Desakan agar pemerintah menolak proyek tambang Dairi Prima Mineral (DPM) kembali disampaikan oleh masyarakat yang khawatir operasional tambang tersebut akan mendatangkan bencana.
Menurut mereka proyek tambang di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara yang dikelola oleh DPM selaku perusahaan patungan antara konglomerat pertambangan berbasis di Beijing China Non-Ferrous dan perusahaan tambang batu bara raksasa Indonesia Bumi Resources memiliki risiko besar terhadap warga.
Ketakutan masyarakat akan bencana sangat mendasar. Ahli internasional yang dilibatkan oleh masyarakat dan mitra LSM mereka telah meninjau desain tambang dan menyimpulkan bahwa bendungan tailing akan memiliki risiko tinggi runtuh, mirip dengan runtuhnya bendungan Brumandinho, yang runtuh dua tahun lalu di Brasil menewaskan 270 orang.
Meski demikian, perusahaan berharap tetap dapat melanjutkan proyek. Lokasi bendungan yang diusulkan juga merupakan zona dengan gempa paling aktif di dunia dan dekat dengan jalur patahan yang telah memicu tsunami Boxing Day tahun 2004.
Dr. Richard Meehan, seorang ahli dengan pengalaman 50 tahun di bidang stabilitas bendungan di zona gempa, mengungkapkan kekhawatiran yang besar terhadap bendungan tailing yang akan dibangun oleh tambang.
“Untuk menilai secara rinci risiko runtuhnya bendungan tailing, diperlukan informasi geologis di lokasi bendungan yang diusulkan. Ini telah diminta dan tidak disediakan. Tampaknya DPM tidak tahu di atas apa bendungan ini dibangun. Namun, informasi yang ada mengatakan bahwa situs tersebut tidak stabil. Proyek ini jika dibangun sebagaimana ditunjukkan di dalam Addendum akan mengalami kegagalan serius di kemudian hari," demikian rilis dari Direktur Eksekutif BAKUMSU yang diterima redaksi, Rabu (10/3).
DR. Steve Emerman seorang ahli lingkungan dan tambang timbal-seng meyakini bahwa jika NFC membangun proyek ini di dalam negara Tiongkok, karena alasan keamanan bendungan akan dianggap ilegal.
"Setelah bendungan tailing tambang Brumadinho runtuh, Tiongkok melakukan peninjauan di wilayah mana tambang diizinkan dibangun di sana. Membangun bendungan tailing kurang dari 1000m dari pemukiman kini termasuk ilegal, tapi sementara itu di Sumatera Utara, DPM mengusulkan bendungan dibangun hanya 400m dari pemukiman," ungkapnya.
Anggota masyarakat dan aktivis setempat yang khawatir mengenai tambang ini telah berulang kali menyuarakan risiko yang
mendatangkan bencana dan yang sudah luas dipublikasikan kepada pemerintah Indonesia. Akan tetapi Kementerian yang
bertanggung jawab untuk masalah persetujuan lingkungan masih mempertimbangkan Adendum (pembaruan) ANDAL tahun
2005 untuk tambang DPM. Tanpa persetujuan ini, proyek secara hukum tidak bisa dilanjutkan.
“Adendum meremehkan adanya risiko banjir”kata Emerman. Perusahaannya merupakan perusahaan internasional, tetapi mereka tidak menggunakan standar internasional. Banyak dari perhitungan yang mereka lakukan cacat,” tambahnya menyoroti risiko pencemaran lingkungan yang berat.
Ancaman yang dibawa bendungan tailing diakui di seluruh dunia, termasuk oleh para investor kunci di balik proyek-proyek tambang. Pada 31 Oktober 2019, Investor Mining and Tailing Safety Iniative mengumumkan bahwa 96 anggotanya, sebagian besar investor lembaga dan dana pensiun, akan mempertimbangkan untuk mendivestasi perusahaan tambang yang tidak bisa menunjukkan desain/rencana bendungan tailing mereka termasuk bagaimana mereka memitigasi risiko fasilitas-fasilitas tersebut.
Menurut Rinawati Sinaga dari Dusun 2, Desa Bongkaras, pihak NFC dan Bumi Resources Minerals tidak menanggapi permintaan pengungkapan ini.
“Dalam Adendumnya, DPM bahkan tidak memperhitungkan adanya kemungkinan rusaknya bendungan tailing. Dan ada 10 desa di bawah lokasi tambang. Tambang juga berada di hulu sungai pasokan air kami. Tambang ini bisa meracuni kami.” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved