Oleh: Prof. Dr. Katimin, M.A.g (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), guru besar Sejarah Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UINSU)
" itemprop="description"/>Oleh: Prof. Dr. Katimin, M.A.g (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), guru besar Sejarah Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UINSU)
"/>Oleh: Prof. Dr. Katimin, M.A.g (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), guru besar Sejarah Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UINSU)
"/>
Sukarno adalah bapak pendiri bangsa Indonesia (founding Father). Kepopulerannya tidak dapat diragukan lagi. Hampir seluruh rakyat Indonesia tidak ada yang tidak mengenalnya. Bahkan dalam tingkat internasional kebesaran Sukarno setara dengan tokoh-tokoh dunia lain seperti Mahatmagandi dari India, Gorbachof dari Unisoviet, dan Gorge Bush dari Amerika. Dengan kata lain nama besar Sukarno di tingkat global adalah sebagai tokoh nasionalisyang memiliki gagasan-gagsan besar bagi kemaslahatan masyarakat dunia. Karisma dan pengaruh pemikiran-pemikirannya hingga kini sulit tertandingi. Meskipun demikian, ia juga dikenal sebagai sosok yang pemikiran-pemikirannya kontroversial, terutama tentang keislaman.
Jika berkaitan dengan masalah-masalah kebangsan, nasionalisme hampir tidak ada tokoh yang meragukan kapasitasnya. Berbeda dengan masalah keislaman, hampir-hampir ia tidak dianggap sebagai tokoh yang memiliki otoritas. Padahal jika dilihat biografi intelektualnya, Soekarno cukup lama dan sangat mempuni untuk merepresentasikan sebagai tokoh pemikir Islam. Guru-guru tempat ia menimba ilmu keislaman berkaliber internasional, selain juga nasional seperti Cokroaminoto sebagai guru dan ayah angkatnya. Penguasaan keislamannya tergambar dari intensitas yang cukup lama dalam perdebatan-perdebatan akademik tentang Islam, terutama dengan M. Nasir, dan Ahmad Hasan pada era pra kemerdekaan.
Aspek pemikiran keislaman Sukarno inilah yang ingin dilihat secara lebih dalam dan dianggap masih cukup relevan dalam penanganan covid-19, terutama di Sumatera Utara. Mudah-mudahan dapat memberi inspirasi bagi masyarakat Sumatera Utara, sekaligus merubah image Sukarno dari yang murni nasionalis sekaligus agamis.
Biografi Singkat Sukarno
Sukarno lahir pada hari Kamis Pon tanggal 18 Sapar 1831 tahun Saka, bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1901 di Lawang Seketeng Surabaya. Ayahnya bernama R. Soekemi Sosrodihardjo. Kakeknya bernama Raden Hardjodikromo, sosok yang dianggap mempunyai ilmu hikmah (ilmu ghaib dan seorang ahli kebatinan. Ia anak kedua dari IbuIdayu Nyoman Ray. Ayahnya adalah etnis Jawa dan termasuk keturunan Sultan Kediri. Ayahnya menganut agama Islam, meskipun juga sebagai pengamal ajaran Theosofi Jawa. Ayah Sukarno adalah seorang guru, lulusan sekolah guru di Probolinggo. Karena memang termasuk murid yang pintar, maka ia mendapat kehormatan untuk menjadi guru di sekolah Rendah di Bali. Ayahnya juga sekaligus sebagai pembantu Profesor Van Der Tuuk. Ketika bertugas di Bali inilah ayahnya ketemu sekaligus menyunting ibunya seorang gadis Bali. Tidak lama kemudian ayahnya pindah ke kota Surabaya. Ibu Sukarno adalah kelahiran Bali dari kalangan kasta Brahmana dan berasal dari keturunan bangsawan, raja terakhir (raja Singaraja) adalah paman ibunya.
Beradasarkan garis keturunan ayahnya, Soekarno adalah seorang priyayi rendahan. Dilihat dari sisi agama dan kepercayaan, ia dapat dikelompokkan sebagai orang yang berasal dari golongan abangan. Hobinya yang ia warisi dari ayahnya dan kakeknya adalah menonton wayang, salah satu kebudayaan Jawa. Perpaduan dari berbagai latar belakang ayahnya yang Islam sekaligus sebagai penganiut mistis Jawa, dan Ibunya yang Hindu Bali, juga pengaruh pembantunya (Sarinah) yang mengajarkan nilai-nilai cinta kasih terhadap rakyat jelata inilah yang turut membentuk kepribadiannya di kemudian hari. Budaya Jawa yang menonjol adalah sinkretisme. Corak sinkretisme ini bigitu melekat pada diri Sukarno, yakni memadukan apa yang baik dari dalam dirinya dan dari luar dirinya. Corak sinkretisme ini kemudian hari begitu mempengaruhi Sukarno baik dalam lapangan politik maupun lapangan keagamaan.
Biografi Intelektual Keislaman Sukarno
Dalam berbagai sumber, terutama berdasarkan penelitian Prof. Dr. M. Ridwan Lubis (lihat bukunya”Sukarno & Modernisme Islam”), diperoleh informasi bahwa setidaknya ada 20 orang intelektual/ pemikir dunia yang berasal dari Mesir, India, dan Turki yang turut mempengaruhi jalan pikiran Sukarno dalam bidang keislaman. Di antara Ke 20 tokoh tersebut adalah: Al-Afghani, Abduh, Arabi Pasha, Mustafa Kamil, Farid Bey, Muhammad Ali, Syaukat Ali, serta tokoh yang paling sering dikutipnya adalah Mustafa Kemal, Halide Edib Hanoum, serta Amir Ali.
Sementara itu, tulisan tulisan Sukarno yang berkaitan dengan Islam juga cukup banyak. Tulisan- tulisan tersebut antara lain: Rentang waktu 1934-1936 “Soerat-soerat Islam dari Endeh”, “Propaganda Islam dari Penjdara”, “Tidak Pertjaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi”. Kemudian rentang waktu 1939: “Tabir adalah Lambang Perbudakan”, “Minta Hukum Yang Pasti Soal Tabir”. 1940: “Memudakan Pengertian Islam”, “Masjarakat Onta dan masjarakat Kapal Udara”, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara”, “Islam Sontolojo”, “Saja Kurang Dynamis”. Tahun 1941: “Bloedstransfusie dan Sebagian Kaum Ulama, Bagaimanakah Oorlogsethiek Islam”, “Sekali Lagi Bloedstransfusie”. Tahun 1950: “Pidato pada Peringatan Maulid Nabi di Istana Rijswijk”. Tahun 1952: “Amal, Amal, Amal, Sekali Lagi Amal”, “Kembalilah Kepada Kebenaran”. Tahun 1953: “Negara Nasional dan Tjita-tjita Islam”. Tahun 1961: “Islam Agama Untuk Sekalian Manusia”, “Isra’ Misradj Mu’jizat Allah Kepada Nabi Besar Muhammad Saw”. Tahun 1962: “Agama Unsur Mutlak di dalam Nation Building”, “Amnesti dan Abolisi Ditindjau dari Adjaran Islam”, “Bekerdja Keras Melalui Adjaran jang Diridhai Allah”, “Dalam Negara Republik Indonesia jang Kuat Agama dapat Berkembang dengan Subur”, “Regeneration dan Rejuvenation dalam Islam”. Tahun 1963: ”Piagam Djakarta Mewajibkan Sjariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknja”. Tahun 1964: “Hakkul Jakin bahwa Tuhan Ada”, “Islam adalah Agama Kehidupan dan Perdjuangan”, Manusuia yang Bukan Mengabdi Kepada Tuhan, bukan Manusia”, “Negara Harus Bertuhan”, “Al-Qur’an Membentuk Manusia Baru”. Tahun 1965: “Dengan Hidjrah dari PBB Achirnja Indonesia Menang”, “Inilah Kehidupan Islam di Indonesia”, “Islam Must Fight Colonialism”, “ Republik Indonesia Memberikan Kosepsi-Konsepsi Kepada Seluruh Dunia”, “Kebangkitan Umat Islam Sedunia Lontjeng Kematian bagi Seluruh Nekolim”. Tahun 1966: “Amanat pada Rapat Akbar Peringatan 40 Tahun Hari Lahir Nahdlatul Ulama”.
Corak pemikiran keislaman Sukarno
Terkait dengan kerangka pemikiran Sukarno tentang Islam, Bernard Dahm menyimpulkannya kepada tiga hal. Pertama, tidak ada agama selain Islam yang lebih menekankan persamaan. Kedua, tidak ada agama selain Islam yang lebih sederhana dan rasional. Ketiga, Islam adalah kemajuan. Prinsip pertama tentang Islam ini dipaparkan Sukarno sebagaimana tampak dalam suratnya dari Ende kepada Ahmad Hasan tertanggal 1 Desember 1934. Penggalan isi surat tersebut berbunyi “Tidak ada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam”. Sedangkan kerangka pemikiran yang kedua terdapat dalam suratnya yang ketiga dari Ende 26-Maret 1935 yang berbunyi: ”padahal ta’ada agama yang jauh lebih rasional dan simplicity daripada Islam”. Kelanjutan dari kerangka pemikiran Sukarno bahwa Islam sangat rasional ini berlanjut ke tahap berikutnya, yakni kerangka pemikirannya yang ketiga, yakni Islam adalah kemajuan (Islam is progress). Kerangka pemikiran Islam yang ketiga ini sejalan dengan dinamika perkembangan pemikiran Islam di India. Sebagaimana diketahui Sukarno banyak membaca karya-karya para pembaharu Islam dari anak benua India ini, di antaranya adalah Khuda Bakhs. Dalam tulisannya itu Khuda Balhs menanyakan apakah Islam memusuhi kemajuan? Khuda Bakhs mengatakan bahwa pertanyaan itu harus dijawab dengan tidak.
Ketiga prinsip Islam (persamaan, rasionalitas, dan kemajuan) yang dianut Sukarno tersebut adalah buah dari bacaannya yang dielaborasi dari berbagai literatur ilmuan Islam dunia, teutama dari Mesir, Turki dan India. Prinsip rasionalitas Islam misalnya, dielaborasi Sukarno dari perkembangan Islam di Mesir dan India. Misalnya Al-Afghani dan Abduh dari Mesir serta Amir Ali dan Ahmad Khan dari India. Mereka ini sangat menekankan prinsip rasionalitas ajaran Islam. Pengertian rasional di sini adalah suatu uraian tentang Islam berdasarkan logika berfikir, bukan mitos-mitos. Uraian yang didadasarkan atas hukum kausalitas sebab akibat, bukan bim salabim secara kebetulan.
Pemikiran Sukarno yang menenakankan bahwa Islam adalah kemajuan sejalan dengan pikirannya yang senantiasa berdinamika. Hal ini tampak dari statemen statemennnya yang selalu berusaha melengkapi kebutuhan hidupnya. Ia menambahkan bahwa potensi dinamis dalam Islam ini tampak dalam kaidah-kaidah alternatif sepertti suruhan, larangan, anjuran untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan, serta kebebasan dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan. Argumen inilah yang digunakan Sukarno ketiga menjawab sejumlah pertanyaan di zamannya yang menghadapi sejumlah adagium seperti Islam identik dengan kebodohan, kemunduran, kemiskinan dan sebaginya, terutama yang dilontarkan oleh lawan lawan debatnya, yang lulusan Barat.
Inti dari pemikiran keislam Sukarno di atas pertolak dari kondisi yang dialami oleh dunia Islam pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Sukarno telah berupaya secara serius untuk menjadi juru bicara Islam yang handal dalam menghadapi tuduhan tuduhan bahwa kemunduran Islam bukanlah disebabkan oleh ajaran Islam itu sendiri, melainkan disebabkan oleh kesalahan umat Islam dalam memahami ajaran agamanya. Umat Islam telah banyak menyimpang dari hakikat ajaran agamanya. Kegagalan dalam memahamai hakikat agamanya ini dikarenakan umat Islam, khususnya Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh praktik-praktik yang bukan bersumber dari ajaran Islam.
Relevansinya dengan Upaya Penanganan covid-19
Azas persamaan/kesamarataan
Azas persamaan sesama makhluk Tuhan yang dianut Sukarno dalam pemikiran keislamannya ini terwujud dari sikap Sukarno yang berupaya menggabungkan demokrasi dan ajaran Islam. Di sini Sukarno menentang pengutamaan kelompok sayyid dengan non Sayyid di lingkungan masyarakat Islam. Menurutnya dengan mengutamakan kelompok sayyid akan mendorong muncul sistem politik aristokrasi, dan jika ini terjadi akan menyuburkan feodalisme yang merupakan awalmunculnya penjajahan manusia atas manusia. Penolakan terhadap hak-hak kelompok sayyid ini tercermin dan sejalan dengan pandangan politik yang ia anut, yakni anti elitisme, anti kolonialisme, dan imperialisme. Azas persamaan yang ia anut ini juga trecermin dari penolakannyanya terhadap pikiran dan sikap yang sangat terikat dengan pendapat atau pandangan-pandangan pemahaman agama pada rumusan ulama-ulama klasik.
Jika dihubungkan kondisi saat ini dimana dunia dan termasuk Indonesia, dan khususnya Sumatera Utara dilanda wabah pandemi covid-19, azas persamaan sesama makhluk Tuhan ini sangat relevan. Azas ini mutlak diperlukan dan diimplementasikan dalam penanggulangan covid-19. Azas persamaan ini memandang bahwa manusia berkedudukan sama di mata Tuhan. Tidak ada satu kelompok, golongan yang paling mulia di mata Tuhan, kecuali karena ketakwaannya, karena kualitas amal perbuatannya.(Q.S Alhujarat: 13). Prinsip persamaan/kesamarataan ini sudah banyak dilakukan dalam rangka penanggulangan covid-19. Banyak kelompok, komunitas, golongan, bahu membahu, saling tolong, tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras, dan golongan. Bantuan tersebut misalnya dalam bentuk sumbangan uang, sembako, dan lainnya. Di sebagian di daerah Jawa misalnya, masyarakat memberikan bantuan kebutuhan hidup secara iklhas terhadap orang atau kelompok yang menjalani karantina mandiri. Ada juga oarang perorang atau kelompok masyarakat yang memberikan sembako secara langsung ke pinggir-pinggir jalan, daerah daerah pinggiran, susut sudut kota dan desa kepada orang atau masyarakat yang terdampak covid-19. Tampak juga beberapa daerah masyarakat menyediakan kebutuhan sembako, seperti beras, gula, sayur, buah di sekitar pemukiman yang dapat diambil masyarakat seperlunya. Hanya saja memang belum menjadi kesadaran masif. Masih banyak individu, kelompok masyarakat yang sesungguhnya perlu bantuan pangan, akan tetapi sebagian masih belum mendapat bantuan, meskipun di sekitarnya banyak kelompok masyarakat yang berkemampuan. Ini artinya nilai-nilai persamaan, azas kesamarataan yang dianut Sukarno tetap perlu digaungkan, diaktualkan. Nilai-nilai persamaan ini sudah dipraktikkan oleh nabi ketika ia dan muhajirin hijrah ke Madinah. Ketika itu nabi mempersaudarakan antara Muhajirin (pendatang Makkah) dengan Anshor (warka lokal Madinah) untuk saling membantu sebagai bukti rasa persaudaraan, rasa persamaan sesama umat manusia. Dengan azas ini nabi Muhammad mampu menjadikan masyarakat muslim Madinah sebagai masyarakat yang tangguh. Dari masyarakat yang lemah menjadi masyarakat yang kuat. Merubah umat, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat urban perkotaan metropolitan yang bereradaban.
Azas Rasionalitas
Azas rasionalitas yang dianut Sukarno dalam memahami Islam ini juga sangat relavan dalam rangka penanggulangan covid-19. Seperti diketahui sebagian umat Islam Indonesia, dan Sumatera Utara khususnya awalnya terkesan gamang dalam menghadapi pandemi covid-19. Hal ini tergambar dalam sikap dan pandangan masyarakat dimana ada kelompok masyarakat yang pasrah, fatalis yang menyerahkan sepenuhnya nasipnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Himbauan-himbauan pemerintah melalui gugus penanggulangan covid-19, sama sekali tidak diindahkan. Yang dipercayai hanya keyakinan buta, taklid buta yang didasarkan oleh pandangan atau pendapat sebagian tokoh agama yang memang fatalis. Sikap beragama yang nrimo, pasrah, jumud seperti inilah yang pernah dihadapi Sukarno di era 30-an. Sikap beragama seperti ini tidak mendukung ke arah kemajuan. Masyarakat seperti ini cenderung sukar dikendalikan, sukar dikontrol, sukar diarahkan ke arah perbaikan. Misalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memberikan fatwa keagamaan tentang sholat jumat, shalat tarawih, solat idul fitri. Akan tetapi mereka ini masih ngeyel. Seolah-oleh mereka lebih memahami agama dari MUI. Jadi kelompok ini beragama secara tekstual, secara taklid. Apa yang dikatakan oleh gurunya/ustadnya itu yang didengar. Beragama seperti ini menafikan azas rasionalitas, dan ini sangat berbahaya. Jadi keberhasilan penanggulang covid-19 di Indonesia, dan Sumatera Utara khsusnya juga ditentukan oleh aspek rasional beragama sebagaimana yang dianut Sukarno. Ini artinya pemikiraan-pemikiran Sukarno tentang Islam masih perlu secara kontiniu dikembangkan disosialisasikan kepada masyarakat. Contoh lain yang belakangan marak terjadi adalah pengambilan paksa jenazah covid-19 oleh anggota keluarga. Setidaknya terjadi di Surabaya, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan.
Azas Dinamis, Progresif
Berdasarkan pengamatan Bernard Dahm, azas dinamis dan progresif Islam yang dipahami Sukarno ini tidak terlepas dari konteks historis intelektual India, yakni Aligard. Azas ini linier dengan azas rasionalitas sebelumnya. Azas ini sangat menekankan kebebasan berfikir Islam. Lebih lanjut menurutnya bahwa Islam identik dengan kemajuan. Karena itu, Sukarno sangat mengecam pengkultusan suatu pendapat atau pemutlakan suatu hadis yang status kesahihannya belum jelas.
Jika dihubungkan dengan penanganan covid-19, maka pemecahan Islam adalah penanganan yang bersifat progresif, yakni yang mengakomodasi alternatif alternatif berdasarkan kekayaan kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pemikiran pemikiran Islam yang tidak mendukung ke arah kemajuan sudah saatnya ditinjau kembali. Jadi Islam progresif atau Islam yang maju sebagimana dianut Sukarno, seharusnya menjadi landasan ruh, api penyulut percepatan penanggulangan covid-19 apapun itu bentuk alternatifnya. Misanya data yang ditayangkan oleh satsion TVRI beberapa waktu yang lalu yang menayangkan etnis Dayak di Kalimantan menghindari covid-19. Etnis ini mengamalkan kearifan lokal sukunya dengan mengasingkan diri, pindah ke hutan agar terhindar dari penularan virus corona. Inilah yang dimaksud Sukarno berfikir progresif, dinamis. Sepanjang hal itu positif, berarti hal itu sudah sesuai dengan ruh Islam. Jadi tidak kaku, monoton berpaku pada satu pendapat atau satu tradisi saja. Semangat atau ruh perubahan ke arah kemajuan inilah yang seharusnya senantiasa hidup dan digali agar selalu menyinari, menerangi kehidupan umat Islam, terutama dalam percepatan penanggulangan covid-19.
Penutup
Di tengah pandemi covid-19 yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, dan khususnya Sumatera Utara, pemikiran keislaman Sukarno dipandang masih cukup relevan. Pemikiran keislaman Sukarno tersebut meliputi tiga prinsip, persamaan/penyamarataan, rasionalitas, dan dinamis/progresif. Pada dasarnya ketiga prinsip ini sudah tampak dalam penanggulangan covid-19, akan tetapi belum begitu masif, masih memerlukan upaya-upaya yang lebih serius dan maksimal.[R]
Oleh: Prof. Dr. Katimin, M.A.g (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), guru besar Sejarah Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UINSU)
Sukarno adalah bapak pendiri bangsa Indonesia (founding Father). Kepopulerannya tidak dapat diragukan lagi. Hampir seluruh rakyat Indonesia tidak ada yang tidak mengenalnya. Bahkan dalam tingkat internasional kebesaran Sukarno setara dengan tokoh-tokoh dunia lain seperti Mahatmagandi dari India, Gorbachof dari Unisoviet, dan Gorge Bush dari Amerika. Dengan kata lain nama besar Sukarno di tingkat global adalah sebagai tokoh nasionalisyang memiliki gagasan-gagsan besar bagi kemaslahatan masyarakat dunia. Karisma dan pengaruh pemikiran-pemikirannya hingga kini sulit tertandingi. Meskipun demikian, ia juga dikenal sebagai sosok yang pemikiran-pemikirannya kontroversial, terutama tentang keislaman.
Jika berkaitan dengan masalah-masalah kebangsan, nasionalisme hampir tidak ada tokoh yang meragukan kapasitasnya. Berbeda dengan masalah keislaman, hampir-hampir ia tidak dianggap sebagai tokoh yang memiliki otoritas. Padahal jika dilihat biografi intelektualnya, Soekarno cukup lama dan sangat mempuni untuk merepresentasikan sebagai tokoh pemikir Islam. Guru-guru tempat ia menimba ilmu keislaman berkaliber internasional, selain juga nasional seperti Cokroaminoto sebagai guru dan ayah angkatnya. Penguasaan keislamannya tergambar dari intensitas yang cukup lama dalam perdebatan-perdebatan akademik tentang Islam, terutama dengan M. Nasir, dan Ahmad Hasan pada era pra kemerdekaan.
Aspek pemikiran keislaman Sukarno inilah yang ingin dilihat secara lebih dalam dan dianggap masih cukup relevan dalam penanganan covid-19, terutama di Sumatera Utara. Mudah-mudahan dapat memberi inspirasi bagi masyarakat Sumatera Utara, sekaligus merubah image Sukarno dari yang murni nasionalis sekaligus agamis.
Biografi Singkat Sukarno
Sukarno lahir pada hari Kamis Pon tanggal 18 Sapar 1831 tahun Saka, bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1901 di Lawang Seketeng Surabaya. Ayahnya bernama R. Soekemi Sosrodihardjo. Kakeknya bernama Raden Hardjodikromo, sosok yang dianggap mempunyai ilmu hikmah (ilmu ghaib dan seorang ahli kebatinan. Ia anak kedua dari IbuIdayu Nyoman Ray. Ayahnya adalah etnis Jawa dan termasuk keturunan Sultan Kediri. Ayahnya menganut agama Islam, meskipun juga sebagai pengamal ajaran Theosofi Jawa. Ayah Sukarno adalah seorang guru, lulusan sekolah guru di Probolinggo. Karena memang termasuk murid yang pintar, maka ia mendapat kehormatan untuk menjadi guru di sekolah Rendah di Bali. Ayahnya juga sekaligus sebagai pembantu Profesor Van Der Tuuk. Ketika bertugas di Bali inilah ayahnya ketemu sekaligus menyunting ibunya seorang gadis Bali. Tidak lama kemudian ayahnya pindah ke kota Surabaya. Ibu Sukarno adalah kelahiran Bali dari kalangan kasta Brahmana dan berasal dari keturunan bangsawan, raja terakhir (raja Singaraja) adalah paman ibunya.
Beradasarkan garis keturunan ayahnya, Soekarno adalah seorang priyayi rendahan. Dilihat dari sisi agama dan kepercayaan, ia dapat dikelompokkan sebagai orang yang berasal dari golongan abangan. Hobinya yang ia warisi dari ayahnya dan kakeknya adalah menonton wayang, salah satu kebudayaan Jawa. Perpaduan dari berbagai latar belakang ayahnya yang Islam sekaligus sebagai penganiut mistis Jawa, dan Ibunya yang Hindu Bali, juga pengaruh pembantunya (Sarinah) yang mengajarkan nilai-nilai cinta kasih terhadap rakyat jelata inilah yang turut membentuk kepribadiannya di kemudian hari. Budaya Jawa yang menonjol adalah sinkretisme. Corak sinkretisme ini bigitu melekat pada diri Sukarno, yakni memadukan apa yang baik dari dalam dirinya dan dari luar dirinya. Corak sinkretisme ini kemudian hari begitu mempengaruhi Sukarno baik dalam lapangan politik maupun lapangan keagamaan.
Biografi Intelektual Keislaman Sukarno
Dalam berbagai sumber, terutama berdasarkan penelitian Prof. Dr. M. Ridwan Lubis (lihat bukunya”Sukarno & Modernisme Islam”), diperoleh informasi bahwa setidaknya ada 20 orang intelektual/ pemikir dunia yang berasal dari Mesir, India, dan Turki yang turut mempengaruhi jalan pikiran Sukarno dalam bidang keislaman. Di antara Ke 20 tokoh tersebut adalah: Al-Afghani, Abduh, Arabi Pasha, Mustafa Kamil, Farid Bey, Muhammad Ali, Syaukat Ali, serta tokoh yang paling sering dikutipnya adalah Mustafa Kemal, Halide Edib Hanoum, serta Amir Ali.
Sementara itu, tulisan tulisan Sukarno yang berkaitan dengan Islam juga cukup banyak. Tulisan- tulisan tersebut antara lain: Rentang waktu 1934-1936 “Soerat-soerat Islam dari Endeh”, “Propaganda Islam dari Penjdara”, “Tidak Pertjaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi”. Kemudian rentang waktu 1939: “Tabir adalah Lambang Perbudakan”, “Minta Hukum Yang Pasti Soal Tabir”. 1940: “Memudakan Pengertian Islam”, “Masjarakat Onta dan masjarakat Kapal Udara”, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara”, “Islam Sontolojo”, “Saja Kurang Dynamis”. Tahun 1941: “Bloedstransfusie dan Sebagian Kaum Ulama, Bagaimanakah Oorlogsethiek Islam”, “Sekali Lagi Bloedstransfusie”. Tahun 1950: “Pidato pada Peringatan Maulid Nabi di Istana Rijswijk”. Tahun 1952: “Amal, Amal, Amal, Sekali Lagi Amal”, “Kembalilah Kepada Kebenaran”. Tahun 1953: “Negara Nasional dan Tjita-tjita Islam”. Tahun 1961: “Islam Agama Untuk Sekalian Manusia”, “Isra’ Misradj Mu’jizat Allah Kepada Nabi Besar Muhammad Saw”. Tahun 1962: “Agama Unsur Mutlak di dalam Nation Building”, “Amnesti dan Abolisi Ditindjau dari Adjaran Islam”, “Bekerdja Keras Melalui Adjaran jang Diridhai Allah”, “Dalam Negara Republik Indonesia jang Kuat Agama dapat Berkembang dengan Subur”, “Regeneration dan Rejuvenation dalam Islam”. Tahun 1963: ”Piagam Djakarta Mewajibkan Sjariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknja”. Tahun 1964: “Hakkul Jakin bahwa Tuhan Ada”, “Islam adalah Agama Kehidupan dan Perdjuangan”, Manusuia yang Bukan Mengabdi Kepada Tuhan, bukan Manusia”, “Negara Harus Bertuhan”, “Al-Qur’an Membentuk Manusia Baru”. Tahun 1965: “Dengan Hidjrah dari PBB Achirnja Indonesia Menang”, “Inilah Kehidupan Islam di Indonesia”, “Islam Must Fight Colonialism”, “ Republik Indonesia Memberikan Kosepsi-Konsepsi Kepada Seluruh Dunia”, “Kebangkitan Umat Islam Sedunia Lontjeng Kematian bagi Seluruh Nekolim”. Tahun 1966: “Amanat pada Rapat Akbar Peringatan 40 Tahun Hari Lahir Nahdlatul Ulama”.
Corak pemikiran keislaman Sukarno
Terkait dengan kerangka pemikiran Sukarno tentang Islam, Bernard Dahm menyimpulkannya kepada tiga hal. Pertama, tidak ada agama selain Islam yang lebih menekankan persamaan. Kedua, tidak ada agama selain Islam yang lebih sederhana dan rasional. Ketiga, Islam adalah kemajuan. Prinsip pertama tentang Islam ini dipaparkan Sukarno sebagaimana tampak dalam suratnya dari Ende kepada Ahmad Hasan tertanggal 1 Desember 1934. Penggalan isi surat tersebut berbunyi “Tidak ada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam”. Sedangkan kerangka pemikiran yang kedua terdapat dalam suratnya yang ketiga dari Ende 26-Maret 1935 yang berbunyi: ”padahal ta’ada agama yang jauh lebih rasional dan simplicity daripada Islam”. Kelanjutan dari kerangka pemikiran Sukarno bahwa Islam sangat rasional ini berlanjut ke tahap berikutnya, yakni kerangka pemikirannya yang ketiga, yakni Islam adalah kemajuan (Islam is progress). Kerangka pemikiran Islam yang ketiga ini sejalan dengan dinamika perkembangan pemikiran Islam di India. Sebagaimana diketahui Sukarno banyak membaca karya-karya para pembaharu Islam dari anak benua India ini, di antaranya adalah Khuda Bakhs. Dalam tulisannya itu Khuda Balhs menanyakan apakah Islam memusuhi kemajuan? Khuda Bakhs mengatakan bahwa pertanyaan itu harus dijawab dengan tidak.
Ketiga prinsip Islam (persamaan, rasionalitas, dan kemajuan) yang dianut Sukarno tersebut adalah buah dari bacaannya yang dielaborasi dari berbagai literatur ilmuan Islam dunia, teutama dari Mesir, Turki dan India. Prinsip rasionalitas Islam misalnya, dielaborasi Sukarno dari perkembangan Islam di Mesir dan India. Misalnya Al-Afghani dan Abduh dari Mesir serta Amir Ali dan Ahmad Khan dari India. Mereka ini sangat menekankan prinsip rasionalitas ajaran Islam. Pengertian rasional di sini adalah suatu uraian tentang Islam berdasarkan logika berfikir, bukan mitos-mitos. Uraian yang didadasarkan atas hukum kausalitas sebab akibat, bukan bim salabim secara kebetulan.
Pemikiran Sukarno yang menenakankan bahwa Islam adalah kemajuan sejalan dengan pikirannya yang senantiasa berdinamika. Hal ini tampak dari statemen statemennnya yang selalu berusaha melengkapi kebutuhan hidupnya. Ia menambahkan bahwa potensi dinamis dalam Islam ini tampak dalam kaidah-kaidah alternatif sepertti suruhan, larangan, anjuran untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan, serta kebebasan dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan. Argumen inilah yang digunakan Sukarno ketiga menjawab sejumlah pertanyaan di zamannya yang menghadapi sejumlah adagium seperti Islam identik dengan kebodohan, kemunduran, kemiskinan dan sebaginya, terutama yang dilontarkan oleh lawan lawan debatnya, yang lulusan Barat.
Inti dari pemikiran keislam Sukarno di atas pertolak dari kondisi yang dialami oleh dunia Islam pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Sukarno telah berupaya secara serius untuk menjadi juru bicara Islam yang handal dalam menghadapi tuduhan tuduhan bahwa kemunduran Islam bukanlah disebabkan oleh ajaran Islam itu sendiri, melainkan disebabkan oleh kesalahan umat Islam dalam memahami ajaran agamanya. Umat Islam telah banyak menyimpang dari hakikat ajaran agamanya. Kegagalan dalam memahamai hakikat agamanya ini dikarenakan umat Islam, khususnya Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh praktik-praktik yang bukan bersumber dari ajaran Islam.
Relevansinya dengan Upaya Penanganan covid-19
Azas persamaan/kesamarataan
Azas persamaan sesama makhluk Tuhan yang dianut Sukarno dalam pemikiran keislamannya ini terwujud dari sikap Sukarno yang berupaya menggabungkan demokrasi dan ajaran Islam. Di sini Sukarno menentang pengutamaan kelompok sayyid dengan non Sayyid di lingkungan masyarakat Islam. Menurutnya dengan mengutamakan kelompok sayyid akan mendorong muncul sistem politik aristokrasi, dan jika ini terjadi akan menyuburkan feodalisme yang merupakan awalmunculnya penjajahan manusia atas manusia. Penolakan terhadap hak-hak kelompok sayyid ini tercermin dan sejalan dengan pandangan politik yang ia anut, yakni anti elitisme, anti kolonialisme, dan imperialisme. Azas persamaan yang ia anut ini juga trecermin dari penolakannyanya terhadap pikiran dan sikap yang sangat terikat dengan pendapat atau pandangan-pandangan pemahaman agama pada rumusan ulama-ulama klasik.
Jika dihubungkan kondisi saat ini dimana dunia dan termasuk Indonesia, dan khususnya Sumatera Utara dilanda wabah pandemi covid-19, azas persamaan sesama makhluk Tuhan ini sangat relevan. Azas ini mutlak diperlukan dan diimplementasikan dalam penanggulangan covid-19. Azas persamaan ini memandang bahwa manusia berkedudukan sama di mata Tuhan. Tidak ada satu kelompok, golongan yang paling mulia di mata Tuhan, kecuali karena ketakwaannya, karena kualitas amal perbuatannya.(Q.S Alhujarat: 13). Prinsip persamaan/kesamarataan ini sudah banyak dilakukan dalam rangka penanggulangan covid-19. Banyak kelompok, komunitas, golongan, bahu membahu, saling tolong, tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras, dan golongan. Bantuan tersebut misalnya dalam bentuk sumbangan uang, sembako, dan lainnya. Di sebagian di daerah Jawa misalnya, masyarakat memberikan bantuan kebutuhan hidup secara iklhas terhadap orang atau kelompok yang menjalani karantina mandiri. Ada juga oarang perorang atau kelompok masyarakat yang memberikan sembako secara langsung ke pinggir-pinggir jalan, daerah daerah pinggiran, susut sudut kota dan desa kepada orang atau masyarakat yang terdampak covid-19. Tampak juga beberapa daerah masyarakat menyediakan kebutuhan sembako, seperti beras, gula, sayur, buah di sekitar pemukiman yang dapat diambil masyarakat seperlunya. Hanya saja memang belum menjadi kesadaran masif. Masih banyak individu, kelompok masyarakat yang sesungguhnya perlu bantuan pangan, akan tetapi sebagian masih belum mendapat bantuan, meskipun di sekitarnya banyak kelompok masyarakat yang berkemampuan. Ini artinya nilai-nilai persamaan, azas kesamarataan yang dianut Sukarno tetap perlu digaungkan, diaktualkan. Nilai-nilai persamaan ini sudah dipraktikkan oleh nabi ketika ia dan muhajirin hijrah ke Madinah. Ketika itu nabi mempersaudarakan antara Muhajirin (pendatang Makkah) dengan Anshor (warka lokal Madinah) untuk saling membantu sebagai bukti rasa persaudaraan, rasa persamaan sesama umat manusia. Dengan azas ini nabi Muhammad mampu menjadikan masyarakat muslim Madinah sebagai masyarakat yang tangguh. Dari masyarakat yang lemah menjadi masyarakat yang kuat. Merubah umat, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat urban perkotaan metropolitan yang bereradaban.
Azas Rasionalitas
Azas rasionalitas yang dianut Sukarno dalam memahami Islam ini juga sangat relavan dalam rangka penanggulangan covid-19. Seperti diketahui sebagian umat Islam Indonesia, dan Sumatera Utara khususnya awalnya terkesan gamang dalam menghadapi pandemi covid-19. Hal ini tergambar dalam sikap dan pandangan masyarakat dimana ada kelompok masyarakat yang pasrah, fatalis yang menyerahkan sepenuhnya nasipnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Himbauan-himbauan pemerintah melalui gugus penanggulangan covid-19, sama sekali tidak diindahkan. Yang dipercayai hanya keyakinan buta, taklid buta yang didasarkan oleh pandangan atau pendapat sebagian tokoh agama yang memang fatalis. Sikap beragama yang nrimo, pasrah, jumud seperti inilah yang pernah dihadapi Sukarno di era 30-an. Sikap beragama seperti ini tidak mendukung ke arah kemajuan. Masyarakat seperti ini cenderung sukar dikendalikan, sukar dikontrol, sukar diarahkan ke arah perbaikan. Misalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memberikan fatwa keagamaan tentang sholat jumat, shalat tarawih, solat idul fitri. Akan tetapi mereka ini masih ngeyel. Seolah-oleh mereka lebih memahami agama dari MUI. Jadi kelompok ini beragama secara tekstual, secara taklid. Apa yang dikatakan oleh gurunya/ustadnya itu yang didengar. Beragama seperti ini menafikan azas rasionalitas, dan ini sangat berbahaya. Jadi keberhasilan penanggulang covid-19 di Indonesia, dan Sumatera Utara khsusnya juga ditentukan oleh aspek rasional beragama sebagaimana yang dianut Sukarno. Ini artinya pemikiraan-pemikiran Sukarno tentang Islam masih perlu secara kontiniu dikembangkan disosialisasikan kepada masyarakat. Contoh lain yang belakangan marak terjadi adalah pengambilan paksa jenazah covid-19 oleh anggota keluarga. Setidaknya terjadi di Surabaya, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan.
Azas Dinamis, Progresif
Berdasarkan pengamatan Bernard Dahm, azas dinamis dan progresif Islam yang dipahami Sukarno ini tidak terlepas dari konteks historis intelektual India, yakni Aligard. Azas ini linier dengan azas rasionalitas sebelumnya. Azas ini sangat menekankan kebebasan berfikir Islam. Lebih lanjut menurutnya bahwa Islam identik dengan kemajuan. Karena itu, Sukarno sangat mengecam pengkultusan suatu pendapat atau pemutlakan suatu hadis yang status kesahihannya belum jelas.
Jika dihubungkan dengan penanganan covid-19, maka pemecahan Islam adalah penanganan yang bersifat progresif, yakni yang mengakomodasi alternatif alternatif berdasarkan kekayaan kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pemikiran pemikiran Islam yang tidak mendukung ke arah kemajuan sudah saatnya ditinjau kembali. Jadi Islam progresif atau Islam yang maju sebagimana dianut Sukarno, seharusnya menjadi landasan ruh, api penyulut percepatan penanggulangan covid-19 apapun itu bentuk alternatifnya. Misanya data yang ditayangkan oleh satsion TVRI beberapa waktu yang lalu yang menayangkan etnis Dayak di Kalimantan menghindari covid-19. Etnis ini mengamalkan kearifan lokal sukunya dengan mengasingkan diri, pindah ke hutan agar terhindar dari penularan virus corona. Inilah yang dimaksud Sukarno berfikir progresif, dinamis. Sepanjang hal itu positif, berarti hal itu sudah sesuai dengan ruh Islam. Jadi tidak kaku, monoton berpaku pada satu pendapat atau satu tradisi saja. Semangat atau ruh perubahan ke arah kemajuan inilah yang seharusnya senantiasa hidup dan digali agar selalu menyinari, menerangi kehidupan umat Islam, terutama dalam percepatan penanggulangan covid-19.
Penutup
Di tengah pandemi covid-19 yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, dan khususnya Sumatera Utara, pemikiran keislaman Sukarno dipandang masih cukup relevan. Pemikiran keislaman Sukarno tersebut meliputi tiga prinsip, persamaan/penyamarataan, rasionalitas, dan dinamis/progresif. Pada dasarnya ketiga prinsip ini sudah tampak dalam penanggulangan covid-19, akan tetapi belum begitu masif, masih memerlukan upaya-upaya yang lebih serius dan maksimal.
Oleh: Prof. Dr. Katimin, M.A.g (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), guru besar Sejarah Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UINSU)
© Copyright 2024, All Rights Reserved