Banyaknya warga yang menolak jenazah anggota keluarga mereka ditangani sesuai standart covid-19 membuat kalangan medis merasa miris. Menurut mereka hal ini seharusnya tidak terjadi karena pelaksanaan standart covid-19 tersebut seluruhnya untuk kepentingan bersama. Tim ahli Balitbang Provinsi Sumatera Utara untuk Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan (GTPP) Covid-19, dr Delyuzar mengatakan apa yang dilakukan oleh medis terhadap jenazah pasien yang terindikasi covid-19 merupakan protokol yang mengikuti standart World Health Organization (WHO). Dimana sejak warga dinyatakan memiliki gejala terinfeksi covid-19, maka yang penanganannya sudah harus berdasarkan standart covid. "Karena itulah maka ketika seorang yang berstatus PDP meninggal dunia maka proses penguburannya akan dilakukan sesuai standar penanganan covid-19. Persoalan yang muncul adalah, saat pasien PDP ini dimakamkan dengan standar covid-19, keluarganya marah karena sering hasil laboratoriumnya belum keluar," katanya kepada RMOLSumut, Kamis (11/6). Delyuzar menjelaskan, dalam menegakkan diagnosa pihak medis melakukan rangkaian yang panjang. Mulai dari pengamatan klinis, pemeriksaan awal, hingga berbagai tahapan lain dan terakhir yakni pemeriksaan laboratorium. Bahkan katanya, pemeriksaan terakhir berupa hasil laboratorium bisa dikatakan hanyalah sebagai justifikasi terakhir seorang pasien positif. "Sebelum itu muncul, maka penanganan medis terhadap PDP wajib dengan standart covid-19. Karena kita kan tidak boleh mengambil resiko misalnya kalau pasien meninggal ditangani tidak sesuai standart covid-19 namun akhirnya hasil lab positif. Apa bisa diulang kembali? ini yang harus kita pikirkan bersama," ujarnya. Lebih lanjut kata dr Delyuzar, mereka sangat miris atas munculnya selentingan yang menyebut penetapan status tersebut merupakan konspirasi untuk menguntungkan dokter dan rumah sakit. Menurutnya hal ini merupakan pernyataan yang sangat disayangkan. Ia menjabarkan meski tidak bermaksud membeda-bedakan layanan kesehatan namun dokter dan tenaga medis pasti lebih senang jika pasien yang datang bukan terindikasi covid meskipun pembayaran covid dilakukan oleh negara dan verifikasinya oleh BPJS dengan INA-C-BG's. Kemudian pada sisi lain, yang sering jadi persoalan adalah pasien justru tidak jujur mengenai riwayat perjalanan terkait keluhannya. "Kalau pasien biasa kan dokter memakai APD. Nah, begitu hasil diagnosa ternyata pasien positif. Maka dokter harus rapid test, dan ini biayanya tidak kecil," ujarnya. "Dari gambaran ini saja kita bisa lihat, tidak ada untungnya bagi medis dan rumah sakit menetapkan seseorang berstatus covid," ungkapnya. Karena itu ia berharap, masyarakat memahami bahwa diagnosa terhadap pasien merupakan hal yang murni didasarkan pada fakta pasien tersebut. Terkait penanganannya, medis juga hanya mengikuti standart yang berlaku. Masyarakat diharapkan memahami, dengan demikian juga bisa terhindar dari penularan covid-19.[R]
Banyaknya warga yang menolak jenazah anggota keluarga mereka ditangani sesuai standart covid-19 membuat kalangan medis merasa miris. Menurut mereka hal ini seharusnya tidak terjadi karena pelaksanaan standart covid-19 tersebut seluruhnya untuk kepentingan bersama. Tim ahli Balitbang Provinsi Sumatera Utara untuk Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan (GTPP) Covid-19, dr Delyuzar mengatakan apa yang dilakukan oleh medis terhadap jenazah pasien yang terindikasi covid-19 merupakan protokol yang mengikuti standart World Health Organization (WHO). Dimana sejak warga dinyatakan memiliki gejala terinfeksi covid-19, maka yang penanganannya sudah harus berdasarkan standart covid. "Karena itulah maka ketika seorang yang berstatus PDP meninggal dunia maka proses penguburannya akan dilakukan sesuai standar penanganan covid-19. Persoalan yang muncul adalah, saat pasien PDP ini dimakamkan dengan standar covid-19, keluarganya marah karena sering hasil laboratoriumnya belum keluar," katanya kepada RMOLSumut, Kamis (11/6). Delyuzar menjelaskan, dalam menegakkan diagnosa pihak medis melakukan rangkaian yang panjang. Mulai dari pengamatan klinis, pemeriksaan awal, hingga berbagai tahapan lain dan terakhir yakni pemeriksaan laboratorium. Bahkan katanya, pemeriksaan terakhir berupa hasil laboratorium bisa dikatakan hanyalah sebagai justifikasi terakhir seorang pasien positif. "Sebelum itu muncul, maka penanganan medis terhadap PDP wajib dengan standart covid-19. Karena kita kan tidak boleh mengambil resiko misalnya kalau pasien meninggal ditangani tidak sesuai standart covid-19 namun akhirnya hasil lab positif. Apa bisa diulang kembali? ini yang harus kita pikirkan bersama," ujarnya. Lebih lanjut kata dr Delyuzar, mereka sangat miris atas munculnya selentingan yang menyebut penetapan status tersebut merupakan konspirasi untuk menguntungkan dokter dan rumah sakit. Menurutnya hal ini merupakan pernyataan yang sangat disayangkan. Ia menjabarkan meski tidak bermaksud membeda-bedakan layanan kesehatan namun dokter dan tenaga medis pasti lebih senang jika pasien yang datang bukan terindikasi covid meskipun pembayaran covid dilakukan oleh negara dan verifikasinya oleh BPJS dengan INA-C-BG's. Kemudian pada sisi lain, yang sering jadi persoalan adalah pasien justru tidak jujur mengenai riwayat perjalanan terkait keluhannya. "Kalau pasien biasa kan dokter memakai APD. Nah, begitu hasil diagnosa ternyata pasien positif. Maka dokter harus rapid test, dan ini biayanya tidak kecil," ujarnya. "Dari gambaran ini saja kita bisa lihat, tidak ada untungnya bagi medis dan rumah sakit menetapkan seseorang berstatus covid," ungkapnya. Karena itu ia berharap, masyarakat memahami bahwa diagnosa terhadap pasien merupakan hal yang murni didasarkan pada fakta pasien tersebut. Terkait penanganannya, medis juga hanya mengikuti standart yang berlaku. Masyarakat diharapkan memahami, dengan demikian juga bisa terhindar dari penularan covid-19.© Copyright 2024, All Rights Reserved