Babi tersebut menurut opini yang berkembang kala itu kerap muncul pada malam hari. Entah darimana cerita ini bermula dan siapa yang menyebarkan tak ada yang tahu. Tapi satu hal yang pasti cerita berbalut mistis ini begitu menyedot perhatian warga yang bermukim ditempat saya tinggal saat itu.
Obrolan ibu-ibu di warung, bincang-bincang emak-emak dirumah-rumah, sampai anak-anak kecil pun acapkali membicarakan kisah makhluk gaib ini.
Menurut tutur yang berkembang, babi ngepet adalah mahluk jadi-jadian. Dimana sebelumnya ia adalah seorang manusia yang kemudian merubah diri atau menjelma menjadi seekor babi.
Dipihak lain, ada orang yang menjaga sebatang lilin yang berada disuatu tempat tersembunyi. Orang yang menjaga lilin ini adalah kolega dari si babi jelmaan tadi. Tugas si penjaga lilin ini adalah untuk memastikan api pada lilin itu tidak padam. Jika itu terjadi, maka alamat sibabi siluman ini pertanda mendaparkan bahaya.
Mungkin saja si babi ditangkap massa atau apapun. Sebab sibabi punya pekerjaan mengambil harta benda orang lain didalam rumah secara ghaib melalui "ilmu hitam".
Ada atau tidaknya fakta mengenai babi ngepet dilingkungan tempat saya tinggal dulu itu, saya tak tahu pasti. Atau apakah cerita babi ngepet itu sendiri sebagaimana diyakini keberadaannya oleh banyak orang realitas ataukah mitos? Wallahu' alam.
Berpijak dari kasus diatas, saya mengutip sebuah pendapat ilmiah dari seorang sosiolog Dr. Imam B. Prasodjo. Pada sebuah artikel disalah satu majalah nasional.
Sosiolog kenamaan Indonesia ini yang kalau itu mengulas dari sisi akademis tentang fenomena "kuburan menangis" pada awal tahun 2000an silam di salah satu area perkuburan umum di Jakarta.
Saat itu (tulis majalah tersebut) kuburan yang diketahui tertanam jasad seorang siswi SMP itu, ada yang pernah mendengar suara seperti tangisan yang keluar dari makam tersebut. Sontak saja berita ini pun berkembang dengan cepat bak api yang disiram bensin.
Tak berapa lama, kuburan ini pun menjadi "sasaran" dari berbagai masyarakat yang datang karena penasaran mengenai berita itu. Mereka datang ada yang hanya untuk sekedar melihat kuburan yang dimaksud, atau ada juga yang menunggu -nunggu suara tangis muncul dari dalam makam.
Uniknya, bahkan sampai ada juga orang-orang yang menempelkan daun telinganya di atas tanah makam untuk memastikan atau mendengar secara langsung suara tangis ini.
Hanya hitungan hari saja, area pemakaman pun ramai dipadati masyarakat bak pasar malam. Konskuensinya, karena takut mengundang kericuhan dan keresahan, aparat kepolisian pun dengan sigap melarang pengunjung untuk memadati kuburan menangis tersebut.
Pendapat Imam B. Prasodjo tadi mengenai fenomena kuburan menangis ini berangkat dari sebuah fenomena yang disebut dalam bahasa sosiologi adalah eskapisme sosial.
Eskapisme sosial adalah suatu sikap hidup yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala kesulitan, terutama dalam menghadapi masalah yang seharusnya diselesaikan secara wajar (Wikipedia).
Ya, fenomena tersebut ungkap Imam bisa diindikasikan dari kondisi masyarakat yang mencoba mencari pelarian dari kesumpekan atau susahnya kehidupan.
Ekonomi yang mencekik leher, pengangguran dan kemiskinan adalah sebuah realitas yang dihadapi oleh masyarakat.
Untuk melepaskan semua itu masyarakat menjadikan hal-hal yang irasional seperti klenik, mistik, supranatural sebagai bahan konsumsi yang digandrungi.
Disisi lain, imbuh Sosiolog berkaca mata ini, penetrasi film-film dan sinetron berbau misteri turut andil dalam menumbuh suburkan fenomena ini.
Hal inilah yang mampu mengeksploitasi fikiran masyarakat hingga senang dengan hal-hal yang berbau non logis.
Kiranya, mungkin dapat dibenarkan atas pendapat Imam B. Prasodjo tadi, jika merujuk fenomena babi ngepet yang saya ceritakan diatas.
Dahulu memang lingkungan tempat saya bermukim bersama keluarga diliputi oleh kondisi sebahagian besar masyarakatnya berada digaris kemiskinan.
Pada momen itu, realitas ekonomi nasional pasca krisis ekonomi tahun 1997/1998 juga menjadi penyumbang terbesar kondisi ekonomi masyarakat yang mengalami keremukan secara nasional.
Ketika masyarakat minim harapannya untuk melihat peluang ekonomi kedepannya, maka tumbuh suburlah perjudian.
Kala itu jenis-jenis judi seperti judi tebak angka menjadi jalan yang banyak ditempuh oleh masyarakat untuk "mengundi nasib".
Lebih gawat lagi, demi bisa menang judi(khususnya judi tebak angka)maka segala praktek perdukunan pun tumbuh subur. Agar orang bisa menang judi
Tak sampai hanya ditingkat praktek perdukunan yang dicari-cari orang, bahkan orang gila pun ditanyai tentang tebak nomor tadi. Khususnya angka berapa yang akan keluar kelak.
"Kegilaan" masal masyarakat ini merupakan fenomena dari apa yang disebut Imam tadi yakni eskapisme sosiologis.
Barangkali bisa saja apa yang terjadi baru - baru ini di Dusun Jumala, Kec. Sumbul, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara merebak isu begu ganjang.
Dua rumah menjadi korban amukan massa karena si pemilik rumah disangka memelihara begu ganjang.
Begu ganjang adalah sebuah aktifitas supranatural menggunakan bantuan makhluk gaib menyeramkan yang dapat diperuntukan memperoleh kekayaan dan atau digunakan dalam mencelakai orang.
Bagi orang Batak, khususnya yang tinggal dipedesaan masih ada yang meyakini cerita ini.
Banyak kisah dari orang-orang tua Batak yang masih menyimpan cerita-cerita mengenai begu ganjang. Semuanya menceritakan tentang keseraman-keseramannya.
Fenomena begu ganjang ini barangkali tak jauh berbeda dengan cerita mengenai babi ngepet atau berita mengenai kuburan menangis yang saya ceritakan tadi.
Mungkin saja, sekali lagi mungkin saja, ini adalah gejala eskapisme sosiologis.
Mengingat faktanya keadaan kita sekarang khususnya dari sisi ekonomi sangat begitu sulit.
Pengangguran dan kemiskinan merebak seiring resesi ekonomi yang kian bergulir akibat pandemi Covid-19.
Masyarakat makin hari makin bingung dengan keadaan yang gawat ini. Solusi tak kunjung datang, sementara kebutuhan terus mencekik.
Pada titik itulah ketika kebohongan (hoax) melanda negeri ini, masyarakat pun turut terundang dan atau menjadi korban dari kabar atau berita yang tak jelas benar maupun sebaliknya.
Apalagi jika dibumbui atau dikemas kepada sesuatu yang berbau mistik, maka semakin cepatlah kabar atau berita itu berkembang.
Implikasinya, terjadilah "main hakim" sendiri. Pada perspektif itulah eskapisme sosiologis tadi berlaku.
*Advokat Pada Kantor Lembaga Bantuan Hukum Mitra Keadilan
© Copyright 2024, All Rights Reserved