Kelompok masyarakat yang mengklaim hak ulayat atas lahan di Desa Pardamean Sibisa, Kecamatan Ajibata menolak tawaran dari pihak Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) untuk membongkar bangunan mereka dengan ganti rugi sebesar RP 5 hingga Rp 20 juta. Permintaan membongkar ini sendiri dilakukan oleh pihak BPODT dengan alasan bangunan-bangunan warga tersebut berada pada areal yang masuk dalam Zona Otorita Toba yang mereka kelola atas sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diterbitkan oleh Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) kepada BOPDT seluas 279 Ha. Penolakan ini disampaikan oleh kelompok Mangatas Butarbutar Cs dalam pertemuan yang berlangsung antara mereka dengan pihak BPODT dan juga pihak Pemkab Toba, Rabu (26/8). “Tuntutan yang kami harapkan, kalau memang ini mau digunakan, bagaimana pemerintah menyelesaikannya. Kalau sesuai dokumen Amdal, disitu diperintahkan ganti untung, apabila masyarakat terdampak dan diberikan kompensasi yang layak,” ujarnya. Sekda Kabupaten Toba, Audi Murphy Sitorus yang hadir dalam pertemuan tersebut beberapa kali terlihat ikut memberikan penjelasan mengenai persoalan yang ada dan solusinya. Namun pada akhirnya, pertemuan tetap tidak membuahkan kesepakatan. “Pemilik rumah (bangunan) tanpa izin, tidak bersedia mebongkar sendiri bangunannya. Walaupun sudah ditawarkan oleh BPODT,” ujar Sekretaris Daerah Kabupaten Toba Audy Murphy Sitorus. Pemkab Toba menurutnya akan terus melakukan komunikasi dengan masyarakat. Supaya pembangunan di lahan itu bisa terus dilanjutkan. Audy pun mengatakan jika kelompok Mangatas Butarbutar bukan merupakan masyarakat yang tinggal di Pardamean Sibisa. Lahan itu, kata Audy sudah diserahkan ke Jawatan Kehutanan (kini KLHK) pada 1952 lalu. “Prinsipnya pembangunan ini untuk kesejahteraan masyarakat,” ujar Audy.[R]
Kelompok masyarakat yang mengklaim hak ulayat atas lahan di Desa Pardamean Sibisa, Kecamatan Ajibata menolak tawaran dari pihak Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) untuk membongkar bangunan mereka dengan ganti rugi sebesar RP 5 hingga Rp 20 juta. Permintaan membongkar ini sendiri dilakukan oleh pihak BPODT dengan alasan bangunan-bangunan warga tersebut berada pada areal yang masuk dalam Zona Otorita Toba yang mereka kelola atas sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diterbitkan oleh Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) kepada BOPDT seluas 279 Ha. Penolakan ini disampaikan oleh kelompok Mangatas Butarbutar Cs dalam pertemuan yang berlangsung antara mereka dengan pihak BPODT dan juga pihak Pemkab Toba, Rabu (26/8). “Tuntutan yang kami harapkan, kalau memang ini mau digunakan, bagaimana pemerintah menyelesaikannya. Kalau sesuai dokumen Amdal, disitu diperintahkan ganti untung, apabila masyarakat terdampak dan diberikan kompensasi yang layak,” ujarnya. Sekda Kabupaten Toba, Audi Murphy Sitorus yang hadir dalam pertemuan tersebut beberapa kali terlihat ikut memberikan penjelasan mengenai persoalan yang ada dan solusinya. Namun pada akhirnya, pertemuan tetap tidak membuahkan kesepakatan. “Pemilik rumah (bangunan) tanpa izin, tidak bersedia mebongkar sendiri bangunannya. Walaupun sudah ditawarkan oleh BPODT,” ujar Sekretaris Daerah Kabupaten Toba Audy Murphy Sitorus. Pemkab Toba menurutnya akan terus melakukan komunikasi dengan masyarakat. Supaya pembangunan di lahan itu bisa terus dilanjutkan. Audy pun mengatakan jika kelompok Mangatas Butarbutar bukan merupakan masyarakat yang tinggal di Pardamean Sibisa. Lahan itu, kata Audy sudah diserahkan ke Jawatan Kehutanan (kini KLHK) pada 1952 lalu. “Prinsipnya pembangunan ini untuk kesejahteraan masyarakat,” ujar Audy.© Copyright 2024, All Rights Reserved