Menggelitik memang proses Seleksi Calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumut untuk periode 2021-2024.
Mengapa?
Selain karena sudah menampakkan sejumlah kejanggalan, Komisi A DPRD Sumut masih coba-coba sembunyi di balik ungkapan "lembaga politik". Menanggapi pertanyaan wartawan tentang mekanisme, kriteria penilaian dan skor FPT itu, Ketua Komisi A Hendro Susanto mengungkapkan: "Ini lembaga politik...(idntimes.com, 29/1 Pukul: 10.45 WIB). Masih berusaha berkelit dan bersembunyi di balik argumentasi yang sesat pikir.
Justeru karena bertindak sebagai lembaga politik, Komisi A DPRD Sumut semestinya dapat melaksanakan tugas kenegaraan secara jujur penuh amanah, cerdas, cermat, cerdik, terbuka dan bijaksana, termasuk dalam menggelar fit and proper test (FPT) untuk memilih komisioner KPID Sumut.
Faktanya, ketika wartawan terus mengejar keterangan soal mekanisme, penilaian dan hasil dalam FPT itu, Hendro Susanto malah kembali mengungkapkan argumentasi sesat: "Ini _kan_ lembaga politik...."
Makanya, perlu kita dudukkan problemnya. Apa sebenarnya pengertian dari lembaga politik itu? Seperti apa pula yang dimaksudkan dengan istilah FPT? Apakah Komisi A memiliki konsep FPT dalam seleksi yang ditengarai hanya ibarat tarian yang dimainkan oleh koreografer yang seksi (baca opini "Penari Seksi" dalam Seleksi Calon Anggota KPID Sumut", rmolsumut.id).
*Lembaga Politik*
Mengutip dari _kompas.com_ (16/10/2020), istilah lembaga politik merujuk pada interaksi antar-masyarakat dan proses pemerintahan yang berjalan secara tertib sesuai peraturan yang ada.
Lebih jauh lagi, lembaga politik adalah lembaga sosial yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang, berhubungan dengan kehidupan politik yang mencakup aturan tentang penerapan hukuman atau paksaan fisik demi mencapai kepentingan masyarakat.
Jadi, Komisi A sebagai lembaga politik yang melaksanakan tugas kenegaraan untuk memilih tujuh dari 21 orang calon anggota KPID Sumut hasil penjaringan Tim Seleksi, sejatinya merancang satu metode dan mekanisme tersendiri untuk melaksanakan: 1) uji publik dan 2) uji kelayakan dan kepatutan, sebagaimana substansi Peraturan KPI No. 01/P/KPI/07/2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia, Pasal 24.
Bahkan merujuk pada pengertian lembaga politik lainnya, Komisi A berfungsi untuk mensosialisasikan nilai-nilai politik kepada masyarakat, termasuk juga pengaturan atas kekuasaan dan wewenang yang menyangkut kepentingan masyarakat dalam mencapai tujuan bersama, terutama dengan proses perencanaan, penentuan dan pelaksanaan pemilihan (dosenpendidik.co.id).
Sumber itu juga menyebutkan, instrumen terpenting demokrasi adalah lembaga politik yang memiliki wewenang untuk melaksanakan aktivitas politik dalam merepresentasikan isu dan kepentingan masyarakat, sehingga rakyat rakyat pun memiliki partisipasi politik yang baik.
Singkatnya, sesuai dengan kontens UU 32/2002 tentang Penyiaran, Pasal 6 dan Pasal 7, untuk menyelenggarakan sistem penyiaran dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang terdiri dari KPI Pusat yang dibentuk dan diawasi oleh DPR RI dan KPI Daerah oleh DPRD Sumut.
Jelas sekali, sebagai lembaga politik, DPRD Sumut melalui Komisi A, mendapat kewenangan untuk memilih calon komisioner. Dalam menjalankan kekuasaan dan kewenangan negara itu, Komisi A semestinya memahami bahwa peran mereka sangat menentukan strategi taktis, wajah sumringah dan masa depan cerah dunia penyiaran di Sumut.
*Paling Layak, Paling Patut*
Untuk memilih calon yang paling layak dan paling pantas dari 21 calon hasil penjaringan Tim Seleksi, Komisi A harus menggunakan satu metode tertentu, yakni fit and proper test, sesuai dengan Pasal 24 Peraturan KPI No. 01/P/KPI/07/2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia itu.
Lebih-lebih karena KPI yang terdiri dari KPI Pusat/KPI Daerah adalah lembaga negara yang bersifat independen, bukan lembaga politik.
Istilah "fit and proper test" (FPT) dapat dipahami sebagai seperangkat tata cara yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan dan kepatutan sejumlah orang yang akan mengisi jabatan kenegaraan, termasuk Anggota KPID.
Maka, dengan alur seperti itu, Komisi A diharuskan untuk menyelenggarakan FPT itu dengan sikap jujur, cerdas, cermat, cerdik, bijak dan bertanggung jawab. Seterusnya, harus terencana, terkonsep dan terukur.
Merujuk dari bphn.go.id, tempo.co (10/09/2021) menuliskan, di dalam FPT itu ada mekanisme yang harus dilakukan:
1) tahap penyusutan konsep,
2) tahap penerapan, dan
3) tahap penilaian. "Bila ketiga tahap tersebut sudah dilaksanakan maka kemungkinan besar sistem fit and proper test akan berjalan dengan lancar."
Logikanya, harus ada mekanisme. Ada kriteria pengukuran yang jelas dan tegas. Ada alat ukur yang valid. Dengan itu, kriteria penilaiannya menjadi wajar dan menghasilkan nilai yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika nilai ini yang menjadi dasar pertimbangan bagi Komisi A untuk memilih yang paling layak dan paling patut menjadi komisioner periode mendatang, tentu akan diterima buka saja oleh calon komisioner yang "dikalahkan".
Fakta yang kita temukan, Ketua Komisi A sendiri tidak dapat menunjukkan bahwa penilaian mereka sudah sesuai dengan aturan yang ada serta pemahaman publik (teoritis). Tapi, itulah, dia menyebutkan, pemilihan itu sudah selesai. Tidak ada keterangan yang logis. Sejauh ini, publik dan calon komisioner yang kalah hanya dapat cerita yang politis.
Kalau memang alasannya hanya ungkapan: "Ini lembaga politik," itu menunjukkan bahwa mereka sesungguhnya tak punya konsep. Jika memang tak punya konsep, berarti mereka hanya membuat tahapan 'ecek-ecek' atau FPT 'kaleng-kaleng'.
Bisa saja kita coba memahami posisi mereka satu per satu yang tak boleh lari dari arah kebijakan partai masing-masing. Masing-masing sudah membawa nama calon yang akan "dimenangkan". Mungkin saja. Tapi, sekalipun begitu, mereka harus tetap menghargai dan menjunjung tinggi intelektualitas publik dan calon-calon yang "dikalahkan" dengan sikap dan tindakan yang arif bijaksana selaku negarawan. Terlalu bodoh pilihan sikap itu kalau hanya mengedepankan ungkapan sesat: "Ini lembaga politik."
Tanpa sikap/tindakan yang arif dan bijaksana seperti itu, mustahil keputusan Komisi A DPRD Sumut dalam pemilihan itu didasari konsep berpikir negarawan. Tanpa kejujuran dan tranparansi, FPT hanya jadi seleksi kaleng-kaleng yang terjebak pertimbangan politis.
Karena itu, dalam menjunjung tinggi sikap negarawan dan untuk menghargai intelektualitas dan kredibilitas publik, terutama lembaga non-parpol dan calon-calon komisioner 2021-2024, seyogianya Komisi A siap dan segera menarik keputusan kelewat politisnya serta secepatnya menggelar FPT ulang.
Jelas memang, DPRD dan partai politik adalah lembaga politik. Tapi, tidak berarti bisa menghilangkan kepekaan analitik-nya untuk mengingat luka-luka dan sisi emosional publik, lembaga non-parpol dan seluruh calon-calon komisioner.***
Penulis Adalah Anggota DPRD Madina Periode 2014-2019 dan Calon Komisioner KPID Sumut Priode 2021-2024
© Copyright 2024, All Rights Reserved