Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 03 Tahun 2021, tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro dan Pembentukan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 yang dikeluarkan di Jakarta,Pada Tanggal 5 Februari 2021.
Pada poin Ketiga disebutkan: “PPKM Mikro dilakukan melalui koordinasi antara seluruh unsur yang terlibat, mulai dan Ketua RT/RW, Kepala Desa/Lurah, Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinmas), Bintara Pembina Desa (Babinsa), Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Pos Pelayanan Keluarga Berencana Kesehatan Terpadu (Posyandu), Dasawisma, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, Penyuluh, Pendamping, Tenaga Kesehatan, dan Karang Taruna serta relawan lainnya”.
Kemudian poin Keempat: “Mekanisme koordinasi, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan PPKM Mikro dilakukan dengan membentuk Pos Komando (Posko) tingkat Desa dan Kelurahan. Untuk supervisi dan pelaporan Posko tingkat Desa dan Kelurahan dibentuk Posko Kecamatan”.
Selanjutnya poin Kelima: “Posko tingkat Desa dan Kelurahan sebagaimana dimaksud pada Diktum Keempat adalah lokasi atau tempat yang menjadi Posko penanganan COVID-19 di tingkat Desa dan Kelurahan yang memiliki empat fungsi, yaitu: a. pencegahan; b. penanganan; c. pembinaan; dan d. pendukung pelaksanaan penanganan COVID-19 di tingkat Desa dan Kelurahan.
Lalu poin Kedelapan: “Posko tingkat Desa diketuai oleh Kepala Desa yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Aparat Desa dan Mitra Desa lainnya dan Posko tingkat Kelurahan diketuai oleh Lurah yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Aparat Kelurahan, dan kepada masing-masing Posko baik Posko tingkat Desa maupun Posko tingkat Kelurahan juga dibantu oleh Satlinmas, Babinsa, Bhabinkamtibmas, dan Tokoh Masyarakat.
Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri di atas, maka tindakan kekerasan yang diduga dilakukan warga Dusun Bulu Silape, Desa Pardomuan, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara, pada Kamis, 22 Juli 2021 yang lalu, tidak mewakili tindakan pencegahan, penanganan, maupun pembinaan. Tindakan tersebut adalah tindakan perundungan, kekerasan, yang dapat memicu konflik horizontal.
Koordinasi Posko Desa melibatkan Ketua RT/ RW, Kepala Lingkungan atau Kepala Dusun, sehingga setiap peristiwa pencegahan, penanganan, pembinaan, dan pendukung pelaksanaan penanganan COVID-19 seharusnya terkoordinasi dengan baik. Jika Posko tingkat desa benar- benar ada, dan seluruh petugasnya memahami Instruksi Menteri Dalam Negeri, maka seluruh tindakannya pasti manusiawi. Kekerasan dalam penanganan pasien terpapar COVID-19, apapun alasannya adalah tindak pidana. Oleh karena itu, sebagai negara hukum, demi mewujudkan kepastian hukum dan memberi efek jera, semua pelaku yang diduga melakukan tindakan kekerasan harus diproses secara hukum.
Pasien terpapar COVID-19 seharusnya ditangani secara persuasif, dengan cinta kasih. Kita semua tidak pernah bisa memilih kapan tertular, kapan tetap sehat, maka siapapun pasien terpapar COVID-19 tidak seharusnya mengalami tindakan diskriminasi, perundungan, apalagi kekerasan. Kita seharusnya membangun semangat gotong royong dalam pengendalian COVID-19. Menggalang solidaritas dari seluruh komponen masyarakat.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara memberikan penjelasan terkait adanya seorang pria yang disebut dalam kondisi positif Corona dianiaya warga kampung. Mereka mengatakan pria itu bukan “dianiaya”, namun “diamankan” karena lari saat menjalani isolasi mandiri (Isoman).
"Bukan untuk kekerasan, hanya mengamankan”. Saya lihat masyarakat desa juga sangat peduli dengan pak Salamat Sianipar ini," kata Bupati Toba, Poltak Sitorus, pada Sabtu 24 Juli 2021.
Pernyataan Pemerintah Kabupaten Toba, dan Bupati tersebut sebagai upaya memberi perlindungan dan cari muka kepada para terduga pelaku kekerasan terhadap Salamat Sianipar. Pemerintah Kabupaten Toba dan Bupati seharusnya terlebih dahulu minta maaf karena mereka tidak mampu menjalankan Instruksi Menteri Dalam Negeri. Pilihan kata “mengamankan” sebagai upaya meyakinkan publik bahwa Salamat Sianipar, sebagai pasien terpapar COVID-19, mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat. Mereka berupaya membangun narasi “mengamankan” seorang pasien terpapar COVID-19 karena mengancam keselamatan warga lain, sementara Salamat Sianipar adalah korban kekerasan.
Tindakan kekerasan ini membuktikan bahwa Pemerintah Kabupaten Toba beserta seluruh jajarannya hingga tingkat dusun belum memiliki rencana aksi yang jelas terkait penanggulangan COVID-19. Pemerintah Pusat telah menerbitkan berbagai regulasi dalam pengendalian COVID- 19, namun secara operasional kita bermasalah. Pendekatan “top down” tanpa pelibatan masyarakat secara partisipatif, akan membuat pengendalian COVID-19 berjalan lamban. Kita semua harus bergotong royong, bergandengan tangan agar kita segera dapat mengendalikan COVID-19. Libatkan dan berdayakan masyarakat dalam rencana aksi penanggulangan COVID-19.
Pemerintah Kabupaten hingga Posko Penanggulangan COVID-19 diminta transparan dalam aksi penanggulangan COVID-19. Transparan terkait program, kegiatan, dan pengelolaan dana penanggulangan COVID-19, sehingga akan muncul partisipasi seluruh komponen masyarakat.***
Penulis adalah Koordinator Gotong Royong Nasional Pengendalian COVID-19
© Copyright 2024, All Rights Reserved