Pemblokiran terhadap 7 (tujuh) rekening anggota keluarga Muhammad Rizieq Sihab (MRS) merupakan sesuatu yang janggal, fatal dan tidak tepat bila merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Betapa tidak, sebab Undang-Undang (UU) secara jelas dan tegas mengatur mekanisme pemblokiran rekening nasaban di bank.
Pasal 29 ayat (4) UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menyebutkan, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dapat meminta kepada Bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil korupsi.
Nah, dari ketentuan pasal ini jelas bahwa yang dapat diblokir itu adalah rekening dari seorang arau beberapa orang tersangka ataipun terdakwa yang merupakan hasil tindak pidana korupsi, bukan simpanan biasa milik nasabah yang tak bersalah.
Atau misalnya ketentuan pasal 71 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim berwenang memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari: a) Setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, b) Tersangka, dan c) Terdakwa.
Merujuk pada ketentuan Pasal 71 ayat 1 UU pencucian uang ini jelas menyebutkan bahwa yang diblokir itu adalah harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana. Makanya apa yang dilakukan oleh pihak bank terhadap rekening anngota keluarga MRS hemat saya secara hukum jelas tidak tepat dan sifatnya sangat dipaksakan sebagai bentuk intimidasi dan masalah baru yang harus diluruskan.
Jika menggunakan nalar hukum causalitas atau hubungan sebab akibat, maka akan muncul pertanyaan, apa hubungan kasus pelanggaran penghasutan yang disamfkakan pada MRS dengan rekening anggota keluarganya, jawabnya jelas tidak akan ada relevansinya, kecuali kalau sengaja diada-adakan.
Penulis Advokat, Mahasiswa S2 MH UNPAB
© Copyright 2024, All Rights Reserved