Presiden Jokowi sebaiknya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Omnibus Law UU Ciptaker. Hal ini mengingat penolakan massif terjadi atas undang-undang yang dinilai tidak berpihak kepada dunia usaha di Indonesia tersebut.
Menurut Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak) Lieus Sungkarisma, akar dari kekesalan masyarakat adalah kesan tergesa-gesa yang timbul atas pengesahan UU Ciptaker. Sementara sosialisasi dan serap aspirasi publik untuk UU ini sangat minim.
Padahal, katanya, di dalam 1000 halaman lebih draft RUU yang terdiri dari sebelas cluster itu, seperti menyangkut perumahan, perkebunan, pertambangan, peternakan, transportasi, energy, buruh/pekerja, pendidikan bahkan label halal dan lain-lain, masih banyak pasal-pasal yang kontroversial, tidak jelas dan multifatsir.
“Jadi pengesahan UU ini sangat terburu-buru, sementara tak ada penjelasan yang memadai baik dari pemerintah maupun DPR kepada rakyat. Wajar saja kalau rakyat kemudian menolak,” katanya kepada redaksi, Jumat (8/10).
Lieus mengaku sependapat dengan NU dan Muhammadiyah serta sejumlah tokoh agama yang menolak disahkannya UU Cipta Kerja. Baginya, penolakan ormas dan masyarakat adalah hal yang wajar terjadi.
“Tanpa sosialisasi yang memadai, wajarlah kalau masyarakat berpendapat UU ini memang berpotensi mengancam dan merampas ruang hidup rakyat kecil,” sambung Lieus.
Kepada Presiden Joko Widodo, Lieus meminta untuk mendengarkan aspirasi rakyat yang secara serentak tanpa dikoordinir melakukan aksi. Apalagi, sudah ada enam gubernur dan sejumlah bupati/walikota serta lembaga DPRD yang juga menolak UU itu.
“Seharusnya penolakan ini menjadi masukan pada pemerintah untuk mengevaluasi substansi dari UU Omnibus ini,” katanya.
“Pembatalan ini tentu saja demi kepentingan yang lebih besar, yakni kemaslahatan bangsa dan negara ini,” tegasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved