Polemik terkait keberadaan sekolah Al Hidayah di XV Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang hingga saat ini masih berlanjut.
Antara warga dengan pihak yayasan yang mengelola sekolah tersebut masih bertarung di Pengadilan Agama terkait status wakaf lahan tempat berdirinya bangunan sekolah tersebut.
Perwakilan warga, Supiandi mengatakan mereka tetap dengan tuntutan mereka agar pihak yayasan segera angkat kaki dari lokasi tersebut. Tuntutan ini menurutnya sudah sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara warga dengan pihak pengelola yayasan pada mediasi pada Desember 2019 lalu, dimana saat itu pihak yayasan meminta waktu 2 tahun untuk mencari tempat baru dan akan pindah dari lokasi saat ini.
Dalam perbincangan dengan redaksi, Jumat (4/2/2022) di Binjai, Supiandi menceritakan secara detail sejarah lahan tempat berdirinya Mushola dan sekolah Al Hidayah tersebut.
Menurutnya, status tanah tempat berdirinya sekolah tersebut merupakan lahan berstatus HGU PTPN2. Pada tahun 1993 di lokasi perwiritan, warga mengusulkan agar mereka memiliki tempat ibadah. Usulan ini kemudian mereka tindaklanjuti dengan meminta izin kepada pihak PTPN2 untuk membangun tempat ibadah berupa Mushola yang saat ini berubah menjadi bangunan Masjid permanen. Proposal pengajuan ini ditandangani oleh kepala desa dan akhirnya diizinkan oleh pihak PTPN2.
Seiring perjalanan waktu, pada Juli 2005 mulai muncul surat pernyataan dari seseorang bernama Taslim yang mengaku ahli waris dari almarhum Kasan.
"Dulu tanah kebun itu tidak ditanami, semak, maka merekalah yang menanami. Mereka menanami aja tidak ada alas hak, kalau perkebunan kan gitu lagi kosong boleh ditanami warga," kata Supiandi.
Kemudian surat ahli waris juga muncul dari seseorang bernama Siti yang merupakan ahli waris dari almarhum Muhyadi yang juga statusnya sama dengan Alm Kasan.
"Jadi mereka berdualah yang dulu menanami disitu," ujarnya.
Setelah itu, pada 11 Juli 2005 dua ahli waris tersebut juga kemudian memunculkan surat wakaf baru yang menyatakan mereka mewakafkan tanah tersebut kepada warga bernama Sutrisman yang saat itu berstatus kepala dusun.
Meski sudah mewakafkan tanah tersebut kepada Trisman, namun pada 14 November 2005 kembali muncul ikrar wakaf pernyataan dari Taslim diamanatkan kepada seseorang bernama Mulyono. Pada tanggal itu juga, Mulyono diangkat sebagai nazir oleh KUA setempat dan pada tanggal yang sama muncul ikrar wakaf kepemilikan dari Kades kepada Mulyono.
"Tapi ini nanti dibantah kades," katanya.
Warga menurut Supiandi semakin mengendus adanya upaya untuk menguasai dan memiliki secara pribadi lahan Mushola tersebut setelah kemudian pada 21 Februari 2006 muncul akte pendirian yayasan. Kemudian mulailah dilakukan pembangunan bangunan sekolah.
Puncak keresahan masyarakat adalah pada 23 Agustus 2019 muncul lagi surat pengajuan tidak silang sengketa.
"Jadi dianggaplah lahan itu milik Mulyono, mereka mengajukan surat permohonan kepada kepala desa minta dikeluarkan surat keterangan tentang kepemilikan tanah itu milik Mulyono dan sejauh ini tidak silang sengketa," ungkapnya.
Karena aksi itulah warga menurut Supiandi menjadi marah. Warga dan pihak yayasan kemudian melakukan pertemuan pada 10 Desember 2019 dengan difasilitasi oleh Camat dan Kepala Desa di aula Desa. Pada pertemuan tersebut warga dan pihak yayasan membuat surat perjanjian bahwa pihak yayasan bersedia pindah namun meminta waktu 2 tahun untuk mencari lahan baru.
"Selama dua tahun itu, warga tidak pernah melakukan aksi yang mengganggu aktifitas pendidikan di yayasan itu. Karena menghormati perjanjian yang dibuat," sebutnya.
Akan tetapi, jelang tenggat waktu yang dijanjikan, warga tidak melihat itikad baik dari pihak yayasan untuk mematuhi perjanjian. Sehingga warga melakukan somasi pada Agustus 2021 dan somasi kedua pada Oktober 2021. Namun tidak ditanggapi, justru sebaliknya pihak yayasan mengadukan kepala dusun, kepala desa dan camat ke Pengadilan Agama.
"Karena pengingkaran dan habis limit waktu, bergeraklah masyarakat memasang spanduk. Tapi sebelum dipasang, warga konsultasi ke polsek agar pemasangan itu tidak melanggar aturan," kata Supiandi lagi.
Aksi ini direspon oleh aparat pemerintah dengan kembali memediasi warga dengan pihak yayasan. Dalam pertemuan tersebut, warga mengungkit surat perjanjian untuk pindah sebagaimana hasil pertemuan pada Desember 2019 lalu tersebut. Namun pihak yayasan menurut Supiandi mengingkari perjanjian tersebut dan mengaku menandatanganinya dibawah tekanan.
Hingga saat ini polemik ini masih terus berlanjut di pengadilan agama. Namun kata Supiandi, warga melalui kuasa hukum mereka tetap meminta agar pihak yayasan mematuhi perjanjian dan tidak lagi menguasai lahan yang menjadi tempat berdirinya sekolah Al Hidayah tersebut. Sebab, lahan tersebut berstatus HGU dan mendapat izin untuk digunakan oleh masyarakat sebagai fasilitas umum.
Supiandi yang mengaku sangat memahami detail persoalan tersebut berharap, tidak ada lagi upaya untuk membangun isu seolah warga menolak pendidikan dan menghalangi pendidikan di sekolah Al Hidayah.
"Selama ini kami warga di framing seolah menghambat pendidikan, mengganggu pembelajaran. Padahal, kami hanya ingin mendudukkan persoalan sehingga tidak ada penyalahgunaan fasilitas untuk keuntungan seseorang," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved