Pintu Maaf 'Salah' Bagi Koruptor di Pemilu 2024

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

Korupsi saat ini terus menggerogoti bangsa Indonesia. Perilaku yang pada beberapa negara maju tidak mendapat tempat untuk dimaafkan oleh rakyat ini tak ubahnya seperti penyakit akut yang menggerogoti tubuh manusia. Penyakit yang sesungguhnya hanya sembuh saat tubuh yang digerogotinya mati.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saban hari terus menjadi pemberitaan seiring upaya mereka melakukan pencegahan hingga penindakan terhadap para pelaku korupsi. Anehnya, aksi pemberantasan korupsi pada lembaga yang dipimpin oleh Firli Bahuri ini justru digiring ke ranah politis dengan menyebut aksi yang sesungguhnya untuk menyingkirkan penyakit akut bangsa ini, tidak lagi murni untuk penegakan hukum. Sudah masuk ranah politis.

Munculnya paradigma berfikir dengan menyebut aksi KPK tersebut sangat politis menurut saya adalah bentuk pelemahan terhadap Firli Bahuri dan kawan-kawan. Tidak hanya bagi mereka, ini juga penggiringan opini masyarakat agar menilai KPK menjadi alat politik. 

Satu hal yang perlu diperhatikan dan harus direnungkan dengan pikiran jernih adalah fakta bahwa isu ini muncul jelang pemilu 2024. Agenda politik lima tahunan yang bertujuan untuk merebut kekuasaan baik pada kursi eksekutif maupun legislatif. Gagal paham berarti membiarkan Indonesia ke jurang kehancuran, sejauh ini saya memaknainya begitu.

Sejak KPK dibentuk, ratusan pelaku korupsi sudah terjerat dan bahkan ratusan diantaranya juga mungkin sudah menyelesaikan hukumannya. Setelahnya, mereka justru dengan bangga sering mengatakan jika dirinya sudah bersih karena sudah 'dicuci' dengan hukuman yang sudah mereka jalani. Sebuah pemikiran yang menurut saya teramat sangat dungu dan sangat tidak tau malu.

Rakyat saya kira perlu hati-hati sebab alibi ini juga sarat dengan muatan politis dimanan nantinya dengan alibi sudah 'dicuci' sehingga kembali menjadi 'suci', mereka akan dengan percaya diri untuk tampil sebagai kontestan di Pemilu 2024.

Mengajak masyarakat berfikir kritis saat ekonomi rumah tangga kondisinya semakin tragis saya kira menjadi hal yang sangat sulit. Sebab, perut lapar hanya bisa diselesaikan dengan makan segera. Disini letak kemenangan para koruptor atau pun mantan koruptor yang kemudian masih ingin menjadi kontestan Pemilu 2024.

Secara ekonomi, mereka masih bisa dikatakan berkecukupan. Mungkin saja masih ada sisa hasil usaha (SHU) korupsi mereka sebelum 'dicuci'. Karena meski semangat 'memiskinkan' para terdakwa koruptor sudah digaungkan, faktanya ketukan palu hakim sering 'berbunyi' lain. Alhasil, SHU pasca menjalani hukuman masih lebih dari cukup untuk modal 'menyuap' rakyat yang 'butuh beras sekarang untuk dimakan besok'.

Sesungguhnya pada tahapan inilah wajah para pencuri uang rakyat itu akan berubah menjadi pahlawan. Dan masyarakat akan masa bodoh untuk melihat jauh kedepan. Suara mereka bisa menghasilkan uang sekarang, memangnya mau nunggu kapan lagi? begitu mereka berfikirnya.

Para koruptor bisa mengklaim diri bahwa mereka sudah 'dicuci' dan kembali menjadi suci. Tapi, rakyat perlu memahami jika perilaku korup itu terjadi saat mereka memiliki jabatan dan kekuasaan. 

Memberi maaf sesungguhnya merupakan perilaku mulia, karena inti dari memberi maaf bagi yang bersalah adalah melupakan kesalahannya. Namun memberi jalan bagi pada koruptor maupun mantan koruptor untuk kembali berkuasa saya kira adalah bentuk pintu maaf 'salah' di Pemilu 2024.***