Arie menjelaskan, dalam pertemuan tersebut pihak BOPDT mendengarkan semua masukan dari masyarakat terkait pembangunan terseut. Mereka juga menjelaskan bahwa pembangunan tersebut dilakukan pada areal yang diberikan oleh negara lewat berbagai peraturan terkait pelepasan lahan negara untuk dikelola dalam rangka pengembangan pariwisata Danau Toba selaku salah satu bagian dari Proyek Strategis Nasional. Sejak awal menurut Arie, mereka memperoleh hak pengelolaan lahan (zona otorita) yang oleh Kementerian KLHK sudah dilepaskan dari kawasan hutan melalui SK No 579 tahun 2016, kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya peta pelepasan hutan sesuai Keputusan Menteri KLHK no 3917 tahun 2018. Kemudian dilanjutkan dengan proses penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) hingga keluarnya sertifikat hak pengelolaan lahan dari Kementerian ATR/BPN.
Dalam proses mulai dari awal hingga keluarnya sertifikat kata Arie, luas lahan yang dari awal direncanakan menjadi Zona Otorita berkurang jauh dari sekitar 602 ha menjadi 386,72 ha. Hal ini karena dalam kajiannya, terdapat beberapa luasan lahan yang harus dikeluarkan karena beberapa hal misalnya karena terdapat sumber mata air utama masyarkat, kemudian karena adanya daerah yang rawan bencana jika dibangun sehingga dikeluarkan. Pada akhirnya luas kawasan yang menjadi Zona Otorita menjadi 386,72 hektar.
\"Sertifikat lahan ini sudah kita terima dari kementeri ATR/BPN,\" ujarnya.
Bukan hanya itu, BOPDT menurut Arie juga sudah melakukan proses ganti rugi terhadap seluruh dampak ekonomi yang timbul atas pengelolaan Zona Otorita tersebut. Seluruh kegiatan ekonomi masyarakat diatas lahan milik negara tersebut diganti rugi sesuai dengan perhitungan yang dilakukan oleh tim penilai independen.
\"Misalnya ada tanaman kopi atau tanaman buah lainnya milik mereka kita ganti nilai ekonomisnya,\" ungkapnya.
Kembali pada persoalan jalan, BOPDT berharap pembangunan jalan yang pada tahap awal direncanakan sepanjang 1,9 km tersebut dapat berjalan lancar. Mereka menargetkan pembangunan jalan terseubut akan selesai akhir bulan ini." itemprop="description"/>
Arie menjelaskan, dalam pertemuan tersebut pihak BOPDT mendengarkan semua masukan dari masyarakat terkait pembangunan terseut. Mereka juga menjelaskan bahwa pembangunan tersebut dilakukan pada areal yang diberikan oleh negara lewat berbagai peraturan terkait pelepasan lahan negara untuk dikelola dalam rangka pengembangan pariwisata Danau Toba selaku salah satu bagian dari Proyek Strategis Nasional. Sejak awal menurut Arie, mereka memperoleh hak pengelolaan lahan (zona otorita) yang oleh Kementerian KLHK sudah dilepaskan dari kawasan hutan melalui SK No 579 tahun 2016, kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya peta pelepasan hutan sesuai Keputusan Menteri KLHK no 3917 tahun 2018. Kemudian dilanjutkan dengan proses penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) hingga keluarnya sertifikat hak pengelolaan lahan dari Kementerian ATR/BPN.
Dalam proses mulai dari awal hingga keluarnya sertifikat kata Arie, luas lahan yang dari awal direncanakan menjadi Zona Otorita berkurang jauh dari sekitar 602 ha menjadi 386,72 ha. Hal ini karena dalam kajiannya, terdapat beberapa luasan lahan yang harus dikeluarkan karena beberapa hal misalnya karena terdapat sumber mata air utama masyarkat, kemudian karena adanya daerah yang rawan bencana jika dibangun sehingga dikeluarkan. Pada akhirnya luas kawasan yang menjadi Zona Otorita menjadi 386,72 hektar.
\"Sertifikat lahan ini sudah kita terima dari kementeri ATR/BPN,\" ujarnya.
Bukan hanya itu, BOPDT menurut Arie juga sudah melakukan proses ganti rugi terhadap seluruh dampak ekonomi yang timbul atas pengelolaan Zona Otorita tersebut. Seluruh kegiatan ekonomi masyarakat diatas lahan milik negara tersebut diganti rugi sesuai dengan perhitungan yang dilakukan oleh tim penilai independen.
\"Misalnya ada tanaman kopi atau tanaman buah lainnya milik mereka kita ganti nilai ekonomisnya,\" ungkapnya.
Kembali pada persoalan jalan, BOPDT berharap pembangunan jalan yang pada tahap awal direncanakan sepanjang 1,9 km tersebut dapat berjalan lancar. Mereka menargetkan pembangunan jalan terseubut akan selesai akhir bulan ini."/>
Arie menjelaskan, dalam pertemuan tersebut pihak BOPDT mendengarkan semua masukan dari masyarakat terkait pembangunan terseut. Mereka juga menjelaskan bahwa pembangunan tersebut dilakukan pada areal yang diberikan oleh negara lewat berbagai peraturan terkait pelepasan lahan negara untuk dikelola dalam rangka pengembangan pariwisata Danau Toba selaku salah satu bagian dari Proyek Strategis Nasional. Sejak awal menurut Arie, mereka memperoleh hak pengelolaan lahan (zona otorita) yang oleh Kementerian KLHK sudah dilepaskan dari kawasan hutan melalui SK No 579 tahun 2016, kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya peta pelepasan hutan sesuai Keputusan Menteri KLHK no 3917 tahun 2018. Kemudian dilanjutkan dengan proses penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) hingga keluarnya sertifikat hak pengelolaan lahan dari Kementerian ATR/BPN.
Dalam proses mulai dari awal hingga keluarnya sertifikat kata Arie, luas lahan yang dari awal direncanakan menjadi Zona Otorita berkurang jauh dari sekitar 602 ha menjadi 386,72 ha. Hal ini karena dalam kajiannya, terdapat beberapa luasan lahan yang harus dikeluarkan karena beberapa hal misalnya karena terdapat sumber mata air utama masyarkat, kemudian karena adanya daerah yang rawan bencana jika dibangun sehingga dikeluarkan. Pada akhirnya luas kawasan yang menjadi Zona Otorita menjadi 386,72 hektar.
\"Sertifikat lahan ini sudah kita terima dari kementeri ATR/BPN,\" ujarnya.
Bukan hanya itu, BOPDT menurut Arie juga sudah melakukan proses ganti rugi terhadap seluruh dampak ekonomi yang timbul atas pengelolaan Zona Otorita tersebut. Seluruh kegiatan ekonomi masyarakat diatas lahan milik negara tersebut diganti rugi sesuai dengan perhitungan yang dilakukan oleh tim penilai independen.
\"Misalnya ada tanaman kopi atau tanaman buah lainnya milik mereka kita ganti nilai ekonomisnya,\" ungkapnya.
Kembali pada persoalan jalan, BOPDT berharap pembangunan jalan yang pada tahap awal direncanakan sepanjang 1,9 km tersebut dapat berjalan lancar. Mereka menargetkan pembangunan jalan terseubut akan selesai akhir bulan ini."/>
Pihak Badan Otoritas Pariwisata Danau Toba (BOPDT) kembali melanjutkan pembangunan jalan di lahan yang masuk dalam kawasan pengembangan Danau Toba (zona otorita) yang berbatasan dengan tiga desa di Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir. Pengerjaan dilakukan mulai Senin (16/9/2019) kemarin setelah sempat terhenti akibat munculnya aksi protes dari masyarakat dari Desa Sigapiton pada awal pengerjaan pada Kamis, 12 September 2019 lalu.
"Pekerjaan dilanjutkan setelah pada hari Minggu 15 September 2019 lalu kami menggelar pertemuan dengan warga membicarakan apa yang menjadi persoalan mereka," katanya kepada wartawan di Medan, Selasa (17/9/2019).
Arie menjelaskan, dalam pertemuan tersebut pihak BOPDT mendengarkan semua masukan dari masyarakat terkait pembangunan terseut. Mereka juga menjelaskan bahwa pembangunan tersebut dilakukan pada areal yang diberikan oleh negara lewat berbagai peraturan terkait pelepasan lahan negara untuk dikelola dalam rangka pengembangan pariwisata Danau Toba selaku salah satu bagian dari Proyek Strategis Nasional. Sejak awal menurut Arie, mereka memperoleh hak pengelolaan lahan (zona otorita) yang oleh Kementerian KLHK sudah dilepaskan dari kawasan hutan melalui SK No 579 tahun 2016, kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya peta pelepasan hutan sesuai Keputusan Menteri KLHK no 3917 tahun 2018. Kemudian dilanjutkan dengan proses penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) hingga keluarnya sertifikat hak pengelolaan lahan dari Kementerian ATR/BPN.
Dalam proses mulai dari awal hingga keluarnya sertifikat kata Arie, luas lahan yang dari awal direncanakan menjadi Zona Otorita berkurang jauh dari sekitar 602 ha menjadi 386,72 ha. Hal ini karena dalam kajiannya, terdapat beberapa luasan lahan yang harus dikeluarkan karena beberapa hal misalnya karena terdapat sumber mata air utama masyarkat, kemudian karena adanya daerah yang rawan bencana jika dibangun sehingga dikeluarkan. Pada akhirnya luas kawasan yang menjadi Zona Otorita menjadi 386,72 hektar.
"Sertifikat lahan ini sudah kita terima dari kementeri ATR/BPN," ujarnya.
Bukan hanya itu, BOPDT menurut Arie juga sudah melakukan proses ganti rugi terhadap seluruh dampak ekonomi yang timbul atas pengelolaan Zona Otorita tersebut. Seluruh kegiatan ekonomi masyarakat diatas lahan milik negara tersebut diganti rugi sesuai dengan perhitungan yang dilakukan oleh tim penilai independen.
"Misalnya ada tanaman kopi atau tanaman buah lainnya milik mereka kita ganti nilai ekonomisnya," ungkapnya.
Kembali pada persoalan jalan, BOPDT berharap pembangunan jalan yang pada tahap awal direncanakan sepanjang 1,9 km tersebut dapat berjalan lancar. Mereka menargetkan pembangunan jalan terseubut akan selesai akhir bulan ini.
Pihak Badan Otoritas Pariwisata Danau Toba (BOPDT) kembali melanjutkan pembangunan jalan di lahan yang masuk dalam kawasan pengembangan Danau Toba (zona otorita) yang berbatasan dengan tiga desa di Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir. Pengerjaan dilakukan mulai Senin (16/9/2019) kemarin setelah sempat terhenti akibat munculnya aksi protes dari masyarakat dari Desa Sigapiton pada awal pengerjaan pada Kamis, 12 September 2019 lalu.
"Pekerjaan dilanjutkan setelah pada hari Minggu 15 September 2019 lalu kami menggelar pertemuan dengan warga membicarakan apa yang menjadi persoalan mereka," katanya kepada wartawan di Medan, Selasa (17/9/2019).
Arie menjelaskan, dalam pertemuan tersebut pihak BOPDT mendengarkan semua masukan dari masyarakat terkait pembangunan terseut. Mereka juga menjelaskan bahwa pembangunan tersebut dilakukan pada areal yang diberikan oleh negara lewat berbagai peraturan terkait pelepasan lahan negara untuk dikelola dalam rangka pengembangan pariwisata Danau Toba selaku salah satu bagian dari Proyek Strategis Nasional. Sejak awal menurut Arie, mereka memperoleh hak pengelolaan lahan (zona otorita) yang oleh Kementerian KLHK sudah dilepaskan dari kawasan hutan melalui SK No 579 tahun 2016, kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya peta pelepasan hutan sesuai Keputusan Menteri KLHK no 3917 tahun 2018. Kemudian dilanjutkan dengan proses penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) hingga keluarnya sertifikat hak pengelolaan lahan dari Kementerian ATR/BPN.
Dalam proses mulai dari awal hingga keluarnya sertifikat kata Arie, luas lahan yang dari awal direncanakan menjadi Zona Otorita berkurang jauh dari sekitar 602 ha menjadi 386,72 ha. Hal ini karena dalam kajiannya, terdapat beberapa luasan lahan yang harus dikeluarkan karena beberapa hal misalnya karena terdapat sumber mata air utama masyarkat, kemudian karena adanya daerah yang rawan bencana jika dibangun sehingga dikeluarkan. Pada akhirnya luas kawasan yang menjadi Zona Otorita menjadi 386,72 hektar.
"Sertifikat lahan ini sudah kita terima dari kementeri ATR/BPN," ujarnya.
Bukan hanya itu, BOPDT menurut Arie juga sudah melakukan proses ganti rugi terhadap seluruh dampak ekonomi yang timbul atas pengelolaan Zona Otorita tersebut. Seluruh kegiatan ekonomi masyarakat diatas lahan milik negara tersebut diganti rugi sesuai dengan perhitungan yang dilakukan oleh tim penilai independen.
"Misalnya ada tanaman kopi atau tanaman buah lainnya milik mereka kita ganti nilai ekonomisnya," ungkapnya.
Kembali pada persoalan jalan, BOPDT berharap pembangunan jalan yang pada tahap awal direncanakan sepanjang 1,9 km tersebut dapat berjalan lancar. Mereka menargetkan pembangunan jalan terseubut akan selesai akhir bulan ini.