Agus menegaskan, secara umum kualitas SDM Indonesia tidaklah kalah dengan negara maju. Terbukti sejumlah penghargaan bergengsi di bidang ilmu pengetahuan sering dimenangkan perwakilan Indonesia. Hal yang sama juga berlaku untuk peneliti Indonesia.
\"Banyak yang memiliki kemampuan luar biasa dan menghasilkan berbagai inovasi yang membanggakan,\" katanya.
Saat ini BLI KLHK memiliki 487 peneliti dengan jumlah profesor riset sebanyak 10 orang. Mayoritas peneliti BLI KLHK adalah lulusan S2 dan S3. Tahun ini BLI KLHK, kata Agus, berharap bisa melantik kembali minimal 2 profesor riset.
Penghargaan rendah
Soal rendahnya penghormatan kepada peneliti Indonesia, Agus memberi gambaran pada kasus penemuan spesies Orangutan tapanuli, di Sumatera Utara. Orangutan itu sejatinya sudah lama diteliti oleh peneliti BLI KLHK, Dr Wanda Kuswanda. Namun ironisnya, dalam publikasi oleh peneliti asing terkait spesies orangutan, nama Kuswanda justru tidak dicantumkan.
\"Padahal, Dr Kuswada-lah yang sejak awal meneliti Orangutan tapanuli. Ke depan, kode etik publikasi ilmiah termasuk intellectual property right menjadi perhatian saya,\" kata Agus.
Meskipun merupakan peneliti BLI sejak awal meriset tentang Orangutan tapanuli, justru dinafikan keilmuannya. Walhi Sumatera Utara misalnya, memilih menggunakan peneliti asing sebagai saksi ahli berkait Orangutan tapanuli dalam sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Serge Which yang berkewarganegaraan Belanda, merupakan pengajar pada Liverpool John Moores University, Inggris, diajukan sebagai saksi terkait orangutan untuk menggagalkan Amdal Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru yang diterbitkan Gubernur Sumut.
Peneliti asing itu bahkan sempat mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan mengajari cara membangun infrastruktur di kawasan hutan. Dalam sidang tersebut, Walhi Sumut malah menggunakan peneliti Universitas Sumatera Utara (USU) yang mendalami bidang hutan bakau dalam kasus yang berkait dengan lansekap dataran tinggi di Batangtoru, Tapanuli Selatan." itemprop="description"/>
Agus menegaskan, secara umum kualitas SDM Indonesia tidaklah kalah dengan negara maju. Terbukti sejumlah penghargaan bergengsi di bidang ilmu pengetahuan sering dimenangkan perwakilan Indonesia. Hal yang sama juga berlaku untuk peneliti Indonesia.
\"Banyak yang memiliki kemampuan luar biasa dan menghasilkan berbagai inovasi yang membanggakan,\" katanya.
Saat ini BLI KLHK memiliki 487 peneliti dengan jumlah profesor riset sebanyak 10 orang. Mayoritas peneliti BLI KLHK adalah lulusan S2 dan S3. Tahun ini BLI KLHK, kata Agus, berharap bisa melantik kembali minimal 2 profesor riset.
Penghargaan rendah
Soal rendahnya penghormatan kepada peneliti Indonesia, Agus memberi gambaran pada kasus penemuan spesies Orangutan tapanuli, di Sumatera Utara. Orangutan itu sejatinya sudah lama diteliti oleh peneliti BLI KLHK, Dr Wanda Kuswanda. Namun ironisnya, dalam publikasi oleh peneliti asing terkait spesies orangutan, nama Kuswanda justru tidak dicantumkan.
\"Padahal, Dr Kuswada-lah yang sejak awal meneliti Orangutan tapanuli. Ke depan, kode etik publikasi ilmiah termasuk intellectual property right menjadi perhatian saya,\" kata Agus.
Meskipun merupakan peneliti BLI sejak awal meriset tentang Orangutan tapanuli, justru dinafikan keilmuannya. Walhi Sumatera Utara misalnya, memilih menggunakan peneliti asing sebagai saksi ahli berkait Orangutan tapanuli dalam sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Serge Which yang berkewarganegaraan Belanda, merupakan pengajar pada Liverpool John Moores University, Inggris, diajukan sebagai saksi terkait orangutan untuk menggagalkan Amdal Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru yang diterbitkan Gubernur Sumut.
Peneliti asing itu bahkan sempat mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan mengajari cara membangun infrastruktur di kawasan hutan. Dalam sidang tersebut, Walhi Sumut malah menggunakan peneliti Universitas Sumatera Utara (USU) yang mendalami bidang hutan bakau dalam kasus yang berkait dengan lansekap dataran tinggi di Batangtoru, Tapanuli Selatan."/>
Agus menegaskan, secara umum kualitas SDM Indonesia tidaklah kalah dengan negara maju. Terbukti sejumlah penghargaan bergengsi di bidang ilmu pengetahuan sering dimenangkan perwakilan Indonesia. Hal yang sama juga berlaku untuk peneliti Indonesia.
\"Banyak yang memiliki kemampuan luar biasa dan menghasilkan berbagai inovasi yang membanggakan,\" katanya.
Saat ini BLI KLHK memiliki 487 peneliti dengan jumlah profesor riset sebanyak 10 orang. Mayoritas peneliti BLI KLHK adalah lulusan S2 dan S3. Tahun ini BLI KLHK, kata Agus, berharap bisa melantik kembali minimal 2 profesor riset.
Penghargaan rendah
Soal rendahnya penghormatan kepada peneliti Indonesia, Agus memberi gambaran pada kasus penemuan spesies Orangutan tapanuli, di Sumatera Utara. Orangutan itu sejatinya sudah lama diteliti oleh peneliti BLI KLHK, Dr Wanda Kuswanda. Namun ironisnya, dalam publikasi oleh peneliti asing terkait spesies orangutan, nama Kuswanda justru tidak dicantumkan.
\"Padahal, Dr Kuswada-lah yang sejak awal meneliti Orangutan tapanuli. Ke depan, kode etik publikasi ilmiah termasuk intellectual property right menjadi perhatian saya,\" kata Agus.
Meskipun merupakan peneliti BLI sejak awal meriset tentang Orangutan tapanuli, justru dinafikan keilmuannya. Walhi Sumatera Utara misalnya, memilih menggunakan peneliti asing sebagai saksi ahli berkait Orangutan tapanuli dalam sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Serge Which yang berkewarganegaraan Belanda, merupakan pengajar pada Liverpool John Moores University, Inggris, diajukan sebagai saksi terkait orangutan untuk menggagalkan Amdal Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru yang diterbitkan Gubernur Sumut.
Peneliti asing itu bahkan sempat mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan mengajari cara membangun infrastruktur di kawasan hutan. Dalam sidang tersebut, Walhi Sumut malah menggunakan peneliti Universitas Sumatera Utara (USU) yang mendalami bidang hutan bakau dalam kasus yang berkait dengan lansekap dataran tinggi di Batangtoru, Tapanuli Selatan."/>
Peneliti-peneliti Indonesia memiliki kualitas yang tak kalah dibanding peneliti asing. Mereka diminta tidak minder dan tidak sekadar mengekor agenda peneliti asing yang tak jarang punya misi tersembunyi untuk menghambat kepentingan nasional.
Di sisi lain, bangsa Indonesia diserukan memperbaiki mental untuk tidak selalu menganggap studi peneliti asing lebih baik dibandingkan peneliti Tanah Air.
"Ini memang salah satu masalah mental bangsa ini yang selalu menganggap bahwa kajian peneliti asing lebih bermutu. Seharusnya tidak seperti itu," kata Kepala Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI KLHK) Agus Justianto dalam pernyataanya kepada wartawan, Senin (11/2/2019).
Agus menegaskan, secara umum kualitas SDM Indonesia tidaklah kalah dengan negara maju. Terbukti sejumlah penghargaan bergengsi di bidang ilmu pengetahuan sering dimenangkan perwakilan Indonesia. Hal yang sama juga berlaku untuk peneliti Indonesia.
"Banyak yang memiliki kemampuan luar biasa dan menghasilkan berbagai inovasi yang membanggakan," katanya.
Saat ini BLI KLHK memiliki 487 peneliti dengan jumlah profesor riset sebanyak 10 orang. Mayoritas peneliti BLI KLHK adalah lulusan S2 dan S3. Tahun ini BLI KLHK, kata Agus, berharap bisa melantik kembali minimal 2 profesor riset.
Penghargaan rendah
Soal rendahnya penghormatan kepada peneliti Indonesia, Agus memberi gambaran pada kasus penemuan spesies Orangutan tapanuli, di Sumatera Utara. Orangutan itu sejatinya sudah lama diteliti oleh peneliti BLI KLHK, Dr Wanda Kuswanda. Namun ironisnya, dalam publikasi oleh peneliti asing terkait spesies orangutan, nama Kuswanda justru tidak dicantumkan.
"Padahal, Dr Kuswada-lah yang sejak awal meneliti Orangutan tapanuli. Ke depan, kode etik publikasi ilmiah termasuk intellectual property right menjadi perhatian saya," kata Agus.
Meskipun merupakan peneliti BLI sejak awal meriset tentang Orangutan tapanuli, justru dinafikan keilmuannya. Walhi Sumatera Utara misalnya, memilih menggunakan peneliti asing sebagai saksi ahli berkait Orangutan tapanuli dalam sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Serge Which yang berkewarganegaraan Belanda, merupakan pengajar pada Liverpool John Moores University, Inggris, diajukan sebagai saksi terkait orangutan untuk menggagalkan Amdal Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru yang diterbitkan Gubernur Sumut.
Peneliti asing itu bahkan sempat mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan mengajari cara membangun infrastruktur di kawasan hutan. Dalam sidang tersebut, Walhi Sumut malah menggunakan peneliti Universitas Sumatera Utara (USU) yang mendalami bidang hutan bakau dalam kasus yang berkait dengan lansekap dataran tinggi di Batangtoru, Tapanuli Selatan.
Peneliti-peneliti Indonesia memiliki kualitas yang tak kalah dibanding peneliti asing. Mereka diminta tidak minder dan tidak sekadar mengekor agenda peneliti asing yang tak jarang punya misi tersembunyi untuk menghambat kepentingan nasional.
Di sisi lain, bangsa Indonesia diserukan memperbaiki mental untuk tidak selalu menganggap studi peneliti asing lebih baik dibandingkan peneliti Tanah Air.
"Ini memang salah satu masalah mental bangsa ini yang selalu menganggap bahwa kajian peneliti asing lebih bermutu. Seharusnya tidak seperti itu," kata Kepala Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI KLHK) Agus Justianto dalam pernyataanya kepada wartawan, Senin (11/2/2019).
Agus menegaskan, secara umum kualitas SDM Indonesia tidaklah kalah dengan negara maju. Terbukti sejumlah penghargaan bergengsi di bidang ilmu pengetahuan sering dimenangkan perwakilan Indonesia. Hal yang sama juga berlaku untuk peneliti Indonesia.
"Banyak yang memiliki kemampuan luar biasa dan menghasilkan berbagai inovasi yang membanggakan," katanya.
Saat ini BLI KLHK memiliki 487 peneliti dengan jumlah profesor riset sebanyak 10 orang. Mayoritas peneliti BLI KLHK adalah lulusan S2 dan S3. Tahun ini BLI KLHK, kata Agus, berharap bisa melantik kembali minimal 2 profesor riset.
Penghargaan rendah
Soal rendahnya penghormatan kepada peneliti Indonesia, Agus memberi gambaran pada kasus penemuan spesies Orangutan tapanuli, di Sumatera Utara. Orangutan itu sejatinya sudah lama diteliti oleh peneliti BLI KLHK, Dr Wanda Kuswanda. Namun ironisnya, dalam publikasi oleh peneliti asing terkait spesies orangutan, nama Kuswanda justru tidak dicantumkan.
"Padahal, Dr Kuswada-lah yang sejak awal meneliti Orangutan tapanuli. Ke depan, kode etik publikasi ilmiah termasuk intellectual property right menjadi perhatian saya," kata Agus.
Meskipun merupakan peneliti BLI sejak awal meriset tentang Orangutan tapanuli, justru dinafikan keilmuannya. Walhi Sumatera Utara misalnya, memilih menggunakan peneliti asing sebagai saksi ahli berkait Orangutan tapanuli dalam sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Serge Which yang berkewarganegaraan Belanda, merupakan pengajar pada Liverpool John Moores University, Inggris, diajukan sebagai saksi terkait orangutan untuk menggagalkan Amdal Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru yang diterbitkan Gubernur Sumut.
Peneliti asing itu bahkan sempat mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan mengajari cara membangun infrastruktur di kawasan hutan. Dalam sidang tersebut, Walhi Sumut malah menggunakan peneliti Universitas Sumatera Utara (USU) yang mendalami bidang hutan bakau dalam kasus yang berkait dengan lansekap dataran tinggi di Batangtoru, Tapanuli Selatan.