(Bagian Akhir)
Ada dua pertimbangan yang mendasari sikap di suara sumbang itu.
Pertama, menganggap opini publik dan alasan-alasan yang menjadi tuntutan sembilan orang calon komisioner itu adalah riak-riak kecil saja. Sikap protes seperti itu sudah menjadi hal biasa yang muncul dari orang yang kalah (pecundang).
Coba kita dalami argumentasinya. Sikap protes yang disuarakan calon komisioner “kalah” itu mengacu pada alasan-alasan yang sahih. Apalagi kalau dibilang bahwa sikap seperti itu merupakan konsekuensi dari sebuah ujian atau pertarungan. Kami menilai, problemnya bukanlah menang-kalah. Dan, berkali-kali kami sampaikan, kami tidak keberatan dengan nama-nama yang “dimenangkan“ itu.
Saya kira, suara sumbang itu tidak logis dan tidak cermat. Lebih pas dianggap sebagai ejekan sinis tanpa argumentasi. Latah!
Bisa saja, asumsi itu menjadi pijakan sikap mereka. Mari kita hitung secara detail (rinci). Sudah jelas, kami tidak mendapatkan perlakuan yang semestinya dalam seleksi itu. Kami merasa, belum mendapatkan hak. Semestinya ada penilain dari 1) uji publik dan 2) fit and proper test (UP-FPT).
Makanya, kami pun tidak bisa menolak tudingan bahwa mereka yang angkat bicara di media mendesak Gubsu itu adalah narasumber asbun, bicara sesuai pesanan atau kepentingan lain.
Kedua, mereka menyusun asumsi bahwa pelantikan tujuh orang "calon terpilih" itu sudah mendesak karena pertimbangan kekosongan atau kefakuman KPID Sumut saat ini.
Poin kedua ini pun bisa menyesatkan. Mustahil ada pelantikan tanpa surat rekomendasi (tanda tangan) dari Ketua DPRD Sumut. Tak mungkin ada pelantikan tanpa SK pengangkatan dari Gubsu.
Terdesak, Terjebak
Kalaulah hanya kedua hal itu yang menjadi alasannya, lalu Gubsu terdesak untuk mengeluarkan SK pengangkatan dan segera melantiknya, maka seleksi KPID ini juga bakal menjebak Gubsu untuk:
1) Mengabaikan fakta hukum tentang surat keterangan yang ditandatangani Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara (Sekdaprovsu) atas nama Gubsu sebagai SK perpanjangan masa kerja resmi tiga orang Komisioner KPID yang ada saat ini.
Setidaknya, Gubsu harus mengeluarkan keterangan resmi untuk mengklarifikasi keberadaan SK "bodong" Komisioner saat ini. Semestinya, diluruskan dan tidak lagi menjadi bahan omongan yang tidak produktif.
2) Membiarikan Komisi A DPRD Sumut melaksanakan seleksi yang tidak sesuai dengan peraturan terkait yang berlaku.
Toh, Gubsu pun pada akhirnya bertanggungjawab juga atas kinerja dan produktifitas KPID Sumut
Jangan Ceroboh!
Kembali ke soal untung-rugi tadi. Jadi, pihak yang masih mau mendesak Gubsu melantik “komisioner baru”, seharus dapat memahami problemtikanya secara utuh. Jangan bersikap gegabah. Jangan ceroboh! Apalagi kalau alasannya hanya karena kepentingan personal salah seorang calon yang sudah disebut "terpilih" itu.
Begitupun dengan argumentasi yang menyebut bahwa sebagai bagian dari lembaga politik, Komisi A DPRD Sumut bisa saja mempertahankan hasil plenonya. Anggap saja seleksi yang sudah berlangsung di Komisi A beberapa waktu lalu itu bersifat legal.
Bisa saja, Komisi A menyebutkan, karena termasuk lembaga politik, publik dan calon komisioner tidak perlu mempertanyakan metode dan kriteria penilaian dalam menentukan siapa yang paling layak (fit) dan siapa yang paling patut (proper).
Dan, karena alasan lembaga politik itu, semua unsur fraksi di Komisi A punya kepentingan tersendiri dan sudah terakomodir.
Sesat Pikir
Penalaran itu tidak benar. Atau, kalau boleh dibilang, itu termasuk kategori sesat pikir. Banyak buktinya, antara lain:
1) Beberapa saat sebelum dan setelah ketuk palu di dini hari (21/1/2021) itu, dua Anggota Komisi A sempat interupsi (protes) hingga sidang berakhir ricuh;
2) Tidak lama setelah ketuk palu Komisi A, Fraksi PDIP justru menyurati Ketua DPRD Sumut untuk menyatakan penolakan. Fraksi terbesar di DPRD Sumut itu tidak bersedia menerima hasil pleno Komisi A.
3) Ketua DPRD Sumut pun, saat itu, belum menerima dokumen apa pun dari Komisi A dan berjanji tidak akan menandatangani surat rekomendasi pengangkatan “calon terpilih”.
Mengapa Fraksi PDIP menolak? Besar kemungkinan, karena kepentingan fraksi itu sesungguhnya belum disahuti. Fraksi PDIP mungkin saja tidak memberikan legitimasi atas metode dan kriteria penilaian yang tidak jelas, mekanisme sidang yang ricuh (kacau) dan memunculkan dugaan buruk: ada “tarian seksi” dalam seleksi itu.
Makanya, kita persingkat saja telaah ini. Bahwa "kocok ulang" adalah pilihan sikap paling bijak. Bukan saja lebih menguntungkan bagi salah satu pihak. Tapi juga bisa bersifat win win solution. Semua pihak sama-sama diuntungkan.
Bagi Komisi A, memang “kocok ulang” bisa jadi “pil pahit”. Tapi, sebagai politisi ulung dan unggul, anggota Komisi A bisa menimbang kembali, mengambil sikap terbaik dan menyetujui kocok ulang. Prosedur seleksi harus diluruskan. Kocok ulang akan membuktikan bahwa politisi di Komisi A adalah orang yang siap dikoreksi, siap memperbaiki dan siap membuat KPID Sumut menjadi lebih kuat.
Selanjutnya, buat semua calon komisioner, termasuk yang sempat disebut-sebut sebagai ‘calon terpilih’, kocok ulang itu menjadi kesempatan emas untuk mengikuti seleksi dengan persiapan lebih matang. Kocok ulang adalah peluang untuk menerapkan metode, kriteria penilaian, nilai dan skoring yang lebih baik.
Kocok ulang bukan tabu. Biarkan kocok ulang menjadi sinyalemen kuat yang menunjukkan adanya tekad yang cukup untuk menciptakan suasana win win solution.
Jika masih ada argumentasi lain untuk sikap dan kebijakan yang berbeda, silahkan bikin paparannya sebelum kita sudahi polemik ini. Kalau masih berlarut-larut, semakin lama masalah ini semakin kusut dan jelas-jelas merugikan semua pihak.
*Penulis Adalah Anggota DPRD Mandailing Natal Periode 2014-2019 dan Calon Anggota KPID Sumut Periode 2021-2024
© Copyright 2024, All Rights Reserved