Esensi dari sebuah gerakan perlawanan mesti turun kejalan dan membentuk urat akar di leher? Jawabnya MESTI. Lalu apakah mesti jari-jari kita menari pada layar ponsel? Jawabnya MESTI.
Saya pikir dari dulu sampai dengan sekarang setiap orang punya cara untuk menyuarakan keadilan, dan selalu tidak monoton. Belakangan saya sering resah dengan sebutan aktivis ini. Ada orang yang mengaku sebagai aktivis tetapi aktivis yang ia maksud adalah sekumpulan orang yang bersuara dengan memakai atribut aksi atau demonstrasi dan turun ke jalanan. Tentunya jika kita menelisik atau melihat kaca sejarah yang dikatakan aktivis itu tidak hanya sekumpulan orang yang turun ke jalan. Banyak sejarah yang memperlihatkan setiap orang punya cara tersendiri dalam menggiring opini publik agar lahir sikap kritis. Bisa dengan turun ke jalan, bisa dengan menulis, berdiskusi.
Jika kita bercermin pada sejarah penjajah itu tak akan takluk jika saja H.O.S Tjokroaminoto tak membentuk suatu gerakan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda bersama rakyat melalui Serikat Islam (SI) hingga akhirnya perlawanan itu menjadi virus bagi muridnya untuk membangun gerakan perlawanan dengan masing-masing ideologinya untuk kemerdekaan Indonesia.
Tjokro selalu mengandalkan orasinya yang membakar semangat rakyat dan mempunyai strategi yang sangat baik agar mimpinya dan mimpi seluruh rakyat nusantara untuk meraih kemerdekaan dapat terwujud. Yaitu dengan cara mendidik pemuda dan menanamkan nilai moral perjuangan di dalam dada para muridnya. Sebut saja Soekarno dengan pemikiran nasionalisnya, Musso dengan pemikiran sosialis-marxisnya, Kartosoewirjo dengan pemikiran Islamnya. Semuanya merupakan aktivis yang melawan penindasan dan ketidakadilan pada masa kolonial.
Lalu mestikah jari-jemari menari di atas layar ponsel untuk melakukan perlawanan? Jangan sempit kita memandang perlawanan atau sebutan aktivis hanya untuk mereka yang berdemonstrasi di jalanan. Mungkin saja dengan segala kendala dan keterbatasan tidak bisa turun kejalan, setiap orang bisa menggunakan ponsel untuk bersuara salah satunya dengan menciptakan platform digital seperti yang di katakan Faldo Maldini seorang mantan aktivis kampus, Mantan Ketua BEM UI. Saat ini setiap orang dapat menggunakan gadgetnya untuk bisa mengkritik dan bersuara salah satunya dengan menggunakan platform digital dalam channel youtubenya.
Pertanyaan berikutnya, apakah mesti penindasan di lawan dengan tulisan? MESTI. Kita lihat kaca sejarah, bahwa Pulau Buru itu dulu banyak dihuni oleh tahanan politik yang aktif menulis dan dari tulisan itu berhasil membuat resah penguasa. Pram, dengan tubuh cungkringnya dikenal sangat sangar jari-jemarinya hingga dia disebut ancaman bagi generasi penerus. Hersri Setiawan yang menampilkan pementasan kebudayaan dengan balutan perlawanan dan hingga akhirnya memutuskan jarinya ikut berperan dalam perlawanan itu sendiri.
Untuk kita semua yang masih bisa berkemsempatan untuk bersuara dan mengkritik suatu rezim atau instansi yang menindas, banyak cara yang dapat kita lakukan. Jangan sempit dalam berpikir, semestinya kita dapat menghargai mereka yang aktif berkarya untuk melawan ketidakadilan walaupun hanya dengan puisi, bernyanyi namun bisa saja itu yang menjadi ancaman keras bagi mereka yang menindas.
Saya selalu salut kepada mereka yang memiliki keterbatasan waktu, keterbatasan sosial bahkan keterbatasan fisik tetap tetap mau berperan dalam melawan penindasan dan ketidakadilan. Mereka bukan hanya memikirkan diri mereka sendiri tetapi memikirkan kepentingan orang banyak, mimikirkan generasi penerus agar generasi penerus tidak merasakan penindasan yang sama seperti yang mereka rasakan.***
Penulis adalah Nazri Ahsani, aktivis mahasiswa dari Universitas Sumatera Utara
Esensi dari sebuah gerakan perlawanan mesti turun kejalan dan membentuk urat akar di leher? Jawabnya MESTI. Lalu apakah mesti jari-jari kita menari pada layar ponsel? Jawabnya MESTI.
Saya pikir dari dulu sampai dengan sekarang setiap orang punya cara untuk menyuarakan keadilan, dan selalu tidak monoton. Belakangan saya sering resah dengan sebutan aktivis ini. Ada orang yang mengaku sebagai aktivis tetapi aktivis yang ia maksud adalah sekumpulan orang yang bersuara dengan memakai atribut aksi atau demonstrasi dan turun ke jalanan. Tentunya jika kita menelisik atau melihat kaca sejarah yang dikatakan aktivis itu tidak hanya sekumpulan orang yang turun ke jalan. Banyak sejarah yang memperlihatkan setiap orang punya cara tersendiri dalam menggiring opini publik agar lahir sikap kritis. Bisa dengan turun ke jalan, bisa dengan menulis, berdiskusi.
Jika kita bercermin pada sejarah penjajah itu tak akan takluk jika saja H.O.S Tjokroaminoto tak membentuk suatu gerakan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda bersama rakyat melalui Serikat Islam (SI) hingga akhirnya perlawanan itu menjadi virus bagi muridnya untuk membangun gerakan perlawanan dengan masing-masing ideologinya untuk kemerdekaan Indonesia.
Tjokro selalu mengandalkan orasinya yang membakar semangat rakyat dan mempunyai strategi yang sangat baik agar mimpinya dan mimpi seluruh rakyat nusantara untuk meraih kemerdekaan dapat terwujud. Yaitu dengan cara mendidik pemuda dan menanamkan nilai moral perjuangan di dalam dada para muridnya. Sebut saja Soekarno dengan pemikiran nasionalisnya, Musso dengan pemikiran sosialis-marxisnya, Kartosoewirjo dengan pemikiran Islamnya. Semuanya merupakan aktivis yang melawan penindasan dan ketidakadilan pada masa kolonial.
Lalu mestikah jari-jemari menari di atas layar ponsel untuk melakukan perlawanan? Jangan sempit kita memandang perlawanan atau sebutan aktivis hanya untuk mereka yang berdemonstrasi di jalanan. Mungkin saja dengan segala kendala dan keterbatasan tidak bisa turun kejalan, setiap orang bisa menggunakan ponsel untuk bersuara salah satunya dengan menciptakan platform digital seperti yang di katakan Faldo Maldini seorang mantan aktivis kampus, Mantan Ketua BEM UI. Saat ini setiap orang dapat menggunakan gadgetnya untuk bisa mengkritik dan bersuara salah satunya dengan menggunakan platform digital dalam channel youtubenya.
Pertanyaan berikutnya, apakah mesti penindasan di lawan dengan tulisan? MESTI. Kita lihat kaca sejarah, bahwa Pulau Buru itu dulu banyak dihuni oleh tahanan politik yang aktif menulis dan dari tulisan itu berhasil membuat resah penguasa. Pram, dengan tubuh cungkringnya dikenal sangat sangar jari-jemarinya hingga dia disebut ancaman bagi generasi penerus. Hersri Setiawan yang menampilkan pementasan kebudayaan dengan balutan perlawanan dan hingga akhirnya memutuskan jarinya ikut berperan dalam perlawanan itu sendiri.
Untuk kita semua yang masih bisa berkemsempatan untuk bersuara dan mengkritik suatu rezim atau instansi yang menindas, banyak cara yang dapat kita lakukan. Jangan sempit dalam berpikir, semestinya kita dapat menghargai mereka yang aktif berkarya untuk melawan ketidakadilan walaupun hanya dengan puisi, bernyanyi namun bisa saja itu yang menjadi ancaman keras bagi mereka yang menindas.
Saya selalu salut kepada mereka yang memiliki keterbatasan waktu, keterbatasan sosial bahkan keterbatasan fisik tetap tetap mau berperan dalam melawan penindasan dan ketidakadilan. Mereka bukan hanya memikirkan diri mereka sendiri tetapi memikirkan kepentingan orang banyak, mimikirkan generasi penerus agar generasi penerus tidak merasakan penindasan yang sama seperti yang mereka rasakan.***
Penulis adalah Nazri Ahsani, aktivis mahasiswa dari Universitas Sumatera Utara
© Copyright 2024, All Rights Reserved