Martin menjelaskan, masyarakat di kawasan Danau Toba baik yang muslim dan non muslim selama ini sudah hidup berdampingan dalam suasana penuh kekeluargaan. Sikap saling menghormati ditunjukkan dengan membuat batasan yang jelas mengenai mana yang dapat dikonsumsi oleh muslim dan mana yang tidak.
\"Misalnya rumah makan nasional (rumah makan tidak menjual daging babi). Sebenarnya sudah banyak rumah makan nasional di kawasan toba. Jadi hal-hal seperti itu tidak usah dibawa ke dalam ranah publik dalam wacana diskusi terbuka. Istilah wisata halal itu saja sudah menjadi hal yang problematik. Apabila ada wisata halal, berarti ada wisata haram. Siapa yang menyediakan wisata haram itu? Kan tidak ada,\" imbuhnya.
Urusan keyakinan, lanjut Martin, itu merupakan urusan masing-masing dengan Tuhannya. Jika dibawa ke ranah publik, yang ada semua orang memperdebatkan.
\"Jadinya akan memicu sentimen identitas dan bisa menimbulkan gesekan. Kita ini sudah terlalu sering saling bergesekan,\" ungkapnya.
Persoalan di Sumut bukan persoalan wisata halal. Jangan habis energi kita memperdebatkan hal yang tidak perlu. Kita berdebat soal yang tidak pokok,\" tandasnya.
Seperti diketahui, wacana wisata halal mendapat respon dari masyarakat Batak. Bahkan puluhan Mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa meminta klarifikasi yang jelas mengenai pernyataan dari Edy Rahmayadi yang menyebut akan mengembangkan konsep wisata halal di Kawasan Danau Toba. Termasuk juga melakukan penataan pemotongan hewan berkaki empat (babi). Hal itu menurutnya untuk mendukung kemajuan pariwisata Danau Toba." itemprop="description"/>
Martin menjelaskan, masyarakat di kawasan Danau Toba baik yang muslim dan non muslim selama ini sudah hidup berdampingan dalam suasana penuh kekeluargaan. Sikap saling menghormati ditunjukkan dengan membuat batasan yang jelas mengenai mana yang dapat dikonsumsi oleh muslim dan mana yang tidak.
\"Misalnya rumah makan nasional (rumah makan tidak menjual daging babi). Sebenarnya sudah banyak rumah makan nasional di kawasan toba. Jadi hal-hal seperti itu tidak usah dibawa ke dalam ranah publik dalam wacana diskusi terbuka. Istilah wisata halal itu saja sudah menjadi hal yang problematik. Apabila ada wisata halal, berarti ada wisata haram. Siapa yang menyediakan wisata haram itu? Kan tidak ada,\" imbuhnya.
Urusan keyakinan, lanjut Martin, itu merupakan urusan masing-masing dengan Tuhannya. Jika dibawa ke ranah publik, yang ada semua orang memperdebatkan.
\"Jadinya akan memicu sentimen identitas dan bisa menimbulkan gesekan. Kita ini sudah terlalu sering saling bergesekan,\" ungkapnya.
Persoalan di Sumut bukan persoalan wisata halal. Jangan habis energi kita memperdebatkan hal yang tidak perlu. Kita berdebat soal yang tidak pokok,\" tandasnya.
Seperti diketahui, wacana wisata halal mendapat respon dari masyarakat Batak. Bahkan puluhan Mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa meminta klarifikasi yang jelas mengenai pernyataan dari Edy Rahmayadi yang menyebut akan mengembangkan konsep wisata halal di Kawasan Danau Toba. Termasuk juga melakukan penataan pemotongan hewan berkaki empat (babi). Hal itu menurutnya untuk mendukung kemajuan pariwisata Danau Toba."/>
Martin menjelaskan, masyarakat di kawasan Danau Toba baik yang muslim dan non muslim selama ini sudah hidup berdampingan dalam suasana penuh kekeluargaan. Sikap saling menghormati ditunjukkan dengan membuat batasan yang jelas mengenai mana yang dapat dikonsumsi oleh muslim dan mana yang tidak.
\"Misalnya rumah makan nasional (rumah makan tidak menjual daging babi). Sebenarnya sudah banyak rumah makan nasional di kawasan toba. Jadi hal-hal seperti itu tidak usah dibawa ke dalam ranah publik dalam wacana diskusi terbuka. Istilah wisata halal itu saja sudah menjadi hal yang problematik. Apabila ada wisata halal, berarti ada wisata haram. Siapa yang menyediakan wisata haram itu? Kan tidak ada,\" imbuhnya.
Urusan keyakinan, lanjut Martin, itu merupakan urusan masing-masing dengan Tuhannya. Jika dibawa ke ranah publik, yang ada semua orang memperdebatkan.
\"Jadinya akan memicu sentimen identitas dan bisa menimbulkan gesekan. Kita ini sudah terlalu sering saling bergesekan,\" ungkapnya.
Persoalan di Sumut bukan persoalan wisata halal. Jangan habis energi kita memperdebatkan hal yang tidak perlu. Kita berdebat soal yang tidak pokok,\" tandasnya.
Seperti diketahui, wacana wisata halal mendapat respon dari masyarakat Batak. Bahkan puluhan Mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa meminta klarifikasi yang jelas mengenai pernyataan dari Edy Rahmayadi yang menyebut akan mengembangkan konsep wisata halal di Kawasan Danau Toba. Termasuk juga melakukan penataan pemotongan hewan berkaki empat (babi). Hal itu menurutnya untuk mendukung kemajuan pariwisata Danau Toba."/>
Ketua DPP Partai Nasdem Martin Manurung meminta Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi tidak perlu mengomentari konsep wisata halal di kawasan Danau Toba yang kini justru memicu polemik. Hal ini karena berbagai konsep yang bertujuan untuk meningkatkan kunjungan wisata di Danau Toba sudah dirancang dengan baik oleh pihak Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) selaku pelaksana teknis. Ia justru berharap agar gubernur lebih fokus mengurusi urusan lain seperti persoalan kesejahteraan masyarakat dan masalah pendidikan di Sumatera Utara yang saat ini juga banyak dipersoalkan.
"Halal dan haram itu kan persoalan keyakinan individu. Hal-hal seperti itu harusnya tidak usah dibawa ke dalam ranah publik, karena akan jadi problematik," katanya, Selasa (3/9/2019).
Martin menjelaskan, masyarakat di kawasan Danau Toba baik yang muslim dan non muslim selama ini sudah hidup berdampingan dalam suasana penuh kekeluargaan. Sikap saling menghormati ditunjukkan dengan membuat batasan yang jelas mengenai mana yang dapat dikonsumsi oleh muslim dan mana yang tidak.
"Misalnya rumah makan nasional (rumah makan tidak menjual daging babi). Sebenarnya sudah banyak rumah makan nasional di kawasan toba. Jadi hal-hal seperti itu tidak usah dibawa ke dalam ranah publik dalam wacana diskusi terbuka. Istilah wisata halal itu saja sudah menjadi hal yang problematik. Apabila ada wisata halal, berarti ada wisata haram. Siapa yang menyediakan wisata haram itu? Kan tidak ada," imbuhnya.
Urusan keyakinan, lanjut Martin, itu merupakan urusan masing-masing dengan Tuhannya. Jika dibawa ke ranah publik, yang ada semua orang memperdebatkan.
"Jadinya akan memicu sentimen identitas dan bisa menimbulkan gesekan. Kita ini sudah terlalu sering saling bergesekan," ungkapnya.
Persoalan di Sumut bukan persoalan wisata halal. Jangan habis energi kita memperdebatkan hal yang tidak perlu. Kita berdebat soal yang tidak pokok," tandasnya.
Seperti diketahui, wacana wisata halal mendapat respon dari masyarakat Batak. Bahkan puluhan Mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa meminta klarifikasi yang jelas mengenai pernyataan dari Edy Rahmayadi yang menyebut akan mengembangkan konsep wisata halal di Kawasan Danau Toba. Termasuk juga melakukan penataan pemotongan hewan berkaki empat (babi). Hal itu menurutnya untuk mendukung kemajuan pariwisata Danau Toba.
Ketua DPP Partai Nasdem Martin Manurung meminta Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi tidak perlu mengomentari konsep wisata halal di kawasan Danau Toba yang kini justru memicu polemik. Hal ini karena berbagai konsep yang bertujuan untuk meningkatkan kunjungan wisata di Danau Toba sudah dirancang dengan baik oleh pihak Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) selaku pelaksana teknis. Ia justru berharap agar gubernur lebih fokus mengurusi urusan lain seperti persoalan kesejahteraan masyarakat dan masalah pendidikan di Sumatera Utara yang saat ini juga banyak dipersoalkan.
"Halal dan haram itu kan persoalan keyakinan individu. Hal-hal seperti itu harusnya tidak usah dibawa ke dalam ranah publik, karena akan jadi problematik," katanya, Selasa (3/9/2019).
Martin menjelaskan, masyarakat di kawasan Danau Toba baik yang muslim dan non muslim selama ini sudah hidup berdampingan dalam suasana penuh kekeluargaan. Sikap saling menghormati ditunjukkan dengan membuat batasan yang jelas mengenai mana yang dapat dikonsumsi oleh muslim dan mana yang tidak.
"Misalnya rumah makan nasional (rumah makan tidak menjual daging babi). Sebenarnya sudah banyak rumah makan nasional di kawasan toba. Jadi hal-hal seperti itu tidak usah dibawa ke dalam ranah publik dalam wacana diskusi terbuka. Istilah wisata halal itu saja sudah menjadi hal yang problematik. Apabila ada wisata halal, berarti ada wisata haram. Siapa yang menyediakan wisata haram itu? Kan tidak ada," imbuhnya.
Urusan keyakinan, lanjut Martin, itu merupakan urusan masing-masing dengan Tuhannya. Jika dibawa ke ranah publik, yang ada semua orang memperdebatkan.
"Jadinya akan memicu sentimen identitas dan bisa menimbulkan gesekan. Kita ini sudah terlalu sering saling bergesekan," ungkapnya.
Persoalan di Sumut bukan persoalan wisata halal. Jangan habis energi kita memperdebatkan hal yang tidak perlu. Kita berdebat soal yang tidak pokok," tandasnya.
Seperti diketahui, wacana wisata halal mendapat respon dari masyarakat Batak. Bahkan puluhan Mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa meminta klarifikasi yang jelas mengenai pernyataan dari Edy Rahmayadi yang menyebut akan mengembangkan konsep wisata halal di Kawasan Danau Toba. Termasuk juga melakukan penataan pemotongan hewan berkaki empat (babi). Hal itu menurutnya untuk mendukung kemajuan pariwisata Danau Toba.