Sipiso-Piso Berbaku Pantul

Lereng Sipiso-piso di Kabupaten Karo/Ist
Lereng Sipiso-piso di Kabupaten Karo/Ist

Sebuah karya lahir dari satu objek yang mengalami interaksi dengan pekarya. Sikap dan perlakukan sang pekarya terhadap objek akan menentukan bentuk, corak, warna dan fungsi karya tersebut. Dari sinilah perbincangan kami saling berbaku pantul mengeratkan hulu hilir hingga terbentuknya sebuah ekosistem karya yang membongkar lanskap Sumatera.

Cerita bermula ketika bu Theresa Birks -seorang peneliti budaya yang konsen menelisik kedalaman Sumatera-,  menanggapi rangkaian tulisan catatan perjalanan saya di Tour The Karo Vulkano Park, 26-30 Desember 2022. Menurutnya, penggabungan dua keilmuan (jurnalistik dan seni) yang kulakukan di catatan perjalanan membuatnya ikut merasakan dan mengalami secara langsung setiap kisah yang dihadirkan. Ada banyak hal yang semula tak terbayangkan, muncul dan menghidupkan daya imajinasinya. Sebuah pengembaraan imajinasi bertitik tolak dari fakta-fakta yang ditemukan dalam perjalanan.

Dari bahasan itu kami mengaitkannya dengan pertunjukan Mantra Bah Tuah yang sudah beberapa kali dipentaskan baik secara full atau sebentuk cuplikan, lalu merembet ke rencana projek karya Larung Gunung yang hendak membangun narasi tentang Karo Vulkano Park. Jahitan itu mengarah pada kawasan hilir dan akhirnya menusuk ke proses Film Layar Lebar Perik Sidua-dua [Inseparable Souls In Tongging].

Mantra Bah Tuah dalam perwujudannya menjadikan bambu sebagai media utama untuk melahirkan cerita, mantra, lagu, musik dan berbagai syair  yang dapat dijadikan pintu keluar dan masuk keterhubungan pesisir dengan gunung. Sementara Larung Gunung diproyeksikan akan mengeksplorasi gugusan pegunungan Karo sebagai titik pergi dan pulang.  Kedua karya itu memiliki spirit sama dengan Film Perik Sidua-dua yang menjadikan Kawasan Karo Vulkano Park sebagai basis penciptaan.

Aku mencelat kembali ke hari ketiga perjalanan Tour The Karo Vulkano Park di kawasan Sipiso-piso begitu obrolan terfokus menyusur hulu hilir ekosistem karya. Keotentikan dan kekhasannya sebagai salah satu gunung di antara enam gunung api dalam kawasan Karo Vulkano Park seperti tak memiliki keistimewaan apapun. Minimnya narasi budaya yang berhasil dilahirkan merespon lelehan lava yang mengalir ke jalur celah retakan pada tubuh Sipiso-piso membentuk bentang alam berupa kubah-kubah sebagai kenyataan bahwa kita menganggapnya cuma artefak alam biasa. 

Bila kita mendudukkan gunung Sipiso-piso sebagai warisan fenomena alam bagi masyarakat Sumatera tentunya ada upaya-upaya kreatif yang berkelanjutan untuk menjadikannya geowisata bertaraf internasional. Seperti halnya warisan budaya benda takkan bermakna  bila tak dibersamai warisan budaya tak benda. Begitupun sebaliknya, ekspresi warisan budaya tak benda terasa hambar bila berjalan sendiri tanpa diiringi warisan budaya benda. Semisal guro guro aron tanpa gendang, atau rumah adat Siwaluh Jabu dibiarkan sunyi tanpa nuri-nurian.

Begitu pula gunung Sipiso-piso yang melegenda itu dibiarkan kosong tanpa suara sordam dan kulcapi, tanpa sentuhan pelukis, tanpa narasi sang pencerita, tanpa tata ruang eksotik arsitektur, tanpa ekspresi seni  dan sebenarnya banyak hal lagi dapat dikelola dengan melibatkan kekuatan hulu hilir yang berlapis-lapis. Menciptakan ekosistem geowisata Sipiso-piso adalah sebuah agenda penting untuk ditindaklanjuti dengan konsisten dan berlanjut.    

Event budaya atau apalah namanya yang berangkat dari kemahsyuran Sipiso-piso sebagai gunung yang pernah erupsi ratusan ribu tahun silam tentunya banyak menyimpan kisah hingga jadi kawasan tumbuh kembang masyarakat Karo dengan segala bentuk sistem sosial dan adat tradisinya. Puluhan bahkan ribuan agenda kerja budaya dapat dilahirkan dari sini. Ah, kepalaku kejedut besi! 

Aku masih bersama buk Theresa Birks dan Bunda Dedek hingga senja, tapi jiwaku telah memantul-mantul tinggi ke gugusan pegunungan di tanah Karo. Siang menuju sore di tanggal 28 Desember 2022 itu bersama tim produksi Film Layar Lebar Perik Sidua-dua kami meninggalkan Tongging, dan aku jadi gelisah setelah menatap gagah dan anggunnya Sipiso-piso. Berbagai macam gagasan kreatif untuk berinteraksi secara intim dengan Sipiso-piso berseliweran hilir mudik di kepala.   

Bukan sesuatu yang mudah, namun dengan sejarah pengalaman masyarakat Karo membangun jembatan kawasan antara hulu dan hilir tentunya tidaklah sulit mewujudkan. Pada akhirnya, membangun sebuah ekosistem geowisata tentunya dibutuhkan agenda besar yang berangkat dari tindakan-tindakan kecil merajut keterhubungan timbal balik berbagai elemen dan potensi.

Tindakan-tindakan kecil itu kami mulai dari Dokan. Sambal menikmati arsik ikan nila di rumah Siwaluh Jabu.

(bersambung ke bagian 7)                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  

Sebundel Catatan Tim Artistik, Tour The Karo Vulkano Park, 26-30 Desember 2022, Film Layar Lebar Perik Sidua-dua [Inseparable Souls In Tongging] ditulis oleh Pimpinan Teater Rumah Mata