Pertimbangan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara dianggap tidak dilandasi pada sejarah yang benar.
"Kelihatannya tim peneliti dan penasihat Presiden dalam menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kurang mengetahui sejarah perjuangan sebenarnya. Atau mungkin para penasihatnya bukan sejarawan atau peneliti sejarah," kata Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS), Batara R. Hutagalung dalam keterangannya, Jumat (4/3).
Dalam menyampaikan pertimbangan, Batara memandang para penasihat Presiden Joko Widodo juga tidak mengetahui hukum internasional mengenai keabsahan Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Batara mengurai, peristiwa 17 Agustus 1945 terjadi di masa agresi militer Belanda kedua, yang dimulai tanggal 19 Desember 1948.
Dengan mengerahkan pasukan terbesar setelah Perang Dunia II, Belanda bermaksud menghancurkan NKRI dan TNI serta menghapus negara Indonesia dari peta politik dunia untuk kembali berkuasa.
"Apabila pada waktu itu TNI bersama rakyat Indonesia tidak berhasil mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda, maka negara dan bangsa Indonesia lenyap dari peta politik dunia," urainya.
"Demikianlah pentingnya peristiwa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia," imbuhnya.
Di masa agresi militer Belanda tersebut, kata Batara, peristiwa yang kemudian dikenal sebagai “Serangan Umum 1 Maret 1949” adalah peristiwa penting untuk menunjukkan eksistensi negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke dunia internasional.
Operasi militer itu dalam rangka memperkuat posisi delegasi Republik Indonesia dalam Sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Placid, Amerika Serikat yang akan diselenggarakan pada 10 Maret 1949.
"Serangan terhadap ibukota Yogyakarta oleh penggagasnya dinamakan sebagai 'serangan spektakuler'," katanya.
Batara melanjutkan, serangan terhadap Yogyakarta tersebut adalah bagian dari serangan secara besar-besaran yang dilakukan oleh Divisi I, II, III dan IV di seluruh pulau Jawa.
"Perintah tertinggi datang dari Panglima Besar Letjen Sudirman," tegasnya.
Rincian pelaksanaan operasi militer dibahas pimpinan tertinggi militer dan sipil (Gubernur sipil, residen dan bupati). Di Divisi III yang membawahi Yogyakarta, operasi militer diputuskan pada 18 Februari 1949, dan menggerakkan seluruh Wehrkreis (wilayah pertahanan). Wehrkreis I di bawah Letkol Bahrum, Wehkreis II di bawah Letkol Sarbini Martoatmojo dan Wehrkreis III di bawah Letkol. Suharto.
Ia berujar, peristiwa SU 1 Maret 1949 itu sudah cukup banyak ditulis oleh pelaku-pelaku peristiwa tersebut sejak puluhan tahun namun tidak mendapat tanggapan yang sungguh-sungguh. Hal ini mengakibatkan generasi muda tidak lagi mengetahui sejarah perjuangan yang sebenarnya.
"Ada beberapa kesalahan dalam pertimbangan yang digunakan untuk menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara," cetusnya.
“Bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 upaya bangsa Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari dunia internasional mendapat perlawanan dari Belanda dengan melakukan agresi militer dan propaganda politik di PBB,” sambungnya.
Atas dasar itu, Batara memberikan koreksi. Versi penjajah, kata dia, yang menyatakan kemerdekaan suatu negara jajahan memerlukan pengakuan dari negara lain. Bahkan harus mendapat persetujuan dari penjajah. Pendapat penjajah ini sangat salah dan menyesatkan.
"Harus dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia, bahwa berdirinya suatu negara, termasuk berdirinya negara Republik Indonesia, tidak memerlukan pengakuan dari siapa pun," tuturnya.
"Ini sesuai dengan konvensi Montevideo, 26 Desember 1933," demikian Batara.
© Copyright 2024, All Rights Reserved