal ini tentu bisa mengurangi ekspor dan kita pergunakan sendiri. Jadi, tidak peduli lagi dengan protes-protes yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap sawit kita,\" ujarnya.
Secara khusus di Sumamatera Utara, saat ini lahan perkebunan sawit mencapai sekitar 1,3 juta hektar dan menjadi terbesar kedua setelah Riau. Hampir sebagian besar, perkebunan sawit tersebut menurut Herawati merupakan milik petani. Dengan demikian, jika tata kelola kelapa sawit diperbaiki dan semua stakeholder berperan maka hal tersebut akan memberikan kesejahteraan bersama.
\"Tidak bisa hanya pemerintah saja, seluruh stakeholder dibidang sawit ini harus bersinergi,\" pungkasnya." itemprop="description"/>
Pengembangan ini menurut Herawati menjadi sinyal positif untuk mendongkrak nilai ekonomis dari sawit. Sebab jika penerapan B100 ini sudah diterapkan 100 persen maka kebutuhan sawit sebagai bahan baku akan meningkat didalam negeri.
\"Artinya kebijakan ekspor akan dikurangi. Saat ini produksi sawit kita 40 juta ton, kalau sudah diterapkan B100 akan meningkat menjadi 50 juta ton. Artinya kita butuh 10 ton lagi, hal ini tentu bisa mengurangi ekspor dan kita pergunakan sendiri. Jadi, tidak peduli lagi dengan protes-protes yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap sawit kita,\" ujarnya.
Secara khusus di Sumamatera Utara, saat ini lahan perkebunan sawit mencapai sekitar 1,3 juta hektar dan menjadi terbesar kedua setelah Riau. Hampir sebagian besar, perkebunan sawit tersebut menurut Herawati merupakan milik petani. Dengan demikian, jika tata kelola kelapa sawit diperbaiki dan semua stakeholder berperan maka hal tersebut akan memberikan kesejahteraan bersama.
\"Tidak bisa hanya pemerintah saja, seluruh stakeholder dibidang sawit ini harus bersinergi,\" pungkasnya."/>
Pengembangan ini menurut Herawati menjadi sinyal positif untuk mendongkrak nilai ekonomis dari sawit. Sebab jika penerapan B100 ini sudah diterapkan 100 persen maka kebutuhan sawit sebagai bahan baku akan meningkat didalam negeri.
\"Artinya kebijakan ekspor akan dikurangi. Saat ini produksi sawit kita 40 juta ton, kalau sudah diterapkan B100 akan meningkat menjadi 50 juta ton. Artinya kita butuh 10 ton lagi, hal ini tentu bisa mengurangi ekspor dan kita pergunakan sendiri. Jadi, tidak peduli lagi dengan protes-protes yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap sawit kita,\" ujarnya.
Secara khusus di Sumamatera Utara, saat ini lahan perkebunan sawit mencapai sekitar 1,3 juta hektar dan menjadi terbesar kedua setelah Riau. Hampir sebagian besar, perkebunan sawit tersebut menurut Herawati merupakan milik petani. Dengan demikian, jika tata kelola kelapa sawit diperbaiki dan semua stakeholder berperan maka hal tersebut akan memberikan kesejahteraan bersama.
\"Tidak bisa hanya pemerintah saja, seluruh stakeholder dibidang sawit ini harus bersinergi,\" pungkasnya."/>
Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Utara, Herawati memastikan masa depan petani sawit masih sangat cerah di Indonesia. Meskipun terjadi fluktuasi harga, namun berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk terus mengembangkan produk turunan dari sawit dipastikan akan membuat nilai ekonomis sawit akan terus terdongkrak.
Hal ini disampaikannya pada Dialog Publik Biodiesel 50 dan Deklarasi Forum Wartawan Perkebunan (Forwabun) Sumut di Aula PPKS, Kamis (27/6/2019).
"Saat pemerintah sedang mengembangkan penggunaan bahan bakar Biodiesel 100 atau B100 setelah sebelumnya para ahli sudah mengembangkan penerapan B20, B30 dan B50," katanya.
Pengembangan ini menurut Herawati menjadi sinyal positif untuk mendongkrak nilai ekonomis dari sawit. Sebab jika penerapan B100 ini sudah diterapkan 100 persen maka kebutuhan sawit sebagai bahan baku akan meningkat didalam negeri.
"Artinya kebijakan ekspor akan dikurangi. Saat ini produksi sawit kita 40 juta ton, kalau sudah diterapkan B100 akan meningkat menjadi 50 juta ton. Artinya kita butuh 10 ton lagi, hal ini tentu bisa mengurangi ekspor dan kita pergunakan sendiri. Jadi, tidak peduli lagi dengan protes-protes yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap sawit kita," ujarnya.
Secara khusus di Sumamatera Utara, saat ini lahan perkebunan sawit mencapai sekitar 1,3 juta hektar dan menjadi terbesar kedua setelah Riau. Hampir sebagian besar, perkebunan sawit tersebut menurut Herawati merupakan milik petani. Dengan demikian, jika tata kelola kelapa sawit diperbaiki dan semua stakeholder berperan maka hal tersebut akan memberikan kesejahteraan bersama.
"Tidak bisa hanya pemerintah saja, seluruh stakeholder dibidang sawit ini harus bersinergi," pungkasnya.
Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Utara, Herawati memastikan masa depan petani sawit masih sangat cerah di Indonesia. Meskipun terjadi fluktuasi harga, namun berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk terus mengembangkan produk turunan dari sawit dipastikan akan membuat nilai ekonomis sawit akan terus terdongkrak.
Hal ini disampaikannya pada Dialog Publik Biodiesel 50 dan Deklarasi Forum Wartawan Perkebunan (Forwabun) Sumut di Aula PPKS, Kamis (27/6/2019).
"Saat pemerintah sedang mengembangkan penggunaan bahan bakar Biodiesel 100 atau B100 setelah sebelumnya para ahli sudah mengembangkan penerapan B20, B30 dan B50," katanya.
Pengembangan ini menurut Herawati menjadi sinyal positif untuk mendongkrak nilai ekonomis dari sawit. Sebab jika penerapan B100 ini sudah diterapkan 100 persen maka kebutuhan sawit sebagai bahan baku akan meningkat didalam negeri.
"Artinya kebijakan ekspor akan dikurangi. Saat ini produksi sawit kita 40 juta ton, kalau sudah diterapkan B100 akan meningkat menjadi 50 juta ton. Artinya kita butuh 10 ton lagi, hal ini tentu bisa mengurangi ekspor dan kita pergunakan sendiri. Jadi, tidak peduli lagi dengan protes-protes yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap sawit kita," ujarnya.
Secara khusus di Sumamatera Utara, saat ini lahan perkebunan sawit mencapai sekitar 1,3 juta hektar dan menjadi terbesar kedua setelah Riau. Hampir sebagian besar, perkebunan sawit tersebut menurut Herawati merupakan milik petani. Dengan demikian, jika tata kelola kelapa sawit diperbaiki dan semua stakeholder berperan maka hal tersebut akan memberikan kesejahteraan bersama.
"Tidak bisa hanya pemerintah saja, seluruh stakeholder dibidang sawit ini harus bersinergi," pungkasnya.