DALAM Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Selasa, 12 Mei 2020, mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Perppu Nomor 1 tahun 2020 diteken Jokowi sebagai landasan hukum kebijakan keuangan di tengah situasi yang genting akibat pandemi corona karena kekosongan hukum. Melalui aturan tersebut, pemerintah menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (ABPN) 2020 sebesar Rp 405,1 triliun. Selanjutnya juga terbit SKB nomor 119/2813/SJ nomor 177/KMK.07/2020 mengatur tentang penanganan Covid-19 dan pengamanan daya beli masyarakat dan perekonomian nasional sebagai turunan dari Perppu No 1 tahun 2020. Dalam SKB tersebut, ada dua poin penting yang menjadi perhatian kita bersama. Pertama, Pemda diminta untuk melakukan penyesuaian target pendapatan daerah dalam APBD 2020. Penyesuaian dilakukan melalui penyesuaian pendapatan transfer ke daerah dan dana desa dan penyesuaian pendapatan daerah. Kedua, pemerintah daerah diminta untuk melakukan penyesuaian belanja daerah melalui rasionalisasi belanja pegawai, barang dan jasa sekurang-kurangnya 50% dan belanja modal sekurang-kurangnya 50%. Selisih dari anggaran hasil penyesuaian digunakan untuk mendanai prioritas penangan covid-19 di daerah. Di antaranya adalah : Belanja bidang kesehatan dan hal-hal lain terkait kesehatan dalam rangka pencegahan dan penanganan covid-19, penyediaan jaring pengaman sosial/social safety net, dan penanganan dampak ekonomi terutama menjaga agar dunia usaha daerah tetap hidup. Dalam prosesnya, berdasarkan SKB tersebut pemerintah daerah harus transparan terkait arahan penyesuaian target pendapatan daerah dan penyesuaian belanja daerah. Sehingga kemampuan keuangan daerah dapat terukur dengan baik. Jika kemampuan keuangan daerah sudah dapat dikalkulasi, tentu akan lebih mudah dalam pendistribusian selisih dana yang diperoleh untuk mendanai prioritas penanganan covid-19. Peran lembaga legislatif sangat diperlukan di sini untuk menjalankan tugas dan fungsi pokoknya sebagai mitra pemerintah dalam mengawasi setiap kebijakan yang diambil serta penerapan dari rencana anggaran tersebut. Hal ini sangat penting dilakukan agar baik pemerintah daerah sebagai pengguna anggaran maupun lembaga legislatif dapat mengantisipasi jika terdapat titik lemah/celah kosong yang belum tersentuh program-program prioritas penanganan covid-19. Sehingga diharapkan program-program tersebut dapat berjalan efektif dalam meminimalisir dampak wabah covid-19. Selain itu, pengawasan lembaga legislatif juga juga penting dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan kebocoran anggaran. Terdapat banyak celah/potensi kebocoran anggaran yang dimaksud, terutama dalam proses realisasi program prioritas penanganan covid-19. Di antaranya seperti : pengadaan alat kesehatan dan APD serta penyalurannya, pengadaan barang-barang kebutuhan pokok/ atau penyaluran dana bantuan sosial langsung kepada masyarakat, serta program untuk pelaku usaha daerah. Program-program tersebut perlu dikawal oleh lembaga legislatif, agar berjalan efektif, tepat sasaran, dan minim penyimpangan. Mindset ini harus dibangun bersama antara lembaga legislatif dan pemerintah daerah. Jangan sampai pola pikir yang terbentuk, pengawasan yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan politis dan saling menjatuhkan. Kepentingan masyarakat harus di atas segalanya saat ini, karena wabah covid-19 sudah sangat berdampak hebat dalam semua sektor kehidupan masyarakat. Pemerintah/eksekutif harus bersinergi dengan lembaga legislatif, karena biar bagaimanapun anggota legislatif juga bersentuhan langsung dengan masyarakat bawah. Anggota legislatif memiliki tanggung jawab moral terhadap setiap keluhan yang sampai kepada mereka. Dengan begitu proses cross check terhadap pelaksanaan program prioritas tadi dapat lebih mudah dilakukan untuk membantu pemerintah daerah.*** Wasis Wiseso Pamungkas, S.Pt, Peneliti Kebijakan Publik Indekstat Indonesia
DALAM Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Selasa, 12 Mei 2020, mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Perppu Nomor 1 tahun 2020 diteken Jokowi sebagai landasan hukum kebijakan keuangan di tengah situasi yang genting akibat pandemi corona karena kekosongan hukum. Melalui aturan tersebut, pemerintah menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (ABPN) 2020 sebesar Rp 405,1 triliun. Selanjutnya juga terbit SKB nomor 119/2813/SJ nomor 177/KMK.07/2020 mengatur tentang penanganan Covid-19 dan pengamanan daya beli masyarakat dan perekonomian nasional sebagai turunan dari Perppu No 1 tahun 2020. Dalam SKB tersebut, ada dua poin penting yang menjadi perhatian kita bersama. Pertama, Pemda diminta untuk melakukan penyesuaian target pendapatan daerah dalam APBD 2020. Penyesuaian dilakukan melalui penyesuaian pendapatan transfer ke daerah dan dana desa dan penyesuaian pendapatan daerah. Kedua, pemerintah daerah diminta untuk melakukan penyesuaian belanja daerah melalui rasionalisasi belanja pegawai, barang dan jasa sekurang-kurangnya 50% dan belanja modal sekurang-kurangnya 50%. Selisih dari anggaran hasil penyesuaian digunakan untuk mendanai prioritas penangan covid-19 di daerah. Di antaranya adalah : Belanja bidang kesehatan dan hal-hal lain terkait kesehatan dalam rangka pencegahan dan penanganan covid-19, penyediaan jaring pengaman sosial/social safety net, dan penanganan dampak ekonomi terutama menjaga agar dunia usaha daerah tetap hidup. Dalam prosesnya, berdasarkan SKB tersebut pemerintah daerah harus transparan terkait arahan penyesuaian target pendapatan daerah dan penyesuaian belanja daerah. Sehingga kemampuan keuangan daerah dapat terukur dengan baik. Jika kemampuan keuangan daerah sudah dapat dikalkulasi, tentu akan lebih mudah dalam pendistribusian selisih dana yang diperoleh untuk mendanai prioritas penanganan covid-19. Peran lembaga legislatif sangat diperlukan di sini untuk menjalankan tugas dan fungsi pokoknya sebagai mitra pemerintah dalam mengawasi setiap kebijakan yang diambil serta penerapan dari rencana anggaran tersebut. Hal ini sangat penting dilakukan agar baik pemerintah daerah sebagai pengguna anggaran maupun lembaga legislatif dapat mengantisipasi jika terdapat titik lemah/celah kosong yang belum tersentuh program-program prioritas penanganan covid-19. Sehingga diharapkan program-program tersebut dapat berjalan efektif dalam meminimalisir dampak wabah covid-19. Selain itu, pengawasan lembaga legislatif juga juga penting dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan kebocoran anggaran. Terdapat banyak celah/potensi kebocoran anggaran yang dimaksud, terutama dalam proses realisasi program prioritas penanganan covid-19. Di antaranya seperti : pengadaan alat kesehatan dan APD serta penyalurannya, pengadaan barang-barang kebutuhan pokok/ atau penyaluran dana bantuan sosial langsung kepada masyarakat, serta program untuk pelaku usaha daerah. Program-program tersebut perlu dikawal oleh lembaga legislatif, agar berjalan efektif, tepat sasaran, dan minim penyimpangan. Mindset ini harus dibangun bersama antara lembaga legislatif dan pemerintah daerah. Jangan sampai pola pikir yang terbentuk, pengawasan yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan politis dan saling menjatuhkan. Kepentingan masyarakat harus di atas segalanya saat ini, karena wabah covid-19 sudah sangat berdampak hebat dalam semua sektor kehidupan masyarakat. Pemerintah/eksekutif harus bersinergi dengan lembaga legislatif, karena biar bagaimanapun anggota legislatif juga bersentuhan langsung dengan masyarakat bawah. Anggota legislatif memiliki tanggung jawab moral terhadap setiap keluhan yang sampai kepada mereka. Dengan begitu proses cross check terhadap pelaksanaan program prioritas tadi dapat lebih mudah dilakukan untuk membantu pemerintah daerah.*** Wasis Wiseso Pamungkas, S.Pt, Peneliti Kebijakan Publik Indekstat Indonesia© Copyright 2024, All Rights Reserved