Tafsir Dinamis Pemikiran Soekarno Tentang Pancasila Dan NKRI

Narasi yang dibangun dalam hubungan antara Indonesia dengan China di Timur pada fase 1949-1965 adalah semangat untuk melawan kolonialisme dan imperialisme di Barat. Sejarah kemudian mencatat bahwa peran Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat besar menjadi telangkai hubungan kedua negara.

Saat itu Indonesia sebagai sebuah negara yang belum lama mendeklarasikan kemerdekaannya, berada pada himpitan dua ideologi besar dunia; sosialisme dan kapitalisme. Sebagaimana sifat dasarnya, ideologi itu ekspansif egosentris, dan genuine, maka keberadaan Indonesia berada pada “medan magnit” tarikkan kedua ideologi tersebut tidak dapat dihindari.

Sebuah ideologi disebut ekspansif karena dalam sejarahnya setiap ideologi dunia akan mengembangkan diri dengan memberikan pengaruh ke seluruh penjuru dunia. Untuk hal ini kita bisa melihat sejarah ideologi-ideologi besar di di dunia seperti ideologi agama (Islam, Kristen), ideologi kapitalisme (Amerika dan sekutunya), dan ideologi sosialisme (Uni Sovyet, China dan sekutunya).

Ideologi berwatak egosentris karena sesungguhnya bagi pengusungnya, tidak ada kebenaran di luar kebenaran ideologinya sendiri. Sedangkan sifat genuine karena ia adalah produk asli yang bersumber dari watak asli manusia (kapitalis, sosialis), atau diturunkan dari Tuhan (ideologi agama).

Sejarah mengabarkan kepada kita bahwa Soekarno pernah menjalin hubungan dengan Amerika Serikat yang merupakan pusat peradaban kapitalisme dunia. Tetapi Soekarno juga pernah “mesra” dengan China, juga Uni Sovyet yang merupakan pusat sosialis dunia. Tapi meski pernah menjalin hubungan dengan kedua kutub, namun Soekarno malah mendeklarasikan Pancasila sebagai ideologi negara.

Ideologi ini kemudian disepakati dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sendi utamanya, dan empat sila lainnya sebagai cita-cita yang ingin digapai oleh bangsa dan negara Indonesia. Meski demikian, dalam ideolgi ini tidak bisa dinafikan bahwa ada nilai-nilai kapitalis yakni demokrasi perwakilan yang dicerminkan oleh sila keempat. Juga ada nilai-nilai sosialis dalam sila kelima, yaitu keadilan sosial.

Pemikiran, langkah-langkah politik dan diplomasi yang diambil oleh Soekarno ini—sebagai pemimpin negara—menjadi penting untuk dianalisis dan ditafsirkan secara dinamis. Tidak saja penting, tetapi juga strategis selain untuk menghindari kejumudan dan taqlid politik yang cenderung statis, juga untuk memperkaya wawasan dan pemahaman generasi bangsa yang akan menata masa depan negeri ini.

 Negara Adidaya

Sebagai sebuah negara di bawah kepemimpinan Soekarno, Indonesia pernah memiliki cita-cita, dan telah melakukan langkah-langkah untuk menjadi negara besar, dan adidaya dunia. Setidaknya ada dua indikator sebagai argumentasi bagi statement ini, yaitu menyatukan Nusantara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan rencana mempersenjatai Indonesia dengan fasilitas persenjataan nuklir.

Dua hal ini; luas wilayah, dan persenjataan nuklir, dan tentunya sikap agresif adalah hal-hal yang dimiliki negara adidaya modern Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Bahkan juga dimiliki China yang dalam perkembangan kontemporer terlihat semakin agresif memasuki berbagai lini secara global, terutama ekonomi—tak terkecuali menancapkan pengaruh yang besar di Indonesia.

Pengaruh itu bahkan China yang sosialis telah mendeklarasikan menjadi “moderat” demi program ambisius One Belt One Road (OBOR). Kongres Nasional Ke-19 Partai Komunis China (PKC) yang ditutup Oktober 2017, Sekretaris Jenderal Xi Jinping mengenalkan istilah Negara Sosialis Modern, dalam laporannya yang berjudul “Mengupayakan Direalisasikannya Pembangunan Masyarakat Sejahtera yang Moderat secara Menyeluruh, Memperjuangkan Kemenangan Mulia Sosialisme Memiliki Ciri Khas Tiongkok pada Era Baru” (Sun Ang, 2017). Sun Ang yang merupakan Konsul Jenderal RRT di Medan kemudian menjelaskan bahwa negara sosialis modern adalah yang makmur, demokratis, beradab, harmonis dan indah.

Baiklah, kita kembali ke masa Soekarno. Untuk mewujudkan negara kesatuan yang besar, Soekarno berusaha mempersatukan berbagai elemen bangsa. Tantangan besar yang dihadapi, terutama ketika terjadi perdebatan tentang tujuh kata dalam Piagam Jakarta “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang ditolak oleh elemen masyarakat Indonesia Timur untuk dimasukkan ke dalam dasar negara. Penolakkan tersebut disertai ancaman akan memisahkan diri dari negara yang digagas.

Di lain pihak kalangan Islam bersikukuh untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara. adalah Ki Bagus Hadikusumo Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah (1944-1953) yang merupakan anggota Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas merumuskan Undang-Undang Dasar. Ki Bagus mewakili golongan Islam bersama dr Sukirman Wirjosanjoyo, Haji Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mr. Ahmad Soebarjo, dan Haji Agus Salim.

Jika Ki Bagus tetap pada pendiriannya, dan Indonesia Timur berpisah dari negara yang sedang digagas, maka hal tersebut tidak sesuai dengan cita-cita Sokarno mendirikan sebuah negara besar. Maka Soekarno melakukan berbagai cara untuk membujuk Ki Bagus. Dari mulai mengutus Teuku Mohammad Hasan untuk berbicara dengan Ki Bagus, termasuk KH. Wahid Hasyim. Bahkan Mohd. Hatta turut berbicara dengan Ki Bagus dan tokoh lain perihal tujuh kata dalam piagam Jakarta tersebut, tapi Ki Bagus tak bergeming. Sampai akhirnya Kasman Singodimedjo yang juga merupakan tokoh Muhammadiyah ini melakukan hal yang pada akhirnya disesalinya: membujuk Ki Bagus.

Tapi misi Kasman Singodimedjo berhasil, dan cita-cita membangun negara besar sebagai negara kesatuan, dari gugusan pulau-pulau telah menemukan jalannya. Sejarah mungkin bercerita lain ketika Nusantara menjadi beberapa negara kecil yang makmur dan sejahtera. Tapi itu bukan pilihan. Karena menjadi negara dan bangsa besar yang memiliki peran dan pengaruh besar di dunia adalah cita-cita yang sedang dipersiapkan.

Selanjutnya Indonesia juga pernah berniat untuk memiliki persenjataan hulu ledak atom. Rencana itu dinyatakan sendiri oleh Soekarno dalam sebuah kesempatan. “Insya Allah dalam waktu dekat ini kita akan berhasil membuat bom atom sendiri.” Pernyataan Presiden Soekarno itu disampaikan saat berpidato pada Muktamar Muhammadiyah ke 36 di Bandung tanggal 24 Juli 1965 (Ardanareswari, 2020).

Rencana bom atom Indonesia itu direncakan dilakukan melalui pihak ketiga, yaitu China. Keberhasilan Poros Peking-Jakarta pada Januari 1965 secara tidak langsung mengarahkan pada pembicaraan seputar rencana rahasia kiriman bom atom dari China (Cornejo, 1999).

Cornejo juga mengutip Ruslan Abdulgani yang merupakan Menteri Penerangan saat itu, yang merasionalisasikan langkah Soekarno mengembangkan nuklir Indonesia melalui kerjasama dengan China. Dia mengatakan bahwa bom atom bisa memiliki sifat agresif jika dipegang oleh negara agesif yang kapitalis, sebaliknya tidak demikian jika dipegang oleh negara sosialis.

Teuku Reza Fadeli mencatat bahwa senjata nuklir kemudian dijadikan alat politik Soekarno untuk mendukung kebijakan politik luar negeri Indonesia yang high profile dan konfrontatif pada masa itu. Hal ini ditandai dengan reorganisasi Lembaga Tenaga Atom (LTA) yang awalnya hanya berperan sebagai lembaga riset nuklir untuk maksud-maksud damai diubah menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) yang diharapkan Soekarno bisa mengembangkan senjata nuklir bagi Indonesia.

Untuk politik luar negeri yang high profile ini, Indonesia awalnya telah bekerjasama dengan Amerika Serikat pada Juni 1960. Kerjasama ini diwujudkan untuk membangun reaktor nuklir “Triga Mark II” di Bandung dengan dana bantuan Amerika Serikat sebesar 350 ribu dolar AS (Corjeno, 1999). Tapi ternyata Kremlin kemudian mendahului rencana ini, dengan mengirimkan dana bantuan tidak kurang dari 5 juta dolar dari Uni Sovyet yang datang setahun lebih awal dari dana Amerika Serikat (Kurniawan, 1996).

Tafsir Dinamis

Tempat-tempat yang menurut teori komunis China, pertempuran-pertempuran paling menentukan melawan imperialisme itu berlangsung dan tempat nasib dua sistem dunia yang bertentangan (kapitalis-komunis) ini akan diputuskan (Mortimer dalam Utomo, 2017). Narasi ini boleh jadi difahami oleh Soekarno sebagai seorang pemimpin—adalah peluang untuk meraih benefit.

Dengan kata lain, pertentangan di antara dua kutub ideologi yang terjadi, adalah sebuah kesempatan untuk mendapatkan keuntungan di tempat di mana pertetangan di antara keduanya terjadi. Dalam tafsir dinamis pemahaman Soekarno tentang posisi Indonesia dalam high profile politik luar negeri Indonesia, negara ini tidak hendak mengikuti salah satu dari kedua kekuatan tersebut. Tidak pula menjadi pelanduk di antara gajah-gajah.

Langkah politik Soekarno yang menawarkan Pancasila sebagai sebuah falsafah bangsa di antara dua ideologi besar dunia yang mempengaruhi, adalah sebuah strategi untuk munculnya kekuatan baru. Dan kekuatan itu bernama Indonesia Raya.

Coba simak petuah Bung Karno berikut ini: Suatu bangsa mengajar dirinya sendiri! Suatu bangsa hanyalah dapat mengajarkan apa yang terkandung di dalam jiwanya sendiri! Bangsa orang-merdeka akan mendidik anak-anak yang merdeka.

Karena itu hai Bangsa Indonesia! Dalam revolusi kita ini, janganlah kita mencari kepeloporan mental kepada orang lain. Carilah kepeloporan pada diri kita sendiri. Cari sendiri konsepsi-konsepsimu sendiri! …jadilah Bangsa yang besar yang tidak menjiplak, jadilah mercu-suar yang gemilang bersinar sendiri, susunlah kita punya konsepsi-konsepsi atas dasar dilektik Revolusi kita sendiri. Freedom to be free, freedom to be free—freedom to be free juga di alam konsepsi sendiri! Dan dengan dialektika kita itu, selalu tingkatkanlah konsesi-konsepsi Revolusi kita itu menjadi setingkat dan seirama dengan dengan dialektikanya Sejarah Umat Manusia yang sekarang juga sedang bergelora dan berbangkit. Jikalau tidak, kita nanti diganyang, dilindas menjadi glepung oleh dialektikanya Sejarah Umat Manusia itu (Siswoyo, 2013).

Soekarno dan para founding father sesungguhnya memersiapkan bangsa ini menjadi bangsa besar yang mengadidaya. Dan untuk tujuan besar itu, bangsa ini harus memiliki ideologinya sendiri, punya kekuatan persenjataan yang disegani, dan punya Negara kesatuan yang luas. Mereka, para founding father tidak segan untuk memanfaatkan negara-negara besar, tanpa harus menjadi pengikut mereka, apalagi berada dalam dikte kekuasaan global.

Maka, ya.., kita sepakat bahwa Pancasila sebagai ideologi, maka ia harus berlangsung sebagaimana sifat bawaan sebuah ideologi yang ekspansif, egosentris dan genuine. Peniadaan dari ketiga sifat ideologi tersebut hanya akan mengerdilkan keberadaan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang pernah eksis di dunia.

Sekarang mari mulai menghitung, seberapa besar penyusutan yang terjadi atas ide besar Soekarno, sejak masa Presiden Soeharto, BJ.Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, sampai Jokowi sekarang ini. Dan hitung juga seberapa sesuai sifat bawaan sebuah ideologi yang inheren di dalam Pancasila.[R]

Oleh: Dr Dedi Sahputra, MA (Redaktur Pelaksana Harian Waspada, dan Dosen Fisipol Universitas Medan Area).


Narasi yang dibangun dalam hubungan antara Indonesia dengan China di Timur pada fase 1949-1965 adalah semangat untuk melawan kolonialisme dan imperialisme di Barat. Sejarah kemudian mencatat bahwa peran Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat besar menjadi telangkai hubungan kedua negara.

Saat itu Indonesia sebagai sebuah negara yang belum lama mendeklarasikan kemerdekaannya, berada pada himpitan dua ideologi besar dunia; sosialisme dan kapitalisme. Sebagaimana sifat dasarnya, ideologi itu ekspansif egosentris, dan genuine, maka keberadaan Indonesia berada pada “medan magnit” tarikkan kedua ideologi tersebut tidak dapat dihindari.

Sebuah ideologi disebut ekspansif karena dalam sejarahnya setiap ideologi dunia akan mengembangkan diri dengan memberikan pengaruh ke seluruh penjuru dunia. Untuk hal ini kita bisa melihat sejarah ideologi-ideologi besar di di dunia seperti ideologi agama (Islam, Kristen), ideologi kapitalisme (Amerika dan sekutunya), dan ideologi sosialisme (Uni Sovyet, China dan sekutunya).

Ideologi berwatak egosentris karena sesungguhnya bagi pengusungnya, tidak ada kebenaran di luar kebenaran ideologinya sendiri. Sedangkan sifat genuine karena ia adalah produk asli yang bersumber dari watak asli manusia (kapitalis, sosialis), atau diturunkan dari Tuhan (ideologi agama).

Sejarah mengabarkan kepada kita bahwa Soekarno pernah menjalin hubungan dengan Amerika Serikat yang merupakan pusat peradaban kapitalisme dunia. Tetapi Soekarno juga pernah “mesra” dengan China, juga Uni Sovyet yang merupakan pusat sosialis dunia. Tapi meski pernah menjalin hubungan dengan kedua kutub, namun Soekarno malah mendeklarasikan Pancasila sebagai ideologi negara.

Ideologi ini kemudian disepakati dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sendi utamanya, dan empat sila lainnya sebagai cita-cita yang ingin digapai oleh bangsa dan negara Indonesia. Meski demikian, dalam ideolgi ini tidak bisa dinafikan bahwa ada nilai-nilai kapitalis yakni demokrasi perwakilan yang dicerminkan oleh sila keempat. Juga ada nilai-nilai sosialis dalam sila kelima, yaitu keadilan sosial.

Pemikiran, langkah-langkah politik dan diplomasi yang diambil oleh Soekarno ini—sebagai pemimpin negara—menjadi penting untuk dianalisis dan ditafsirkan secara dinamis. Tidak saja penting, tetapi juga strategis selain untuk menghindari kejumudan dan taqlid politik yang cenderung statis, juga untuk memperkaya wawasan dan pemahaman generasi bangsa yang akan menata masa depan negeri ini.

 Negara Adidaya

Sebagai sebuah negara di bawah kepemimpinan Soekarno, Indonesia pernah memiliki cita-cita, dan telah melakukan langkah-langkah untuk menjadi negara besar, dan adidaya dunia. Setidaknya ada dua indikator sebagai argumentasi bagi statement ini, yaitu menyatukan Nusantara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan rencana mempersenjatai Indonesia dengan fasilitas persenjataan nuklir.

Dua hal ini; luas wilayah, dan persenjataan nuklir, dan tentunya sikap agresif adalah hal-hal yang dimiliki negara adidaya modern Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Bahkan juga dimiliki China yang dalam perkembangan kontemporer terlihat semakin agresif memasuki berbagai lini secara global, terutama ekonomi—tak terkecuali menancapkan pengaruh yang besar di Indonesia.

Pengaruh itu bahkan China yang sosialis telah mendeklarasikan menjadi “moderat” demi program ambisius One Belt One Road (OBOR). Kongres Nasional Ke-19 Partai Komunis China (PKC) yang ditutup Oktober 2017, Sekretaris Jenderal Xi Jinping mengenalkan istilah Negara Sosialis Modern, dalam laporannya yang berjudul “Mengupayakan Direalisasikannya Pembangunan Masyarakat Sejahtera yang Moderat secara Menyeluruh, Memperjuangkan Kemenangan Mulia Sosialisme Memiliki Ciri Khas Tiongkok pada Era Baru” (Sun Ang, 2017). Sun Ang yang merupakan Konsul Jenderal RRT di Medan kemudian menjelaskan bahwa negara sosialis modern adalah yang makmur, demokratis, beradab, harmonis dan indah.

Baiklah, kita kembali ke masa Soekarno. Untuk mewujudkan negara kesatuan yang besar, Soekarno berusaha mempersatukan berbagai elemen bangsa. Tantangan besar yang dihadapi, terutama ketika terjadi perdebatan tentang tujuh kata dalam Piagam Jakarta “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang ditolak oleh elemen masyarakat Indonesia Timur untuk dimasukkan ke dalam dasar negara. Penolakkan tersebut disertai ancaman akan memisahkan diri dari negara yang digagas.

Di lain pihak kalangan Islam bersikukuh untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara. adalah Ki Bagus Hadikusumo Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah (1944-1953) yang merupakan anggota Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas merumuskan Undang-Undang Dasar. Ki Bagus mewakili golongan Islam bersama dr Sukirman Wirjosanjoyo, Haji Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mr. Ahmad Soebarjo, dan Haji Agus Salim.

Jika Ki Bagus tetap pada pendiriannya, dan Indonesia Timur berpisah dari negara yang sedang digagas, maka hal tersebut tidak sesuai dengan cita-cita Sokarno mendirikan sebuah negara besar. Maka Soekarno melakukan berbagai cara untuk membujuk Ki Bagus. Dari mulai mengutus Teuku Mohammad Hasan untuk berbicara dengan Ki Bagus, termasuk KH. Wahid Hasyim. Bahkan Mohd. Hatta turut berbicara dengan Ki Bagus dan tokoh lain perihal tujuh kata dalam piagam Jakarta tersebut, tapi Ki Bagus tak bergeming. Sampai akhirnya Kasman Singodimedjo yang juga merupakan tokoh Muhammadiyah ini melakukan hal yang pada akhirnya disesalinya: membujuk Ki Bagus.

Tapi misi Kasman Singodimedjo berhasil, dan cita-cita membangun negara besar sebagai negara kesatuan, dari gugusan pulau-pulau telah menemukan jalannya. Sejarah mungkin bercerita lain ketika Nusantara menjadi beberapa negara kecil yang makmur dan sejahtera. Tapi itu bukan pilihan. Karena menjadi negara dan bangsa besar yang memiliki peran dan pengaruh besar di dunia adalah cita-cita yang sedang dipersiapkan.

Selanjutnya Indonesia juga pernah berniat untuk memiliki persenjataan hulu ledak atom. Rencana itu dinyatakan sendiri oleh Soekarno dalam sebuah kesempatan. “Insya Allah dalam waktu dekat ini kita akan berhasil membuat bom atom sendiri.” Pernyataan Presiden Soekarno itu disampaikan saat berpidato pada Muktamar Muhammadiyah ke 36 di Bandung tanggal 24 Juli 1965 (Ardanareswari, 2020).

Rencana bom atom Indonesia itu direncakan dilakukan melalui pihak ketiga, yaitu China. Keberhasilan Poros Peking-Jakarta pada Januari 1965 secara tidak langsung mengarahkan pada pembicaraan seputar rencana rahasia kiriman bom atom dari China (Cornejo, 1999).

Cornejo juga mengutip Ruslan Abdulgani yang merupakan Menteri Penerangan saat itu, yang merasionalisasikan langkah Soekarno mengembangkan nuklir Indonesia melalui kerjasama dengan China. Dia mengatakan bahwa bom atom bisa memiliki sifat agresif jika dipegang oleh negara agesif yang kapitalis, sebaliknya tidak demikian jika dipegang oleh negara sosialis.

Teuku Reza Fadeli mencatat bahwa senjata nuklir kemudian dijadikan alat politik Soekarno untuk mendukung kebijakan politik luar negeri Indonesia yang high profile dan konfrontatif pada masa itu. Hal ini ditandai dengan reorganisasi Lembaga Tenaga Atom (LTA) yang awalnya hanya berperan sebagai lembaga riset nuklir untuk maksud-maksud damai diubah menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) yang diharapkan Soekarno bisa mengembangkan senjata nuklir bagi Indonesia.

Untuk politik luar negeri yang high profile ini, Indonesia awalnya telah bekerjasama dengan Amerika Serikat pada Juni 1960. Kerjasama ini diwujudkan untuk membangun reaktor nuklir “Triga Mark II” di Bandung dengan dana bantuan Amerika Serikat sebesar 350 ribu dolar AS (Corjeno, 1999). Tapi ternyata Kremlin kemudian mendahului rencana ini, dengan mengirimkan dana bantuan tidak kurang dari 5 juta dolar dari Uni Sovyet yang datang setahun lebih awal dari dana Amerika Serikat (Kurniawan, 1996).

Tafsir Dinamis

Tempat-tempat yang menurut teori komunis China, pertempuran-pertempuran paling menentukan melawan imperialisme itu berlangsung dan tempat nasib dua sistem dunia yang bertentangan (kapitalis-komunis) ini akan diputuskan (Mortimer dalam Utomo, 2017). Narasi ini boleh jadi difahami oleh Soekarno sebagai seorang pemimpin—adalah peluang untuk meraih benefit.

Dengan kata lain, pertentangan di antara dua kutub ideologi yang terjadi, adalah sebuah kesempatan untuk mendapatkan keuntungan di tempat di mana pertetangan di antara keduanya terjadi. Dalam tafsir dinamis pemahaman Soekarno tentang posisi Indonesia dalam high profile politik luar negeri Indonesia, negara ini tidak hendak mengikuti salah satu dari kedua kekuatan tersebut. Tidak pula menjadi pelanduk di antara gajah-gajah.

Langkah politik Soekarno yang menawarkan Pancasila sebagai sebuah falsafah bangsa di antara dua ideologi besar dunia yang mempengaruhi, adalah sebuah strategi untuk munculnya kekuatan baru. Dan kekuatan itu bernama Indonesia Raya.

Coba simak petuah Bung Karno berikut ini: Suatu bangsa mengajar dirinya sendiri! Suatu bangsa hanyalah dapat mengajarkan apa yang terkandung di dalam jiwanya sendiri! Bangsa orang-merdeka akan mendidik anak-anak yang merdeka.

Karena itu hai Bangsa Indonesia! Dalam revolusi kita ini, janganlah kita mencari kepeloporan mental kepada orang lain. Carilah kepeloporan pada diri kita sendiri. Cari sendiri konsepsi-konsepsimu sendiri! …jadilah Bangsa yang besar yang tidak menjiplak, jadilah mercu-suar yang gemilang bersinar sendiri, susunlah kita punya konsepsi-konsepsi atas dasar dilektik Revolusi kita sendiri. Freedom to be free, freedom to be free—freedom to be free juga di alam konsepsi sendiri! Dan dengan dialektika kita itu, selalu tingkatkanlah konsesi-konsepsi Revolusi kita itu menjadi setingkat dan seirama dengan dengan dialektikanya Sejarah Umat Manusia yang sekarang juga sedang bergelora dan berbangkit. Jikalau tidak, kita nanti diganyang, dilindas menjadi glepung oleh dialektikanya Sejarah Umat Manusia itu (Siswoyo, 2013).

Soekarno dan para founding father sesungguhnya memersiapkan bangsa ini menjadi bangsa besar yang mengadidaya. Dan untuk tujuan besar itu, bangsa ini harus memiliki ideologinya sendiri, punya kekuatan persenjataan yang disegani, dan punya Negara kesatuan yang luas. Mereka, para founding father tidak segan untuk memanfaatkan negara-negara besar, tanpa harus menjadi pengikut mereka, apalagi berada dalam dikte kekuasaan global.

Maka, ya.., kita sepakat bahwa Pancasila sebagai ideologi, maka ia harus berlangsung sebagaimana sifat bawaan sebuah ideologi yang ekspansif, egosentris dan genuine. Peniadaan dari ketiga sifat ideologi tersebut hanya akan mengerdilkan keberadaan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang pernah eksis di dunia.

Sekarang mari mulai menghitung, seberapa besar penyusutan yang terjadi atas ide besar Soekarno, sejak masa Presiden Soeharto, BJ.Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, sampai Jokowi sekarang ini. Dan hitung juga seberapa sesuai sifat bawaan sebuah ideologi yang inheren di dalam Pancasila.

Oleh: Dr Dedi Sahputra, MA (Redaktur Pelaksana Harian Waspada, dan Dosen Fisipol Universitas Medan Area).