'Hanya bilik bambu tempat tinggal kita. Tanpa hiasan, tanpa lukisan. Beratap jerami beralaskan tanah. Namun semua ini punya kita. Memang semua ini milik kita sendiri.
Hanya alang-alang pagar rumah kita. Tanpa anyelir, tanpa melati. Hanya bunga bakung tumbuh di halaman. Namun semua itu punya kita. Memang semua itu milik kita sendiri
Haruskah kita beranjak ke kota. Yang penuh dengan tanya? Lebih baik di sini, rumah kita sendiri. Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa. Semuanya ada di sini. Rumah kita.'
Begitulah bagian dari lirik yang dinyanyikan Ahmad Albar dari band Gong 2000 yang memberi judul salah satu lagunya “Rumah Kita?”
Perluasan wilayah kota adalah hal yang umum terjadi di dunia. Satu segi dapat dilihat sebagai salah satu gejala urbanisasi. Kota-kota semakin dipadati oleh orang-orang yang terdorong (push) dari pedesaan menuju harapan hidup baru (pull) di perkotaan.
Dengan begitu, sebetulnya ada segi lain dari gejala perluasan wilayah kota, salah satu di antaranya ialah bertambahnya beban pemerintahan kota. Orang-orang yang merasa akan beroleh keberuntungan di kota datang dari desa-des dengan bekal yang tidak memadai. Kota akan menambah masalah sosial yang tidak selalu mudah ditanggulangi (gelandangan, tuna wisma, pengemis, kriminal, dan lain-lain).
Tentu saja perluasan wilayah perkotaan dapat juga sebagai bukti atas kesenjangan pembangunan. Bahwa sekiranya orang desa merasa aksesnya terhadap pembangunan cukup besar, tidak ada alasan buat mereka untuk beranjak ke kota.
Dalam kajian ilmu sosial bahkan Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam karya terkenalnya (Muqaddimah) sudah menegaskan polarisasi itu yang kemudian diikuti oleh ilmuan abad 19 seperti Ferdinand Tonnies dengan konsepnya gemeinschaft (masyarakat desa) dan gesellschaft (masyarakat kota); atau Emile Durkheim dengan konsep solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
Kawasan Strategis Nasional (KSN)
Kota-kota besar di Indonesia mengalami hal serupa dan dicoba dijawab dengan proyek urbanisasi algomeratif yang dinamai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Tetapi umumnya ini adalah sebuah ambisi perubahan besar yang direncanakan dan dikendalikan oleh para pemodal tingkat dunia yang dilegitimasi oleh negara. Galibnya, taklah begitu susah menelusuri anatomi sejarah dan mekanisme proyek semacam ini dari awal kemunculan penggagas hingga disahkan menjadi “rencana milik negara”.
Perluasan wilayah kota Medan adalah salah satu dari 6 Kawasan Strategis Nasional (KSN) sebagaimana ditetapkan oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia No 62 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, Dan Karo berdasarkan ketentuan UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Intinya rencana ini bertujuan merealisasikan ambisi yang secara formal dideklarasikan untuk menciptakan kota-kota terhubung yang nyaman dihuni, produktif dan terbuka bagi pelayanan kepentingan ekonomi dan modal global. Sangat kentara penataan ruangnya diprioritaskan untuk mendukung aktivitas ekonomi, tentu saja. Kehidupan sosial dan budaya di ruang-ruang publik dengan akses yang mudah juga diperhatikan dalam rencana itu.
Dibayangkan, nanti, pusat kota lama Medan dan Kawasan Tembakau Deli akan direvitalisasi secara besar-besaran. Itu menuntut penataan kawasan ruang terbuka hijau yang juga bisa secara historis diklaim menjadi semacam perlambang khas Mebidangro. Selain itu memantapkan Koridor Hijau dianggap penting dalam aksentuasi keramah-tamahan atas lingkungan.
Ini akan ditempuh dengan meneguhkan kawasan hutan di hulu dan hilir Mebidangro sebagai resapan air untuk melindungi flora dan fauna. Juga akan dibangun ruang terbuka hijau sepanjang sempadan sungai, dalam bentangan Bukit Barisan sampai Selat Malaka, sempadan waduk/danau, dan sempadan pantai Selat Malaka. Pengembangan akses strategis Mebidangro juga akan dilakukan dengan membangun sistem jaringan angkutan massal (jalan raya, kereta api dan memadukan sistem transportasi darat, udara, dan laut di Pelabuhan Belawan, Bandara Kualanamu dan Stasiun Medan).
Jika Anda membaca keterangan tentang Hasrat Joko Widodo memindahkan ibukota, hal itu hanyalah bentuk imitasi yang dulu pernah dipikirkan oleh Soekarno, Soeharto dan juga SBY. Intinya ialah keluhan atas kapasitas kota yang dipandang tak lagi memadai untuk memenuhi modernisasi dan globalisasi. Kebijakan ini lebih dari sekadar mengakomodasi modernisasi dan globalisasi, tetapi juga obsesi untuk memiliki sebuah legacy untuk Indonesia. Artinya ambisi juga ada di sana.
PP Nomor 22 Tahun 1973
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 wilayah kota Medan (waktu itu statusnya Kota Madya) pernah diperluas dengan memasukkan beberapa Kecamatan dari Kabupaten Deliserdang menjadi wilayah hukum Kota Medan.
Wilayah Kotamadya Medan yang diperluas waktu itu ialah dengan memasukkan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang yaitu Kecamatan Kota Belawan (Belawan I, Belawan II, Belawan III).
Kecamatan Medan Labuhan, yang meliputi kampung Besar, Labuhan Deli, Sei Mati, Pekan Labuhan Deli, Terjun, dan Rengas Pulau.
Kecamatan Medan Deli, yang meliputi Kampung Titi Papan, Mabar, Tanah Enam Ratus, Kota Bangun, Tanjung Mulia.
Kecamatan Medan Sunggal, yang meliputi Kampung Perladangan Helvitia, Tanjung Gusta, Cinta Damai, Dwikora, Sei Sikambing C.II, Lalang, Sei Sikambing B, Sunggal, Babura Sunggal, Tanjung Rejo, Padang Bulan Selayang I.
Kecamatan Medan Denai, yang meliputi Kampung Bandar Selamat, Bantan, Tembung, Tegalsari, Denai, Binjai, Amplas.
Kecamatan Medan Tuntungan, yang meliputi Kampung Asam Kumbang, Tanjung Sari, Padang Bulan Selayang II, Tanjung Selamat, Simpang Selayang, Namu Gajah, Kemenangan Tani, Lau Cih, Sidomulyo, Daru, Simalingkar B.
Kecamatan Medan Johor, yang meliputi Kampung Bangun Mulia, Timbang Deli, Harjosari, Sukamaju, Titi Kuning, Kedai Durian, Pangkalan Masyhur, Gedong Johor, Kwala Bekala, Mangga.
Konsideran (pertimbangan) yang digunakan waktu itu ialah perkembangan Daerah Propinsi Sumatera Utara dan Kotamadya Medan sebagai ibukota Propinsi yang semakin meningkat, sehingga dipandang tidak dapat lagi menampung segala aspirasi dan kebutuhan masyarakat, terutama dibidang pembangunan.
Memperkirakan Dampak
Jika nanti rencana itu benar-benar terwujud, konon dibayangkan penduduk Medan dan sekitarnya sungguh akan ‘beruntung’. Karena hingga saat ini hanya 3 kota lain yang mendapatkan perhatian serupa dari pemerintahan Nasional, yaitu Jabodetabekpunjur yang menggabungkan Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Mamminasata yang menggabungkan Makassar dan daerah-daerah sekitarnya. Proyek Sarbagita akan menggabungkan kota Denpasar dan daerah-daerah sekitarnya.
Tetapi penduduk Medan dan sekitarnya juga akan sangat berpotensi untuk beroleh dampak serius yang luas. Mengapa begitu? Gambaran tentang tanda-tanda akan hadirnya berbagai masalah sudah terlihat. Kepala Bappeda Sumatera Utara Riadil Akhir, misalnya, pernah berkata demikian “Beberapa waktu lalu kami dikejutkan banjir di Medan, padahal sebelumnya belum pernah banjir. (https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/2679).
Rupanya perkembangan proyek Mebidangro sudah menunjukkan indikasi negatif yang dalam waktu yang belum terlambat masih saja tentu bisa direncanakan lebih humanis. Tetapi satu hal yang pasti terasa sekali rencana besar ini tak boleh mengabaikan pencarian solusi makroskopik.
Perlulah dicatat di sini desakan moral yang telah muncul dari berbagai kalangan yang menginginkan orientasi RTR Mebidangro berbasis ekosistem dan DAS, tidak hanya perkotaan saja. Tentu saja juga UU Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007 harus dirujuk dengan kecermatan yang tinggi, dan lain-lain.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya telah lama menjadi perbincangan para analis di seluruh dunia tentang sifat perencanaan kota yang selalu dihadapkan pada berbagai masalah besar, terutama di kota berukuran kecil dan menengah yang dapat dianggap miskin melalui beberapa kriteria. Kriteria itu antara lain ialah tingkat sosial ekonomi mayoritas penduduk, rendahnya tingkat investasi publik, kualitas administrasi lokal yang lemah, dan dalam keadaan seperti itu menjadi semakin begitu sempurna untuk memperbesar ketergantungan yang meniscayakan kepada donor eksternal yang lazim dijuluki investor. Semua itu bernada tudingan yang terlalu berambisi untuk mengesahkan Hasrat kapital. Janganlah lupa bahwa investor adalah penamaan sepihak untuk mekanisme penggerusan keuntungan dari wilayah yang dieskploitasi atas nama modal meski selalu dilabeli pembangunan bertema kesejahteraan rakyat.
Salah satu alasan utama dalam kemisteriusan ini adalah bahwa filosofi dan metode perencanaan kota yang diterapkan pada konteks khusus seperti ini ialah bahwa sesungguhnya secara langsung semua konsep dan pemikiran serta tujuan utanma adalah sesuatu yang direproduksi dari tradisi Barat. Orang akan tersunglap memelorotkan daya nalar dan secara permisif menerima esensi rencana perubahan yang dipaksakan meski sangat tidak sesuai dengan konteks lokal dan nasional dalam hal kebutuhan, prioritas dan organisasi masyarakat, apalagi dari segi sumber keuangan dan pembiayaan.
Ini adalah dilemma ajeg proses perencanaan kota yang bersifat eksogen, dalam arti tidak benar-benar sesuai dengan permintaan masyarakat, tidak juga dengan sumber daya manusia, material dan keuangan kota, dan oleh karena itu seyogyanya lebih baik menjadi akan sangat jarang diterapkan dalam sebuah negeri yang memiliki tingkat kemandirian yang benar karena kepemihakan atas kepentingan maslahat rakyat. Penyimpangan dan pengingaran serius ini sagat mudah dijelaskan ketika kita mengetahui bahwa tata kota dalam desainnya, dimulai sebagai bagian dari kerangka kerja sama antara pemerintah pusat dan investor asing atau yang terkadang diplesetkan dengan istilah donor asing.
Diagnosis awal pastilah dibuat oleh profesional berkualitas tertentu tetapi terputus dari administrasi lokal dan realitas sosial lainnya. Padahal pertimbangan semacam itu adalah kebutuhan moral dan praktikal yang harus dipenuhi. Tetapi faktanya, rencana yang dibuat dalam konteks ini tidak dimaksudkan untuk keberfungsian sehat untuk memandu otoritas lokal dalam pengembangan wilayah perkotaan saat ini dan pada masa depan. Juga bukanlah sesuatu yang boleh disebut merupakan instrumen dialog antara pihak berwenang dan penduduk lokal.
Sebaliknya, setiap konsultasi dengan komunitas yang tidak menghasilkan kesepakatan dan kompromi dari persilangan keras yang diharapkan pastilah akan selalu memperkuat ketidakpercayaan, atau bahkan pembangkangan terhadap kekuatan publik, politik, dan administratif. Risiko yang lazim adalah pengorbanan demi pengorbanan atas keluhuran pengakuan atas hak-hakl rakyat. Tetapi paling-paling, rencana-rencana, yang kehilangan esensi utamanya sebagai gerak besar untuk tujuan kesejahteraan rakyat, menjadi alat promosi, produk pemasaran murni, katalog teknis atas niat komunitas-komunitas yang tidak punya uang atas belas kasihan para investor, baik itu badan kerja sama negara atau luar negeri.
Berbagai pengalaman di dunia telah membuktikan bahwa distorsi tata kota senacam ini benar-benar merusak keterpaduan proses, baik dalam menetapkan prioritas infrastruktur dan peralatan yang akan diwujudkan, di bidang ekonomi dan sosial yang selalu secara formal diunggulkan. Tidak ada lagi yang bisa diprogram, karena semua pekerjaan diselesaikan tergantung pada pemberi dana eksternal tadi, tanpa kesinambungan, tanpa prinsip keterpanduan, dan tanpa jaminan yang memungkinkan segala sesuatunya akan selesai tepat waktu happy ending, malah sebaliknya berpotensi menciptakan disorganisasi jangka panjang.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman ini dan dalam perbandingan dengan penelitian lain tentang pembangunan perkotaan di kota-kota Afrika terasa harus dipertimbangkan kembali semua ini dengan kerelaan sepenuhnya. Substansi terpenting (yang terlalu sering diabaikan) adalah memulai dari diagnosis partisipatif atas situasi kota yang sebenarnya diperiksa dalam berbagai dimensinya, baik demografis dan spasial, infrastruktur, tetapi juga ekonomi, sosial dan lingkungan, yang memungkinkan semua pemangku kepentingan terfasilitasi dengan sehat untuk memosisikan diri mereka sendiri (Jean-Claude Bolay, 2020).
Perenungan Ulang
Salah satu retorika yang sering dilontarkan para elite Indonesia dan para pemimpin negara-negara lemah adalah keingingan mereka untuk membangun kota metropolitan ‘kelas dunia’ sebagaimana London di Inggris, New York di Amerika dan Tokyo di Jepang. Sebetulnya mereka tak lebih dari penyambung absesi rakus (komprador) bagi tangan pemodal skala dunia. Mengapa begitu? Tak aka nada terbertik dalam Nurani komprador kenyataan sosial London yang telah menjadi salah satu kota yang paling banyak dilanda kerusuhan dalam beberapa tahun terakhir. Tokyo telah menjadi salah satu kota dengan biaya hidup termahal di dunia dengan penduduk yang sangat gandrung memilih jalan bunuh diri. Tidak ketinggalan New York yang telah menjelma menjadi salah satu kota maju tanpa Nurani tersebab telah menjadi fakta tempat pemelihara tingkat kemiskinan tertinggi di dunia.
Semua ini terjadi karena retorika pembangunan kota dunia itu sebenarnya adalah alat para elite (penguasa dan pengusaha) memaksimalkan kesegaraan dan tingkat kepastian peraihan keuntungan dengan mengorbankan mayoritas penduduk kota. Kota dunia hanya dimaksudkan untuk menguntungkan penguasa dan pengusaha. Bukan mayoritas penduduk kota, apalagi kalangan miskin yang pasti akan semakin miskin. Bangunan, budaya, dan aturan dirancang untuk menjadikan kapital sebagai dasar sistem kehidupan dan hubungan sosial. Lebih ironis lagi, mayoritas penduduk kota (dan tentu saja desa) yang miskin itulah yang sering menjadi pihak yang terpaksa mendanai pembangunan kota dunia melalui hutang luar negeri dan berbagai macam pajak yang diciptakan melalui kewenangan kekuasaan.
Jika secara sederhana saja dapat ditunjukkan kota-kota direkayasa agar lebih produktif dalam penciptaan komoditi (barang dan jasa) sekaligus distributif dalam sirkulasi kapital, maka bantahan atas ambisi membangun kota dunia adalah moralitas yang mestinya tumbuh subur.
Bukankah ekspresinya bisa dilihat dalam perluasan volume jalan raya, pengembangan infrastruktur transportasi nasional dan internasional seperti pelabuhan dan bandar udara, penciptaan pusat-pusat ekonomi primer hingga tersier. Simultan dengan pembentukan layout-nya, kota juga disulap sebagai preservai industri MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) dan area turisme, yang sebetulnya adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak lebih sebagai sirkulasi manusia ke berbagai tempat untuk mengkonsumsi, atau produk sampingan dari sirkulasi komoditi?***
Penulis adalah pengamat kebijakan pemerintah di Kota Medan
© Copyright 2024, All Rights Reserved