Teater Rumah Mata yang digawangi aktor gaek Sumatera Utara Agus Susilo menggelar pertunjukan Mantra Bah Tuah untuk pertamakali di open Stage Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Minggu (25/9)
Pagelaran ini menurut Agus Susilo selaku penulis dan sutradara naskah Bah Tuah menjadi ajang gladi resik (GR) sekaligus pemantapan akhir sebelum dipentaskan di Palembang dalam agenda Festival Teater Sumatera ke empat tahun ini di Jakabaring, Palembang.
"Pagelaran ini merupakan pemantapan akhir sekaligus penajaman dan sumbang saran dari kalangan pekerja teater di Sumatera Utara," kata Agus Susilo.
Naskah Mantra Bah Tuah menurut Agus adalah representasi fakta sejarah mengenai eksistensi Bangsa Aru yang dikenal sebagai pelaut yang pernah merajai lautan dan perdagangan khususnya di pantai Sumatera Timur hingga ke Sumatera Tengah.
"Dalam naskah ini, kami juga membawa narasi reunifikasi antara hulu dan hilir yang diikat oleh mantra atau suara dan bunyi-bunyian. Pendekatan dan representasi fakta sejarah ini kami lakukan dengan mengusung kembali peradaban bahari dan kejayaan sungai-sungai besar yang mengalir menyatukan hulu dan hilir," lanjut Agus.
Mantra Bah Tuah adalah puncak dari kampanye pementasan Teater Rumah Mata membangun konstruksi budaya dan sejarah yang ada di sepanjang perairan pantai timur.
"Ini yang ketujuh dan ini merupakan naskah puncak dari enam naskah sebelumnya yang mengusung tema-tema kesejarahan dan revitalisasi sungai-sungai serta kawasan situs Kota Chinna" kata Agus.
Penggarapan naskah dan proses kekaryaan Mantra bah Tuah ini, kata Agus, cukup serius dan hati-hati. Oleh karena itu,Agus juga banyak berkonsultasi tentang konstruksi sejarah dengan sejarawan PUSIS Icwan Azhari dan pegiat budaya Hujan Tarigan.
"Studi literasinya cukup serius karena banyak melibatkan sejarawan dan pengamat budaya. Sedangkan aktornya, sebagai bentuk konsistensi Teater Rumah Mata dalam melahirkan generasi baru insan teater di Sumut, kami melibatkan banyak wajah baru sebagai aktor. Hanya ada dua pemain gaek yang terlibat di atas panggung seperti Herawanti dan Ayub," demikian Agus.
Sementara itu di tempat yang sama, pengamat sejarah dan pegiat budaya Hujan Tarigan menjelaskan narasi yang diusung dan bawakan dalam pertunjukan teater kontemporer oleh Rumah Mata bukan hal yang mudah.
"Meracik data, membuat instalasi panggung oleh simbol-simbol yang diwakilkan bambu sebagai properti utama membuat pementasan ini patut diapresiasi. Agus dan Teater Rumah Mata sekali lagi menunjukkan kelasnya," kata Hujan Tarigan.
"Hanya saja perlu dipertimbangkan penonton yang tak terbiasa dengan karya-karya Agus, apakah mereka dapat menangkap esensi dan data yang sudah dikelola sedemikian rupa itu secara jelas dan tidak mengalami distorsi. Apakah itu pembiasan makna, pembiasan sejarah dan budaya atau bahkan pembiasan di segala macam lini termasuk orientasi politik," kata Hujan.
Dilanjutkan Hujan, bukan upaya yang mudah untuk bisa menghadirkan masa lampau dengan cara pandang masa lampau ke atas panggung kontemporer. Pasalnya dibutuhkan imajinasi yang hari ini, sudah semakin sulit di tengah realita kehidupan sosial.
"Agus dan Teater Rumah Mata layak diapresiasi karena sudah berani masuk ke wilayah yang hari ini, oleh sebagian besar masyarakat, bukan tema populer dan dan banyak diperbincangkan. Bermain-main dengan imajinasi sudah menjadi tabu hari ini. Selalu ada yang baru dari masa lalu hari ini sudah masuk kategori cocokologi," demikian Hujan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved