FENOMENA keragaman aliran yang rentan meletuskan konflik ideologi, sosial dan politik umat Islam bukan cuma terjadi sekarang. Berpuluh abad silam, di zaman para sahabat ketika perkembangan Islam mulai signifikan, konfrontasi politik maupun perbedaan pemikiran teologi telah sukses membidani kelahiran banyak sekte atau aliran (firqah) dalam Islam. Konflik elit pertama di mulai dari perang Jamal (35 H/656 M) antara pasukan Ali Bin Abi Thalib dengan pasukan Aisyah (Istri Nabi) yang di bantu oleh Zubair dan Thalhah. Perang ini di latar belakangi tuntutan keadilan atas terbunuhnya khalifah terdahulu yaitu Usman Bin Affan.
Tuntutan akan keadilan dalam proses terbunuhnya Usman Bin Affan berlanjut menjadi perselisihan suksesi memperebutkan tampuk ke kekhalifahan dalam perang Siffin(37 H/657 M) antara Ali Bin Abi Thalib versus Muawwiyah Bin Abu Sofyan. Perang ini berakhir dengan Tahkim (Arbitrase) antara kedua belah pihak. Sikap berbagai kelompok dalam menyikapi Tahkim (Arbitrase) tersebut memunculkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij dan Murjiah.
Sebahagian kelompok yang bersikap netral dalam menyikapi arbitrase tersebut di kenal dengan Mur’jiah. Dalam perkembangan sejarah Murji’ah ini selalu berada dalam posisi di tengah dan hati hati dalam merespon dan menyikapi fenomena politik. Sementara Syi’ah adalah kelompok politik yang mendukung Ali secara penuh setiap kebijakannya dalam perang Siffin, Syi’ah menganggap Ali adalah sebagai pewaris sah kepemimpinan Rasulullah. Syi’ah mengukuhi sistem imamah sebagai landasan politik Islam, yang secara ideologis dipertentangkan dengan khilafah. Dalil politik itu lantas mekar dalam wacana teologi Syi’ah yang meyakini keturunan Ali (ahl al-bait) sebagai imam sejati.
Di sisi lain, Khawarij adalah kelompok yang pada mulanya pendukung setia Ali Bin Thalib tetapi keluar dari barisan, karena beranggapan Ali berhianat dan berkompromi dengan musuh ( Muawwiyah Bin Abu Sofyan) karena menerima Tahkim/Arbitrase , di saat kemenangan sudah di depan mata. Dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan/ideologi.
Kelompok politik ini ( Khawariz) berulang kali mengangkat senjata menuntut hak istimewa Bany Quraisy untuk menduduki tahta kekhalifahan. Dalam teologi, khawarij tergolong pendukung utama gerakan puritanisme Islam. Melarang praktik-praktik kultus terhadap orang suci, selain memberangus kelompok-kelompok persaudaraaan para sufi
Gerakan Trans Nasional Global saat ini merupakan pewaris ideologi, politik dan metode perjuangan kaum khawariz terdahulu. Ada tiga gerakan transnasional modern global yang semuanya berasal dari Timur Tengah, yaitu al-Ikhwan al- Muslimun, gerakan yang muncul di Mesir pada tahun 1928 di bawah kepemimpinan Hasan al-Banna. Gerakan ini lahir untuk merespon arus sekularisme di Mesir.
Kemudian Hizb al-Tahrir, gerakan yang muncul di Yordania tahun 1952 di bawah kepemimpinan Taqiyuddin an-Nabhani, yang bercita-cita mengembalikan Khilafah Islamiyyah di dunia Islam.
Dan yang ketiga Salafiyah/Salafy, gerakan yang muncul di Saudi Arabia di bawah pimpinan Muhammad bin Abdul Wahhab pada tahun 1745, yang mengumandangkan perang terhadap praktek-praktek bid’ah, khurafat, syirik, dan menyeru kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah.
Semua orang Islam yang tidak sepaham dengan ajaran Ibnu Abdul Wahhab dan pengikutnya, dianggap kafir, musyrik, dan murtad. Tuduhan-tuduhan seperti ini sering mereka lontarkan ketika belum memiliki kekuatan bersenjata, terutama pada awal-awal berdirinya aliran ini, pertengahan abad ke-18 M.
Dalam perkembangan sejarah, ketiga model gerakan dan paham ideologi ini, dikenal sebagai aliran keagamaan yang fundamental, revivalis, atau transnasional anggota-anggotanya.
Gerakan Islam Radikal Indonesia terkini
Radikalisme agama yang dilakukan oleh gerakan Islam garis keras dapat ditelusuri lebih jauh ke belakang. Gerakan ini telah muncul pada masa kemerdekaan Indonesia, bahkan dapat dikatakan sebagai akar gerakan Islam garis keras era awal berdirinya NKRI. Gerakan dimaksud adalah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang muncul era 1950- an (tepatnya 1949). Darul Islam atau NII mulanya di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan ini disatukan oleh visi dan misi untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara Indonesia.
Gerakan DI berhenti setelah semua pimpinannya atau terbunuh pada awal 1960- an. Sungguhpun demikian, bukan berarti gerakan semacam ini lenyap dari Indonesia. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an gerakan Islam garis keras muncul kembali, seperti Komando Jihad, Ali Imron, kasus Talangsari oleh Warsidi dan Teror Warman di Lampung untuk mendirikan negara Islam, dan semacamnya.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan-gerakan Islam garis keras tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal: dari ketidakpuasan politik, keterpinggiran politik dan kritikan terhadap Soekarno karena mengakomodir Kaum Komunis dalam pemerintahan. Namun setelah terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun pada awalnya bukan sebagai pemicu, kemudian menjadi faktor legitimasi maupun perekat yang sangat penting bagi gerakan Islam garis keras.
Di samping itu, persinggungan Islam di Indonesia dengan Timur Tengah juga menjadi medium bagi masuknya varian sekte wahabi atau salafi sekitar abad ke 19. Disamping agenda puritanisme Islam, sekte tersebut juga menyusupkan ideologi politik yang hendak di perjuangkan.
Kini Salafi-Wahabi secara terselubung memekarkan akar akarnya lewat lewat Ormas ormas keagamaan, selama ini mereka getol memperjuangkan tegaknya sistem Khilafah. Di Indonesia, Kelompok ini bisa diketemukan pada Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI). Orientasi gerakannya adalah membangun negara Islam trans-nasional di Indonesia di bawah kepemimpinan tunggal khalifah Islamiyah.
Hampir sama dengan HTI, yaitu Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam Regional (Asia Tenggara) di bawah kepemimpinan seorang Amir.
Sedangkan Front Pembela Islam (FPI) dan Front Taktis Islam Garis Keras seperti GNPF maupun PA 212 lebih mengarah pada penerapan syari’ah pada tingkat masyarakat, tidak pada level negara. Saat ini, baik Ormas Islam Garis keras ( HTI, MMI, FPI, GARIS ) maupun Front Taktisnya ( PA 212, GNPF ) memiliki kesamaan dalam orientasi politiknya dan sama-sama menolak pemerintahan demokrasi Jokowi-KH Ma’ruf Amin.
Menurut catatan BIN (Badan Intelejen Nasional), memang Gerakan Salafi tidak selalu disertai dengan kekerasan, karena gerakan ini terbagi menjadi dua, yaitu salafy jihadi†dan salafy dakwahâ€. Salafi Jihadi merupakan kolaborasi Wahabi dan Ikhwanul Muslimin yang cenderung menggunakan kekerasan dalam penyebaran ideologinya. Mereka didukung oleh pengikut Darul Islam (DI), khususnya jaringan Pesantren Ngruki dan alumni Afganisthan dan Maroko.
© Copyright 2024, All Rights Reserved