Pengumuman 7 nama calon Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sumatera Utara periode 2023-2028 memunculkan pertanyaan dari kalangan akademisi.
Sebab, dari 7 nama yang diumumkan lulus uji kepatutan dan kelayakan, tidak ada 1 pun perwakilan perempuan.
“Padahal pada masa pendaftaran kemarin, tim seleksi sempat memperpanjang masa pendaftaran karena kuota perempuan belum mencapai 30 persen,” kata Sekretaris Program Magister Ilmu Politik, FISIP USU, Dr Bengkel Ginting, Senin (17/7/2023).
Menurut Bengkel, keterwakilan perempuan menjadi salah satu bagian dari upaya mendukung semangat kesetaraan gender di bidang politik. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aturan termasuk soal pencalonan legislatif partai politik yang mengatur 30 persen bakal calon harus ditempati oleh perempuan. Dan kondisi ini menunjukkan semakin rendahnya kualitas demokrasi.
“Tampaknya penyelenggara akan semakin tak berdaya dari intervensi partai politik. Makin diragukan kualitas pemilu dari indikator penyelenggara yang partisan. Ini juga nantinya akan diperparak sikap voter yang cenderung transaksional akibat calon yang pragmatis. Kata Steven Levinsky, inilah pertanda demokrasi mati,” ujar Bengkel.
Indikasi matinya demokrasi ini menurut Bengkel sudah terjadi sejak rekrutmen tim seleksi KPU dan Bawaslu yang tidak lagi terbuka seperti pemilu sebelumnya. Hal ini mengindikasikan intervensi sangat kuat dari pihak-pihak yang berkepentingan langsung dengan penyelenggaraan pemilu.
“Kalau rekrutmen voting di parlemen, hutang budi akan menjadi bola salju kebawah. Thaun ini, terlihat dari intervensi parpol mulai dari rekrutmen timsel yang tidak terbuka lagi,” demikian Bengkel Ginting.
© Copyright 2024, All Rights Reserved