Dari berita-berita yang disiarkan oleh media mengenai Unjukrasa (Unras) Kelompok Tani Berjuang Murni Marendal I (KTBMM-1) beberapa hari lalu, yang menentang rencana Pemprovsu membangun sebuah Taman Botani, beberapa hal dapat dicatat sebagai berikut: Pertama, unras ini dilaksanakan oleh KTBMM-1 di dua tempat. Pertama, Kantor Wilayah Agraria Tata Ruang (ATR/BPN) Sumut. Kedua DPRDSU. Kedua, materi eksplisit tuntutan unras adalah menolak pembangunan taman Botani di lahan eks HGU PTPN 2 Desa Marendal 1 Kabupaten Deli Serdang sekira 200 Ha karena beberapa alasan: (1) Rencana pembangunan Taman Botani tidak pernah diusulkan Gubsu dan peruntukan Taman Botani tidak masuk matriks Tim B Plus. (2) Unras mengklaim tanah itu untuk rakyat, bukan untuk dijadikan Taman Botani. (3) Unras menilai tanah itu sebaiknya disertifikasi oleh BPN untuk 800 KK warga yang telahmendiaminya sejak 15 tahun lalu. (4) Unras mengklaim di lokasi itu telah berdiri fasilitas umum, fasilitas sosial, gereja, masjid, sekolah, rumah penduduk bahkan panti asuhan. Ketiga, Areal yang akan dijadikan sebagai lahan untuk pembangunan taman botani oleh pemprovsu ini adalah sebagian (200 ha) dari 423,73 Ha lahan dari total 5.873,06 Ha eks HGU PTPN 2 yang status HGU-nya tidak lagi diperpanjang. Keempat, Unras menyebut dua tahun Pansus Tanah DPRD Sumut dibentuk namun tak menghasilkan apa-apa (Sebelumnya ada Tim B plus bentukan Pemprovsu semasa Gubernur Rizal Nurdin). Kedua bentuk usaha dan kelembagaan resmi itu berjalan tidak efektif. (5) Unras memberi perbandingan atas program Pemprovsu yang secara langsung terkait dengan lahan eks HGU PTPN 2 dengan menyebut bahwa Pemprovsu sudah pernah membayar ganti rugi atas 50 ha lahan eks HGU PTPN 2 senilai Rp. 31,5 untuk pembangunan Islamic Centre di Desa Kasa Kab Deli Serdang. (6) Anggota DPRDSU yang menerima unras terdiri dari partai yang berbeda: Jonius TP Hutabarat (Perindo), Rusdi Lubis (Hanura), Meryl Rouli br Saragih (PDIP), Abdul Rahim Siregar (PKS) dan Rahmansyah Sibarani (NasDem). Kelima legislator pun sepakat menggelar RDP. Abdul Rahim Siregar berjanji untuk memastikan tidak ada penggusuran lahan dan rumah masyarakat dalam setiap proses pembangunan. Jonius Taripar Hutabarat mengungkapkan Komisi A telah mempertanyakan persoalan ini kepada sejumlah pihak terkait seperti Kementerian ATR/BPN, dan pihak lainnya. Wakil Ketua DPRD Sumut Rahmansyah Sibarani memuji almarhum Rizal Nurdin yang pernah menjadi Gubsu saat proses reformasi 1998. Kata Rahmansyah, saat itu Gubsu Rizal Nurdin memastikan warga bisa bermukim di Desa Marendal I seluas sekitar 200 ha. Semua anggota DPRD Sumut yang menerima unras berjanji akan memperjuangkan aspirasi Desa Marendal I dan akan memanggil sejumlah pihak yang terkait dengan upaya penggusuran lahan Desa Marendal I untuk proyek Taman Botani itu. KOMENTAR Pertama, salah satu konflik pertanahan yang paling besar di Sumatera Utara ialah eks HGU. Ini sudah cukup larut karena: (1) Berbagai kepentingan elit dan dunia usaha bermain karena tanah adalah aset penting. Di berbagai kota di dunia terdapat bandara di tengah kota. Tetapi beberapa tahun lalu bandara Polonia dipindahkan karena alasan rawan kecelakaan berhubung pemukiman penduduk merambah ke dekat bandara dan berbagai alasan artifisial lainnya. Tetapi sekarang scenario sudah diketahui dengan jelas siapa penguasa lahan di sekitar eks bandara Polonia dan siapa penguasa lahan di sekitar bandara baru Kualanamu. Paradoksnya, rakyat yang mendiami lahan di sekitar bandara Polonia (kawasan Karangsari) tetap tak dilayani untuk sertifikasi kepemilikan, sedangkan lahan-lahan yang berdekatan dengan hidung pesawat yang parkir (CBD) secepat kilat beroleh sertifikat. Konflik TNI-AU denganrakyat telah berulangkali terjadi yang untuk kasus terakhir telah disisipkan dalam doa politik di Gedung DPR oleh salah seorang anggota DPR-RI dapil Sumut 1 ketika acara kenegaraan. (2) Perebutan lahan di eks HGU akan selalu menampakkan sisi sejarah pemerintahan dan transisi yang tak mulus antara pemerintahan kerajaan-kerjaan di sekitar Sumatera Timur dengan pemerintahan Republik yang terbentuk 18 Agustus 1935. Edy Rahmayadi dalam pidato perdananya di hadapan sidang paripurna DPRD Sumut secara khusus menyampaikan mengembalikan Sumut sebagai lumbung agraria. Soal penyelesaian kasus-kasus tanah di Sumut, khususnya areal bekas Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II seluas 5.873 hektar yang tak kunjung selesai meski sudah beberapa kali gubernurnya berganti. Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut, ada 49 kasus agraria di Sumut, paling banyak menyangkut eks HGU PTPN II. Lembaga ini menantang Edy untuk menuntaskan dan memberantas konflik yang bermunculan. (3) Klaim-klaim beberapa kedatoan tertentu dan pewarisnya misalnya, tetap memiliki dasar hukum yang yang sekarang kerap semakin kabur; mana milik kedatoan ini dan mana milik pihak lain terus menjadi sengketa. (4) Jika terkesan seakan sengaja dibiarkan itu menandakan ketidak-jelasan kapasitas pemegang otoritas hukum dan politik yang membuatnya menjadi sangat rumit. Kelihatamnya apa pun kata daerah tetap Jakarta (Menteri BUMN) yang menentukan. Dari dulu kalau pun disebut secara vulgar ada mafia atau bandit tanah, rasanya sukar dibantah perannya dalam kompleksitas pertanahan eks HGU ini. Umumnya kelompok-kelompok lainnya yang dapat disebut sebagai kelompok pemburu tanah bisa tumbuh subur karena kadar supremasi yang nyaris kevakuman hukum dan lemahnya political will. Konflik pertanahan yang berlangsung lama dan belarut-larut pada lahan eks HGU PTPN II menunjukkan bahwa dalam melaksanakan kewenangannya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terganjal oleh isi diktum dari SK BPN Nomor 42,43,43/2002 dan No. 10/204 yang memuat kalimat: “menyerahkan Pengaturan, Penguasaan, Pemilikan, Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah tersebut kepada Gubernur Sumatera Utara. Untuk selanjutnya diproses sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, setelah memperoleh ijin dari Menteri”. Kerumitan permasalahan karena ijin tidak terbit dan upaya untuk mencari solusi masih terus dilakukan termasuk dengan pemerintah pusat yaitu kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian BUMN. Berdasarkan fakta di lapangan, banyak kelompok masyarakat baik penuntut maupun pemohon juga perusahaan swasta yang saat ini menguasai lahan eks HGU PTPN II. Kedua, karena kelompok pengunjuk rasa sadar bahwa lahan itu bukan milik mereka namun tetap berharap bisa dikukuhkan sebagai pemilik dengan sertifikat dari BPN, peluang penyelesaian sangat potensil. Ketiga, karena kelompok pengunjuk rasa juga tahu fakta bahwa kasus yang mirip permah diselesaikan dengan pemberian ganti rugi meski nilai ketidak-puasan mengemuka, maka tentu saja fakta ini menambah optimisme pentlesaian damai. Keempat, Pemprovsu dengan partnernya DPRDSU sudah sangat perlu sekali duduk bersama untuk mengevaluasi existing condition termasuk faktor keberhasilan dan kegagalan usaha selama ini termasuk apa yang disebut Tim B Plus itu. Kelima, pengunjuk rasa juga tahu proses pemindahtanganan hak atas tanah eks HGU bagi peruntukan lahan pembangunan Islamic Centre. Keenam, akan halnya prosedur perencanaan tentu dapat segera dibahas bahkan tak hanya antara eksekutif dan legislatif, para ahli dan berbagai lapisan rakyat termasuk wakil-wakil pengunjuk rasa ini. Ketujuh, kewenangan tertinggi dalam pemutusan ada pada menteri BUMN, karena itu harus jadi prioritas agar konflik berangsur reda dan kenikmatan dalam bernegara dapat dicapai. KESIMPULAN Pertama, paradoks pertanahan di Indonesia. Inilah salah satu paradoks Indonesia. Jokowi sangat gairah membagi-bagi seŕifikat tanah, namun tak pernah berani menggubris dominasi elit yang menurut Yusril Ihza Mahendra jumlahnya hanya sekitar 0,2 persen tetapi menguasai 74 persen dari total lahan yang ada. Kedua, Pembangunan Taman Botani. Pembangunan Taman Botani yang direncanakan Pemprovsu tetap penting sebagai sarana pendidikan dan rekreasional masyarakat yang nanti dapat sekaligus menjadi salah satu andalan dalam bidang kepariwisataan. Taman Botani atau yang di Indonesia juga lazim disebut Kebun Raya adalah kebun atau taman yang didedikasikan untuk koleksi, budidaya penanaman, pelestarian, dan pameran sekaligus untuk berbagai kenis tanaman. Penamaan atas taman botani bisa mengacu kepada kekhasan budidaya, misalnya taman bitani kaktus, herbal, dan lain sebagainya. Secara teknis di dalamnya mungkin ada fasilitas rumah kaca, rumah teduh dan lain-lain yang layananannya bagi pengunjung didedikasikan untuk berbagai kegiatan pameran pendidikan, pameran seni, ruang buku, dan bahkan juga bisa digabungkan dengan pertunjukan teater dan musik terbuka serta hiburan lainnya. Taman botani kini tidak lagi hanya dikeloka oleh universitas atau organisasi penelitian ilmiah lainnya yang umumnya sering dikaitkan dengan kekayaan, pengembangan, pelestarian dan perlindungan herbaria dan program penelitian dalam taksonomi tanaman atau beberapa aspek lain dari ilmu botani. Namun apa pun itu, pada prinsipnya peran mereka adalah memelihara koleksi tanaman hidup yang terdokumentasi untuk keperluan penelitian ilmiah, konservasi, pameran, dan pendidikan, meskipun ini akan tergantung pada sumber daya yang tersedia dan minat khusus yang dikejar di setiap taman tertentu. Kisah taman botani berawal pada atensi para ahli pada fakultas kedokteran masa Renaissance Italia abad ke-16. Perhatian awal dengan tanaman obat berubah pada abad ke-17 menjadi minat impor tanaman baru dari eksplorasi di luar Eropa karena botani secara bertahap membangun kemandiriannya dari pengobatan. Namun kisah lebih awal ada pada cikalbakal yang kini diabadikan dalam sejarah. Bahwa salah satu di antara yang tertua misalnya adalah Orto Botanico di Pisa yang dioperasikan oleh University of Pisa. Ini tercatat sebagai taman botani universitas pertama di Eropa yang konon didirikan pada 1544 di bawah ahli botani Luca Ghini. Satu hal mesti dicatat bahwa dengan dengan meningkatnya imperialisme Eropa pada akhir abad ke-18, kebun botani pun banyak didirikan di daerah-daerah tropis, dan botani ekonomi menjadi fokus dengan hub di Royal Botanic Gardens, Kew, dekat kota London. Hal lain mesti diingat bahwa sudah cukup lama kebun botani sebagai organisasi budaya dan ilmiah memberi tanggapan atas minat botani dan hortikultura dan saat ini sebagian besar taman botani menampilkan campuran tema yang lebih jamak: memiliki hubungan yang kuat dengan masyarakat umum, ada kesempatan untuk memberikan kekayaan informasi kepada pengunjung yang berkaitan dengan masalah lingkungan yang dihadapi pada awal abad ke-21, terutama yang berkaitan dengan konservasi dan kelestarian tanaman. Shohibul Anshor Siregar Pengamat Sosial Politik Sumatera Utara
Dari berita-berita yang disiarkan oleh media mengenai Unjukrasa (Unras) Kelompok Tani Berjuang Murni Marendal I (KTBMM-1) beberapa hari lalu, yang menentang rencana Pemprovsu membangun sebuah Taman Botani, beberapa hal dapat dicatat sebagai berikut: Pertama, unras ini dilaksanakan oleh KTBMM-1 di dua tempat. Pertama, Kantor Wilayah Agraria Tata Ruang (ATR/BPN) Sumut. Kedua DPRDSU. Kedua, materi eksplisit tuntutan unras adalah menolak pembangunan taman Botani di lahan eks HGU PTPN 2 Desa Marendal 1 Kabupaten Deli Serdang sekira 200 Ha karena beberapa alasan: (1) Rencana pembangunan Taman Botani tidak pernah diusulkan Gubsu dan peruntukan Taman Botani tidak masuk matriks Tim B Plus. (2) Unras mengklaim tanah itu untuk rakyat, bukan untuk dijadikan Taman Botani. (3) Unras menilai tanah itu sebaiknya disertifikasi oleh BPN untuk 800 KK warga yang telahmendiaminya sejak 15 tahun lalu. (4) Unras mengklaim di lokasi itu telah berdiri fasilitas umum, fasilitas sosial, gereja, masjid, sekolah, rumah penduduk bahkan panti asuhan. Ketiga, Areal yang akan dijadikan sebagai lahan untuk pembangunan taman botani oleh pemprovsu ini adalah sebagian (200 ha) dari 423,73 Ha lahan dari total 5.873,06 Ha eks HGU PTPN 2 yang status HGU-nya tidak lagi diperpanjang. Keempat, Unras menyebut dua tahun Pansus Tanah DPRD Sumut dibentuk namun tak menghasilkan apa-apa (Sebelumnya ada Tim B plus bentukan Pemprovsu semasa Gubernur Rizal Nurdin). Kedua bentuk usaha dan kelembagaan resmi itu berjalan tidak efektif. (5) Unras memberi perbandingan atas program Pemprovsu yang secara langsung terkait dengan lahan eks HGU PTPN 2 dengan menyebut bahwa Pemprovsu sudah pernah membayar ganti rugi atas 50 ha lahan eks HGU PTPN 2 senilai Rp. 31,5 untuk pembangunan Islamic Centre di Desa Kasa Kab Deli Serdang. (6) Anggota DPRDSU yang menerima unras terdiri dari partai yang berbeda: Jonius TP Hutabarat (Perindo), Rusdi Lubis (Hanura), Meryl Rouli br Saragih (PDIP), Abdul Rahim Siregar (PKS) dan Rahmansyah Sibarani (NasDem). Kelima legislator pun sepakat menggelar RDP. Abdul Rahim Siregar berjanji untuk memastikan tidak ada penggusuran lahan dan rumah masyarakat dalam setiap proses pembangunan. Jonius Taripar Hutabarat mengungkapkan Komisi A telah mempertanyakan persoalan ini kepada sejumlah pihak terkait seperti Kementerian ATR/BPN, dan pihak lainnya. Wakil Ketua DPRD Sumut Rahmansyah Sibarani memuji almarhum Rizal Nurdin yang pernah menjadi Gubsu saat proses reformasi 1998. Kata Rahmansyah, saat itu Gubsu Rizal Nurdin memastikan warga bisa bermukim di Desa Marendal I seluas sekitar 200 ha. Semua anggota DPRD Sumut yang menerima unras berjanji akan memperjuangkan aspirasi Desa Marendal I dan akan memanggil sejumlah pihak yang terkait dengan upaya penggusuran lahan Desa Marendal I untuk proyek Taman Botani itu. KOMENTAR Pertama, salah satu konflik pertanahan yang paling besar di Sumatera Utara ialah eks HGU. Ini sudah cukup larut karena: (1) Berbagai kepentingan elit dan dunia usaha bermain karena tanah adalah aset penting. Di berbagai kota di dunia terdapat bandara di tengah kota. Tetapi beberapa tahun lalu bandara Polonia dipindahkan karena alasan rawan kecelakaan berhubung pemukiman penduduk merambah ke dekat bandara dan berbagai alasan artifisial lainnya. Tetapi sekarang scenario sudah diketahui dengan jelas siapa penguasa lahan di sekitar eks bandara Polonia dan siapa penguasa lahan di sekitar bandara baru Kualanamu. Paradoksnya, rakyat yang mendiami lahan di sekitar bandara Polonia (kawasan Karangsari) tetap tak dilayani untuk sertifikasi kepemilikan, sedangkan lahan-lahan yang berdekatan dengan hidung pesawat yang parkir (CBD) secepat kilat beroleh sertifikat. Konflik TNI-AU denganrakyat telah berulangkali terjadi yang untuk kasus terakhir telah disisipkan dalam doa politik di Gedung DPR oleh salah seorang anggota DPR-RI dapil Sumut 1 ketika acara kenegaraan. (2) Perebutan lahan di eks HGU akan selalu menampakkan sisi sejarah pemerintahan dan transisi yang tak mulus antara pemerintahan kerajaan-kerjaan di sekitar Sumatera Timur dengan pemerintahan Republik yang terbentuk 18 Agustus 1935. Edy Rahmayadi dalam pidato perdananya di hadapan sidang paripurna DPRD Sumut secara khusus menyampaikan mengembalikan Sumut sebagai lumbung agraria. Soal penyelesaian kasus-kasus tanah di Sumut, khususnya areal bekas Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II seluas 5.873 hektar yang tak kunjung selesai meski sudah beberapa kali gubernurnya berganti. Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut, ada 49 kasus agraria di Sumut, paling banyak menyangkut eks HGU PTPN II. Lembaga ini menantang Edy untuk menuntaskan dan memberantas konflik yang bermunculan. (3) Klaim-klaim beberapa kedatoan tertentu dan pewarisnya misalnya, tetap memiliki dasar hukum yang yang sekarang kerap semakin kabur; mana milik kedatoan ini dan mana milik pihak lain terus menjadi sengketa. (4) Jika terkesan seakan sengaja dibiarkan itu menandakan ketidak-jelasan kapasitas pemegang otoritas hukum dan politik yang membuatnya menjadi sangat rumit. Kelihatamnya apa pun kata daerah tetap Jakarta (Menteri BUMN) yang menentukan. Dari dulu kalau pun disebut secara vulgar ada mafia atau bandit tanah, rasanya sukar dibantah perannya dalam kompleksitas pertanahan eks HGU ini. Umumnya kelompok-kelompok lainnya yang dapat disebut sebagai kelompok pemburu tanah bisa tumbuh subur karena kadar supremasi yang nyaris kevakuman hukum dan lemahnya political will. Konflik pertanahan yang berlangsung lama dan belarut-larut pada lahan eks HGU PTPN II menunjukkan bahwa dalam melaksanakan kewenangannya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terganjal oleh isi diktum dari SK BPN Nomor 42,43,43/2002 dan No. 10/204 yang memuat kalimat: “menyerahkan Pengaturan, Penguasaan, Pemilikan, Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah tersebut kepada Gubernur Sumatera Utara. Untuk selanjutnya diproses sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, setelah memperoleh ijin dari Menteri”. Kerumitan permasalahan karena ijin tidak terbit dan upaya untuk mencari solusi masih terus dilakukan termasuk dengan pemerintah pusat yaitu kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian BUMN. Berdasarkan fakta di lapangan, banyak kelompok masyarakat baik penuntut maupun pemohon juga perusahaan swasta yang saat ini menguasai lahan eks HGU PTPN II. Kedua, karena kelompok pengunjuk rasa sadar bahwa lahan itu bukan milik mereka namun tetap berharap bisa dikukuhkan sebagai pemilik dengan sertifikat dari BPN, peluang penyelesaian sangat potensil. Ketiga, karena kelompok pengunjuk rasa juga tahu fakta bahwa kasus yang mirip permah diselesaikan dengan pemberian ganti rugi meski nilai ketidak-puasan mengemuka, maka tentu saja fakta ini menambah optimisme pentlesaian damai. Keempat, Pemprovsu dengan partnernya DPRDSU sudah sangat perlu sekali duduk bersama untuk mengevaluasi existing condition termasuk faktor keberhasilan dan kegagalan usaha selama ini termasuk apa yang disebut Tim B Plus itu. Kelima, pengunjuk rasa juga tahu proses pemindahtanganan hak atas tanah eks HGU bagi peruntukan lahan pembangunan Islamic Centre. Keenam, akan halnya prosedur perencanaan tentu dapat segera dibahas bahkan tak hanya antara eksekutif dan legislatif, para ahli dan berbagai lapisan rakyat termasuk wakil-wakil pengunjuk rasa ini. Ketujuh, kewenangan tertinggi dalam pemutusan ada pada menteri BUMN, karena itu harus jadi prioritas agar konflik berangsur reda dan kenikmatan dalam bernegara dapat dicapai. KESIMPULAN Pertama, paradoks pertanahan di Indonesia. Inilah salah satu paradoks Indonesia. Jokowi sangat gairah membagi-bagi seŕifikat tanah, namun tak pernah berani menggubris dominasi elit yang menurut Yusril Ihza Mahendra jumlahnya hanya sekitar 0,2 persen tetapi menguasai 74 persen dari total lahan yang ada. Kedua, Pembangunan Taman Botani. Pembangunan Taman Botani yang direncanakan Pemprovsu tetap penting sebagai sarana pendidikan dan rekreasional masyarakat yang nanti dapat sekaligus menjadi salah satu andalan dalam bidang kepariwisataan. Taman Botani atau yang di Indonesia juga lazim disebut Kebun Raya adalah kebun atau taman yang didedikasikan untuk koleksi, budidaya penanaman, pelestarian, dan pameran sekaligus untuk berbagai kenis tanaman. Penamaan atas taman botani bisa mengacu kepada kekhasan budidaya, misalnya taman bitani kaktus, herbal, dan lain sebagainya. Secara teknis di dalamnya mungkin ada fasilitas rumah kaca, rumah teduh dan lain-lain yang layananannya bagi pengunjung didedikasikan untuk berbagai kegiatan pameran pendidikan, pameran seni, ruang buku, dan bahkan juga bisa digabungkan dengan pertunjukan teater dan musik terbuka serta hiburan lainnya. Taman botani kini tidak lagi hanya dikeloka oleh universitas atau organisasi penelitian ilmiah lainnya yang umumnya sering dikaitkan dengan kekayaan, pengembangan, pelestarian dan perlindungan herbaria dan program penelitian dalam taksonomi tanaman atau beberapa aspek lain dari ilmu botani. Namun apa pun itu, pada prinsipnya peran mereka adalah memelihara koleksi tanaman hidup yang terdokumentasi untuk keperluan penelitian ilmiah, konservasi, pameran, dan pendidikan, meskipun ini akan tergantung pada sumber daya yang tersedia dan minat khusus yang dikejar di setiap taman tertentu. Kisah taman botani berawal pada atensi para ahli pada fakultas kedokteran masa Renaissance Italia abad ke-16. Perhatian awal dengan tanaman obat berubah pada abad ke-17 menjadi minat impor tanaman baru dari eksplorasi di luar Eropa karena botani secara bertahap membangun kemandiriannya dari pengobatan. Namun kisah lebih awal ada pada cikalbakal yang kini diabadikan dalam sejarah. Bahwa salah satu di antara yang tertua misalnya adalah Orto Botanico di Pisa yang dioperasikan oleh University of Pisa. Ini tercatat sebagai taman botani universitas pertama di Eropa yang konon didirikan pada 1544 di bawah ahli botani Luca Ghini. Satu hal mesti dicatat bahwa dengan dengan meningkatnya imperialisme Eropa pada akhir abad ke-18, kebun botani pun banyak didirikan di daerah-daerah tropis, dan botani ekonomi menjadi fokus dengan hub di Royal Botanic Gardens, Kew, dekat kota London. Hal lain mesti diingat bahwa sudah cukup lama kebun botani sebagai organisasi budaya dan ilmiah memberi tanggapan atas minat botani dan hortikultura dan saat ini sebagian besar taman botani menampilkan campuran tema yang lebih jamak: memiliki hubungan yang kuat dengan masyarakat umum, ada kesempatan untuk memberikan kekayaan informasi kepada pengunjung yang berkaitan dengan masalah lingkungan yang dihadapi pada awal abad ke-21, terutama yang berkaitan dengan konservasi dan kelestarian tanaman. Shohibul Anshor Siregar Pengamat Sosial Politik Sumatera Utara© Copyright 2024, All Rights Reserved